CHAPTER 11.

Beruntung sekali diantara rombongan delapan orang ini ada Juyeon dan Hyunjae yang lumayan fasih bahasa Jepang. Jadilah mereka berdua yang diutus untuk berkomunikasi dengan pemilik penthouse yang mereka sewa. Sebetulnya pemilik penthouse ini adalah sepasang suami-istri paruh baya, dan yang dua hari lalu berkomunikasi dengan Nara via e-mail untuk masalah booking adalah sang suami—yang fasih berbahasa Inggris. Tapi ketika mereka berdelapan sampai di penthouse sore ini, hanya istrinya yang tidak terlalu fasih berbahasa Inggris ini yang menyambut mereka—suaminya kebetulan ada urusan mendadak di luar yang tidak bisa ditinggal katanya.

Setelah proses serah terima kunci dan penjelasan rinci mengenai segala peraturan yang harus ditaati di penthouse ini selesai, istri pemilik penthouse ini pamit pulang.

“Tantenya ramah banget,” kata Juyeon sambil memastikan pintu utama sudah terkunci kembali. “Kata beliau kita nggak usah sungkan selama disini, yang penting jangan terlalu berisik kalau udah malam, jangan lupa kunci-kunci kalau mau pergi dan jaga kebersihan.”

“Kamar semuanya ada di atas, master bedroom di tengah. Habis tangga sebelah kiri itu kamar pertama, yang tengah master bedroom, sebelah kanannya kamar ketiga,” Hyunjae menambahkan. “Ke atas, yuk. Kita lihat dulu kamarnya sekalian beres-beres barang.”

Yeonjun dan Eric mendului yang lain langsung menenteng travel bag masing-masing, berjalan menapaki tangga menuju lantai dua. Disusul oleh Juyeon dan Sarah, lalu Younghoon dan Nara.

Luna baru akan mengambil koper cabin size-nya—koper andalan yang selalu ia pakai juga kalau lagi dinas ke luar kota—ketika dilihatnya koper itu sudah dalam tentengan tangan Hyunjae.

“Berat, kamu nggak akan kuat,” kata Hyunjae seakan tahu apa yang ada di pikiran Luna.

“Aku kuat, kok. Nggak seberapa berat itu isinya,” sahut Luna, gengsi. Karena ia melihat Nara dan Sarah tadi menenteng sendiri bawaannya. Luna takut dicap manja kalau teman-temannya melihat kopernya ditenteng Hyunjae.

“Nggak usah sok kuat,” kata Hyunjae lagi jahil, sambil berjalan menuju tangga melewati Luna yang masih memandangi kopernya—kekeuh ingin membawanya sendiri ke atas.

Akhirnya Luna mengikuti langkah Hyunjae menapaki anak tangga satu-satu, menuju lantai dua, dengan tangan kosong. Hanya tote bag-nya saja yang tersampir di bahu kanannya.

Sampai di lantai dua, ternyata sudah diputuskan bahwa master bedroom yang terletak di tengah koridor akan ditempati oleh para cewek. Kamar pertama yang paling dekat tangga, ditempati Younghoon, Juyeon dan Yeonjun. Kamar ketiga di ujung sana otomatis menjadi jatah Eric dan Hyunjae.

Ukuran kamar pertama dan ketiga sama persis. Tersedia dua single bed dan satu sofa bed yang empuknya tidak kalah dengan kasur. Alhasil di kamar pertama, Yeonjun yang kalah dalam gunting-batu-kertas kebagian sofa bed sebagai alas tidurnya selama dua malam nanti.

Di master bedroom alias kamar utama, ada satu kasur king size yang cukup luas menampung tubuh-tubuh ramping Nara, Sarah dan Luna.

Setelah saling mengecek keadaan kamar masing-masing, mereka sepakat untuk membersihkan tubuh sekaligus mandi dan membereskan barang bawaan mereka dulu, sebelum nantinya berkumpul lagi di ruang TV di bawah untuk menentukan akan kemana mereka malam nanti.

Di master bedroom:

“Lo pergi dua malam aja bawa koper segala sih, Na. Travel bag doang nggak cukup emangnya? Bawa apa aja coba sih gue lihat.” Nara yang sedang duduk bersila berdampingan dengan Luna yang sedang membuka kopernya, berkata penasaran sambil melongokkan kepalanya mengintip isi koper Luna.

“Ini barang gue berdua Jaehyun,” jawab Luna. Dikeluarkannya satu kotak travel organizer pouch berukuran besar berisi pakaian, dan satu lagi berukuran kecil berisi toiletries milik Hyunjae.

“Gile bener-bener kalian tuh ya, barang bawaan aja disatuin. Udah kayak suami istri. Gue aja yang udah tunangan sama Juyeon barangnya bawa sendiri-sendiri, Na,” Sarah ikut berkomentar.

“Bukan sok romantis ih, biar simpel aja gitu nggak banyak tentengan. Jadi nanti balik dari sini bawaannya cuma koper satu sama belanjaan kalau ada. Ini idenya Jaehyun, gue sih nggak kepikiran.”

“Iya juga ya, gue juga nggak kepikiran gitu sama Younghoon. Ah tapi si Hoon emang paling nggak bisa packing dia tuh, mana ada dia mikirin soal barang bawaan. Punya dia aja gue yang beresin.”

“Jaehyun juga suka males packing, kalau dia mau keluar kota suka minta tolong gue beresin. Gue sih seneng aja, milihin baju buat dia pake.”

“Lah gue malah kebalik, Juyeon yang rapiin baju gue kalau kita mau traveling hahaha. Kadang gue dinas keluar juga dia yang aturin baju gue. Aneh ya?”

Luna dan Nara terkekeh menanggapi cerita Sarah. Sudah hafal dengan kebiasaan slengean sahabatnya itu. Cantik tapi slengean, itu Sarah.

“Bentar ya, gue ke kamar sebelah dulu ngasiin barangnya Jaehyun.”

Nara dan Sarah mengangguk.

Sepeninggal Luna, Nara bertanya pada Sarah perihal rencana pernikahannya dengan Juyeon.

“Kayanya awal tahun depan, habis tahun baruan deh. Rencananya bulan Januari pas hari ulang tahun Juyeon, tanggal dua puluh empat.”

“Udah mulai cari vendor dong lo?”

“Udah, dibantuin istrinya kakaknya Juyeon, dia punya temen wedding organizer gitu. Dulu waktu kakaknya Juyeon nikah juga pakai WO temen istrinya itu. Gue sama Juyeon ngikut aja. Kita berdua nggak pengen nikah ribet, pengen yang simpel aja yang penting sah dulu.”

“Apa rasanya, Sar? Bahagia banget pasti lo ya? Gue iriii, si Hoon masih belum ada tanda-tanda ngelamar gue.”

“Sabar ya, Sayang. Sooner or later lo bakal jadi the happiest bride di altar bareng Hoon. Sebelumnya, latihan jadi manten dengan jadi bridesmaid gue dulu ya. Gue mau lo, Luna dan Hyuna yang jadi bridesmaid gue.”

“Wuaaa, I’d love to! Biar cepet ketular nikah juga gue.”

Sarah tertawa, menampilkan lesung pipinya yang hanya ada sebelah—di pipi kirinya. “Biar lo sama Luna ketular nikah, dan Hyuna cepet-cepet dijadiin sama Eric. Kasian itu anak berdua, nggak capek apa ya jalanin hubungan tanpa status gitu.”

Kini giliran Nara yang terkekeh. “Tega banget emang si Eric. Kasian banget gue lihat muka Hyuna memelas kayak pengen diajak kesini, tapi sama Eric nggak diajak. Nggak peka apa gimana sih bocah satu itu hadeh.”

“Eh, Nar, gosip dong. Mumpung nggak ada Luna, nggak enak gue kalau ada dia.”

“Dih apaan sih lo, ngomongin Luna?”

“Bukan Lunanya.”

“Lah terus?”

Sarah terdiam, ia yang tadinya semangat ingin bercerita pada Nara, mendadak ragu. Sudah cukup lama ia memendam cerita ini sendirian dan ingin sekali bisa ia bagi dengan Nara—ya, hanya dengan Nara. Sarah paham hal ini tidak baik untuk diketahui oleh Luna.

“Janji lo ya, jangan cerita lagi ke Luna. Setitik pun nggak boleh.” Sarah lalu mengangkat jari kelingkingnya, menyodorkan di hadapan muka Nara. “Pinky swear dulu.”

Kelingking Nara bertaut dengan kelingking Sarah. “Janji. Cepetan, cerita apa?”

“Hyuna cerita ke gue, dia dicurhatin sama Eric katanya. Soal Yeonjun.”

“Ha? Yeonjun kenapa?”

“Ini lo pasti kaget sih. Gue juga kaget soalnya waktu Hyuna cerita. Gue udah dari kapan pengen banget cerita ke lo tapi susah, kita bareng-bareng mulu sama Luna soalnya.”

“Duh apaan sih gila, gue penasaran banget.”

“Yeonjun itu suka sama Luna.”

“HAH?!”

“Kaget kan? Sama gue juga. Dan lo tau? Udah lama, sebelum Luna kenal Jaehyun. Pas Luna baru banget pindah ke kantor kita dari Yongsan, lebih tepatnya. Si Yeonjun udah langsung naksir begitu lihat Luna di hari pertama dia masuk kantor kita.”

Nara masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Sarah. Matanya masih membulat terpana, telapak tangannya menutupi mulutnya yang setengah menganga karena kaget. “Tapi gue nggak lihat gelagat Yeonjun naksir Luna sama sekali. Apa gue yang nggak peka sih?”

“Emang iya, kita semua nggak ada yang sadar soalnya emang Yeonjun nutupin hal itu. Cuma Eric satu-satunya yang tau soal ini. Jangankan ke kita, ke Lunanya pun Yeonjun nggak nunjukin dia suka.”

“Wah parah nih si Eric, pengen gue tebas lehernya anak pecicilan satu itu. Kenapa dia nggak cerita-cerita sih.”

“Ya nggak mungkinlah, Eric pasti ngejaga privasi Yeonjun. Hyuna juga awalnya nggak tau, tapi akhirnya Eric cerita ke Hyuna sekarang karena dia gerah banget dicurhatin Yeonjun soal Luna mulu akhir-akhir ini. Padahal dulu Eric udah mau bantuin Yeonjun biar deket sama Luna, eh Yeonjunnya maju mundur terus sampe akhirnya malah Eric kan yang deket sama Luna.”

“Lah sekarang Luna udah sama Jaehyun terus gimana?”

“Nah itu, si Yeonjun baru kerasa nyesel banget dia sekarang. Jadinya dia sering galau gitu deh ke si Eric, ya Eric males sih lama-lama, dia kesel dulu pas Luna masih sendiri kenapa nggak ada action banget Yeonjunnya. Sekarang udah gini nyesel. Dan kemarin Yeonjun cerita ke Eric dia habis ngajak Luna makan malam pulang kantor, terus nganterin pulang. Eric cuma takut Yeonjun kebablasan dan jadi ngerusak hubungan Luna sama Jaehyun.”

“Duh, nggak nyangka banget gue. Kok jadi rumit gini ya? Tapi si Yeonjun kuat juga ya, dia tetep ikut liburan padahal ada Jaehyun.”

“Kata Eric tadinya Yeonjun mau cancel tapi akhirnya dia berubah pikiran. Nggak papa ada Jaehyun yang penting dia bisa tetep lihat Luna.”

“Aaarghh this is crazy! Beneran kita harus cariin cewek ini sih buat Yeonjun. Horor gue, Sar, serem si Yeonjun nekat.”

“Ya makanya, ngerti kan kenapa gue gatel banget pengen cerita ini ke lo? Tapi please berhenti di kita aja ya cerita ini. Hoon jangan tau, gue juga nggak ngomong apa-apa ke Juyeon. Lo kebayang nggak sih, apa nggak dilabrak itu Yeonjun kalau Juy dan Hoon tau. Mereka berdua kan protektif ke si Luna.”

“Iya juga ya. Si Luna beruntung banget, dia dikelilingi empat cowok ganteng-ganteng yang care sama dia. Ya nggak sih?”

“Hahaha iya. Tapi anehnya gue nggak pernah cemburu dengan kenyataan kalau Juyeon sama Luna itu deket banget.”

“Ya sama gue juga, nggak pernah jealous. Nggak fair juga sih lagian kalau kita cemburuin mereka, Sar. Jelas-jelas mereka bertiga udah sahabatan dari jaman kuliah, jauh sebelum kenal kita. Lagian yang gue respek dari Luna tuh, dia bener-bener tau betul boundaries ketika Younghoon udah jadian sama gue. Dia nggak pernah ngusik hubungan gue sama Younghoon.”

Cklek!

Pintu kamar mendadak terbuka tepat setelah Nara menyelesaikan kalimat terakhirnya.

“Ya ampun masih belum selesai juga? Kirain udah ada yang mandi kalian tuh. Gue aja duluan mandi boleh ya.”

Luna yang kini sudah kembali bergabung di dalam kamar, hanya bisa menggelengkan kepalanya heran melihat kondisi travel bag Sarah dan Nara yang sepertinya tidak ada perubahan seperti saat ia tinggal tadi.

“Ya udah lo mandi duluan, abis itu gue ya,” Nara menyahuti.

Sesaat setelah pintu kamar mandi tertutup dengan Luna di dalamnya, Nara dan Sarah hanya saling pandang sambil bernafas lega karena episode cerita mereka selesai tepat waktu.

***

Jam tujuh malam, mereka berdelapan sudah berkumpul lagi di ruang TV lantai satu—dengan wajah segar karena semuanya sudah selesai beres-beres, mandi dan istirahat di kamar masing-masing tadi.

TV yang menyala hanya bertugas sebagai peramai suasana namun layarnya terabaikan, tidak ada yang fokus dengan tayangannya.

Karpet bulu halus dan tebal berwarna cokelat muda yang tergelar menjadi alas duduk bagi Eric, Hyunjae dan Luna. Sofa empuk yang menghadap TV diduduki Younghoon, Juyeon dan Yeonjun, sementara itu Nara dan Sarah masing-masing menduduki dua single sofa yang ditata berhadapan dengan coffee table sebagai perantara di tengah.

“Jadi, mau makan apa kita? Delivery atau mau keluar?” tanya Juyeon.

“Keluar, yuk! Gue pengen jajan street food,” Nara yang pertama kali menjawab dengan antusias. “Yang, jadi kan kita ke Dotonbori?” tanyanya lagi, kini matanya tertuju pada sepasang mata milik sang kekasih, Younghoon, yang langsung membalasnya dengan anggukan.

“Gue sama Jaehyun juga mau ke Dotonbori sih, tapi kita mau makan mentai sushi, udah nyari tempatnya ada di sekitaran Dotonbori street,” kata Luna.

“Ikuuut, gue juga mau mentai sushi!” Eric setengah berteriak saking excited, sambil mengacungkan tangannya ke atas. Tingkahnya ini membuat Eric mendapat geplakan pelan di pahanya dari Hyunjae. “Kaget oi,” kata Hyunjae. Luna menertawai Hyunjae yang tadi sempat agak terlonjak kaget akibat teriakan Eric. Yang pahanya digeplak cuma bisa cengengesan.

“Ya udah, ke Dotonbori aja semuanya ya, gimana? Nanti disananya mau mencar lagi sih nggak apa-apa. Tinggal janjian ketemuan lagi aja di depan Glico,” putus Juyeon akhirnya. “Giliran siapa aja mau nyetir nih? Gue sama Jaehyun udah kebagian tadi nyetir dari bandara. Gantian heh.”

“Yaudah, CR-V gue yang nyetir deh,” kali ini Yeonjun yang bersuara.

“Oke, gue nyetir HR-V kalau gitu,” tambah Younghoon.

Lima belas menit setelah mereka selesai bersiap-siap, dua mobil yang sama-sama berwarna putih yang mereka sewa itu akhirnya meluncur meninggalkan penthouse. Di dalam CR-V, diisi Yeonjun, Juyeon, Sarah dan Eric. Di mobil satunya, diisi Younghoon, Hyunjae, Luna dan Nara. Juyeon dan Hyunjae yang kebagian tugas memantau GPS diharuskan duduk di depan menemani Yeonjun dan Younghoon.

Semoga mereka tidak kesasar dan acara jalan-jalan malamnya lancar!

***

“Tuhaaan, enak bangeeet!”

Ini sudah sushi ketiga yang masuk mulut dan Luna masih tetap mengerangkan kalimat yang sama. Sushi mentai yang diidamkannya akhirnya kesampaian untuk dinikmati.

“Belepotan tuh mentainya,” Hyunjae berkata sambil menyeka sisa-sisa saus mentai di ujung bibir Luna dengan ibu jarinya. “Yang rapi makannya.”

Luna tersipu, malu. “Hehe, iya…”

“Mimpi apa ya, gue, makan bertiga di Osaka sama kakak-kakak kesayangan gue yang tadinya strangers, sekarang pacaran mesra banget gini.”

“Mesra apanya, Ric?”

“Ya itu tadi lo nyekain bibirnya nuna. Mesra kali itu, Kak.”

“Bukan mesra, gemes aja gue liatnya. Luna kalau nemu makanan enak emang suka mendadak celamitan.”

“Yang, bongkar aja terus aib aku.”

Nuna, nggak usah dibongkar Kak Jae juga gue udah paham banget jenis aib lo apa aja.”

“Ngeselin ih Eric!”

Refleks, Eric menghindarkan kepalanya ke kiri ketika dilihatnya Luna melemparkan gulungan tisu ke arahnya. Luna baru akan melemparkan gulungan tisu kedua ketika tangannya buru-buru ditahan oleh Hyunjae.

“Udah dong, Na, aduh. Malu ntar diliatin.”

“Iya ih, Nuna gimana sih. Bocah banget.”

Luna mencebikkan bibirnya—hanya bercanda. Dalam hati ia sungguh menikmati momen makan malam bertiga ini dengan Hyunjae pacarnya, dan juga Eric yang sudah ia anggap seperti adik sendiri.

Nuna, udah ngabarin Kak Jae belum? Soal bridesmaid?” celetuk Eric tiba-tiba.

Ah iya, Luna jadi ingat.

Tadi sore Sarah mengabarinya soal dirinya yang dipilih menjadi salah satu bridesmaid di hari pernikahan Sarah nanti.

“Eh iya, Yang. Tadi Sarah bilang aku, Nara sama Hyuna jadi bridesmaid di nikahannya nanti. Otomatis kamu jadi groomsman-nya Juyeon ya.”

“Juyeon tadi juga udah sempet ngomong ke aku, tapi sekilas doang dia belum bilang siapa aja. Jadinya bertiga ya? Aku sih nggak apa-apa, tapi jadi nggak enak sama Yeonjun, malah aku yang diajak bukannya Yeonjun.”

“Kak Yeon soalnya nggak ada pasangannya, jadi dia mundur dari jajaran groomsmen. Nggak tau deh kalau tiba-tiba nanti dia nemu pacar menjelang nikahannya Kak Juyo. Si jomblo, dasar.”

“Heh bocah, lo juga jomblo ya. Itu si Hyuna kapan mau dikasih status gue tanya? Keburu diambil orang nyesel lo nanti.”

“Kagak, dia bucin ke gue.”

“Dih, pede. Jangan gitu, Ric. Beneran deh cepetan jadiin, kasian anak orang lo gantungin kelamaan. Jangan kayak Yeonjun, keburu nyesel gebetannya diambil orang.”

Eric terbatuk. Kaget. “Tau dari mana lo, Kak, soal itu?”

“Yeonjun? Lah dia yang cerita. Ih lo gimana sih, kan ada lo juga pas kita lagi dinner di resto hotel di Gwangju. Dia kan cerita kecolongan gebetannya keburu dipepet orang.”

“Eeh—Oh yang pas itu. Iya iya, inget gue sekarang.” Setengah mati Eric berusaha menghilangkan perasaan kaget dan gugupnya, terlebih ketika Eric menyadari ada sepasang tatapan curiga menghujamnya. Tatapan mata dari Hyunjae.

“Emang siapa gebetannya Yeonjun?” tanya Hyunjae kalem, kontras dengan tatapan matanya yang menyipit tajam ke arah Eric.

“Nggak tau gue, Kak. Nggak bilang dia.”

Duh mampus! Eric merutuki dirinya dalam hati. Ia sungguh merasa tidak enak harus terpaksa berbohong pada Hyunjae yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri itu. Tapi untuk berkata yang sebenarnya juga sangat tidak mungkin. Eric horor sendiri membayangkan reaksi Hyunjae jika tahu perempuan yang disukai Yeonjun adalah Luna.

“Tuh, orangnya dateng. Panjang umur,” celetuk Luna tiba-tiba. Tangannya otomatis terangkat ke atas, mengisyaratkan keberadaannya pada sosok jangkung yang baru tiba di kedai sushi ini.

Mata Eric melotot melihat Yeonjun—manusia terakhir yang ia inginkan berada di tempat ini bersama mereka—berjalan santai dengan satu tangan terselip di saku celananya dan tangan satunya menenteng paper bag berwarna oranye. Ke arah mereka.

“Hai,” sapa Yeonjun. Lalu ia mendudukkan dirinya di kursi kosong di samping Hyunjae. Posisi duduk mereka sebelumnya adalah Eric dan Luna duduk bersebelahan menghadap ke arah pintu masuk kedai, dan Hyunjae membelakangi pintu masuk, duduk di hadapan Luna. Dengan kini Yeonjun bergabung di sebelah Hyunjae, maka Yeonjun duduk berhadapan dengan Eric—yang sedang berusaha keras menetralkan raut wajahnya yang sedang panik.

“Kok tau kita disini?” akhirnya setelah berdeham pelan, Eric mencoba menyelamatkan suasana.

“Nanya Luna.” Jawaban enteng Yeonjun membuat Eric tercengang—lagi dan lagi. “HP lo kemana? Gue chat nggak dibalas-balas akhirnya gue tanya Luna. Nggak apa-apa kan gue gabung sini?”

“Nyantai aja, nggak apa-apa lah.” Yang menjawab kali ini adalah Hyunjae, bukan Eric. “Abis dari mana lo, Yeon? Yang lain pada kemana?”

“Sarah-Juyeon sama Nara-Younghoon pada mencar sih, nggak tau kemana. Gue sih jalan-jalan aja tadi sendirian, eh tau-tau nemu Takomasa yang katanya jual takoyaki terenak se-Osaka. Beneran seenak itu banget ternyata. Nih cobain deh.”

Yeonjun mengeluarkan satu kotak persegi dari paper bag-nya yang ternyata berisi takoyaki. Dibukanya kotak itu dan tampilan enam buah takoyaki bertabur katsuboshi sungguh menggugah selera seakan meminta untuk dicicip. Aroma harum khas takoyaki langsung memanjakan hidung mereka.

“Makasih, Yeon. Udah nggak usah, kita juga ini baru makan kok—”

“Mau cobain, boleh ya?” Luna menyela ucapan Hyunjae yang tadinya akan menolak tawaran takoyaki dari Yeonjun.

“Cobain aja, abisin juga boleh kalau mau. Doyanan lo kan ini takoyaki. Enak banget deh, Na, nggak bohong gue.” Yeonjun mendekatkan kotak takoyakinya ke arah Luna. “Hati-hati panas.”

Astaga, Kak Yeon bener-bener! Biasa aja kek nada ngomongnya nggak usah sok dilembutin gitu. Eric bermonolog dengan dirinya sendiri melihat adegan yang ia harap tidak nyata ini di hadapannya. Serem banget Kak Jae natapnya udah kayak mau nerkam orang. Tuhaaan, gue pengen kabur!

Setelah menghabiskan bulatan takoyaki pertamanya, Luna mengangguk setuju ke arah Yeonjun. “Iya enaaak,” ucapnya setengah merengek.

“Ya kan? Ambil lagi, abisin aja.”

“Satu lagi boleh ya? Nggak mau abisin, kenyang.”

“Iya boleh, terserah lo mau ambil berapa biji juga.”

Suasana yang terasa biasa saja bagi Luna, tapi sungguh amat menegangkan bagi Eric ini terinterupsi oleh dering ponsel Luna yang disimpan di atas meja. Nama Nara tertera di layar ponsel Luna.

Eric diam-diam menghela nafas lega, berharap telepon dari Nara bisa menyelamatkannya dari situasi mencekam ini. Eric yang sudah lama mengenal Hyunjae paham betul pasti ada gemuruh emosi yang sedang ditahan Hyunjae di balik raut wajahnya yang tetap tenang dan kalem saat ini. Sebelum pertahanan emosi Hyunjae runtuh, Eric sungguh ingin mereka berempat segera keluar dari kedai—entah itu untuk kemudian berpencar atau segera berkumpul lagi dengan Younghoon-Nara dan Sarah-Juyeon.

“Mereka berempat lagi di Don Quijote, tadi habis naik ferris wheel dan sekarang lagi lanjut belanja disana,” kata Luna setelah teleponnya dengan Nara selesai. “Yang, aku mau kesana. Mau naik ferris wheel. Temenin.”

“Iya aku temenin. Habisin dulu sushinya baru kita kesana. Tinggal kamu yang belum selesai nih makannya.”

Eric yang melihat celah ini langsung beraksi tanpa menyiakan kesempatan. Ya, kesempatannya untuk kabur dari situasi ini. “Kak Yeon, kita duluan aja, yuk? Gue masih pengen jajan street food, abis itu nyusul ke Don Quijote. Yuk.”

“Nanti aja sih barengan.”

Ingin rasanya Eric menghantam batu bata ke kepala Yeonjun kalau ia tidak ingat situasi dan kondisi. “Sekarang ah. Nuna makannya lama, gue pengen jajan nanti kemaleman keburu habis.”

Akhirnya Yeonjun mengiyakan. Sebetulnya ia tidak rela meninggalkan kedai ini duluan hanya berdua Eric, tapi ada sebagian dalam dari Yeonjun yang menyuruhnya untuk mengikuti kemauan Eric. Yeonjun paham, ajakan Eric pergi duluan bukan semata karena Eric sebegitu inginnya menikmati street food.

“Duluan ya. Nanti ketemu di Don Quijote, oke?” pamit Eric.

“Oke, nanti teleponan aja,” kata Hyunjae.

Thank you, Yeon takoyakinya!”

***

Tidak sampai setengah jam setelah Eric dan Yeonjun meninggalkan kedai sushi, Luna dan Hyunjae menyusul. Tetapi alih-alih terburu-buru, mereka berdua memilih untuk melangkahkan kaki dengan santai, menikmati kesibukan tengah kota Dotonbori di malam minggu. Mereka berjalan menyusuri Tombori River—kanal sungai buatan yang membentang vertikal sepanjang arah timur ke barat distrik Dotonbori. Don Quijote tempat mereka janjian bertemu dengan yang lain, terletak di seberang kanan sungai, berlawanan dengan mereka yang saat ini sedang berada di sisi kiri sungai.

Hyunjae melepaskan genggaman tangannya dari tangan Luna, menimbulkan tanda tanya spontan yang langsung Luna utarakan.

“Kok dilepas?” tanya Luna bingung.

“Tanganmu dingin banget, Na. Kamu kedinginan? Masuk saku coat aja tangannya ya, sambil pegang hot pack. Mana hot pack-nya?”

“Ini.” Tangan kanan Luna yang memang sedari tadi berada di dalam saku coat-nya mengangkat hot pack yang ia genggam. “Tanganku yang ini dari tadi hangat kok, kan pegang hot pack.”

“Iya tapi yang kiri dingin banget. Nggak usah pegangan lagi ya, tangan kamu masuk saku aja.”

“Tapi aku nggak kedinginan. Tangan kirinya nggak mau masuk saku, mau pegangan tangan kamu aja.”

Setelah berkata begitu Luna menarik tangan Hyunjae, kali ini tidak menggenggamnya seperti tadi tapi menautkan jari-jari mereka. Erat.

“Lebih anget begini daripada pegang hot pack,” kata Luna lagi.

“Dasar,” balas Hyunjae dengan bergumam. Ia mengeratkan tautan jarinya di jari Luna sedikit lagi. Berusaha membuat jari-jari Luna terlindung dari suhu musim gugur yang semakin rendah di malam hari.

“Yang,” panggil Luna.

“Hm?” Hyunjae menoleh ke samping kanannya, mendapati Luna sedang menatapnya dengan kerlingan mata berbinar. Kedua pipi Luna bersemu merah sebagai reaksi atas udara dingin—membuat Hyunjae menjadi agak terpana melihatnya. Sudah berjam-jam ia habiskan bersama Luna, tapi bagaimana bisa Hyunjae baru menyadari bahwa Luna sungguh terlihat cantik sekali malam ini. Tanpa riasan wajah berlebihan, hanya sapuan lipstik berwarna pink muda saja satu-satunya riasan di wajah Luna.

“Apa, Cantik?” tanya Hyunjae lagi ketika Luna tidak kunjung berbicara, hanya terus menatapinya saja.

“Aku seneng banget malam ini. Jalan-jalan sama anak-anak, makan enak bareng kamu dan Eric. Dan sekarang kita jalan berduaan di sini. Kamu tau aku suka banget suasana malam. Kamu dan malam, aku bahagia karena itu.”

Langkah mereka berdua terhenti. Keduanya menepi, memberi jarak agar tidak mengganggu lalu lalang orang lain.

“Makasih buat liburannya,” Luna mengakhiri kalimatnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Hyunjae—sambil setengah berjinjit— memberinya kecupan singkat di pipi kanan Hyunjae. “I love you. So much.

You deserve it.” Hyunjae memutar tubuhnya, membuatnya yang tadinya berdampingan dengan Luna, kini menjadi berhadapan. Tangan kirinya yang bebas, mengelus pucuk kepala Luna. Lalu turun ke pipi, dan kini ibu jarinya sedang mengusap bibir ranum Luna. “Kalau nggak inget lagi di tempat umum, udah aku cium.”

“Nanti aja di ferris wheel.”

“Hahaha kamu pengen juga ternyata dicium.”

Mereka melanjutkan berjalannya lagi.

“Na, sebetulnya aku mau ngomong soal proyek di Busan.”

“Kenapa sayang? Ngomong aja.”

“Yang pas aku ada late meeting itu, Mr. Choi CEO-ku bilang kayanya soon timku harus mulai kunjungan ke Busan. Kemungkinan awal November, yang artinya sekitaran minggu depan.”

“Berapa lama di sana?”

“Mungkin dua mingguan.”

Langkah Luna terhenti lagi, kali ini mendadak. Hyunjae yang sudah selangkah lebih maju, memundurkan lagi langkahnya demi bisa sejajar kembali dengan Luna.

“Dua minggu aku nggak bisa ketemu kamu?”

“Iya sayang, maaf ya? Gimana lagi…”

“Nggak usah minta maaf, Yang. Nggak apa-apa, aku tentu bakal dukung karir kamu. Dengan cara, aku janji nggak akan rewel selama ditinggal kamu ke Busan. I’ll be a good girl, biar kamu bisa kerja tenang dan nggak kepikiran.”

“Jangan rewel, dan jangan genit juga. Nggak usah minta dianterin pulang sama cowok lain kalau nggak kepepet dan nggak darurat—inget, kecuali Juyeon, Younghoon, Eric.”

“Sayaaang, aku nggak pernah genit ih. Nggak pernah juga aku minta-minta dianterin pulang kalau bukan mereka yang maksa mau nganterin.”

“Selama aku nggak ada, kamu ke kantor bawa mobil tiap hari ya. Nggak usah naik kereta atau bis, udah menjelang musim dingin soalnya.”

“Iya, sayangku. Ini aku masih di depan mata aja kamu udah cerewet, gimana nanti kalau beneran kamu udah disana.”

“Ya kan aku harus mastiin kamu baik-baik aja nggak ada aku. Aku udah janji sama Ayah dan Mama buat bantu jagain kamu. Kamu itu tanggung jawabku, Na.”

“Yang…”

“Udah jangan nangis. Cengeng ih.”

Luna melepaskan tautan jarinya sontak. Tangan kirinya yang kini terbebas, melayangkan pukulan pelan di bahu Hyunjae. “Bukan cengeng, aku terharu tau. Bedain cengeng sama terharu.”

“Hehe iya maaf. Kamu terharu bukan cengeng. Maaf yaa?” Hyunjae menggamit pinggang Luna, mendekapnya erat. “Jaehyun sayang Luna banyak-banyak.”

“Stop, geli banget dengernya. Kamu tuh udah tsundere aja, nggak cocok ngomong kayak gitu.”

Hyunjae terkekeh sambil mendekap Luna makin erat. Ditautkannya kembali jari mereka. “Oh ya, satu lagi. Setelah aku pulang dari Busan, kita ke Songdo ya? Tanggal nikahnya nuna-ku dimajuin, jadinya sebelas Desember. Nggak jadi Januari. Nuna minta kamu datang ke rumah buat fitting gaun. Kamu jadi salah satu bridesmaid bareng sama dua sepupuku dan satu lagi sahabatnya Nuna.”

“Berita sepenting ini kamu baru ngomong ke aku sekarang? Ya ampun, Yaaang. Dari kapan kamu tau soal ini?”

“Baru-baru, kok. Tapi nggak inget tepatnya kapan hehehe. Maaf ya, lupa terus mau diomongin ke kamunya.”

“Nanti kasih aku nomor Kak Jaesung, ya, aku mau ngobrol langsung sekalian bilang terima kasih karena udah dipilih jadi bridesmaid. It really is an honor buatku.”

“Iya nanti aku kasih. Yang, nggak apa-apa kamu jadi bridesmaid-nya kakakku? Maaf ya, dia main nentuin aja nggak minta persetujuan kamu dulu. Kalau kamu mau nolak bilang aja, Yang. Aku nggak enak ke kamu.”

“Kenapa aku harus nolak? Justru aku seneng banget dilibatkan di acara besar keluarga inti kamu, Yang. Walaupun nggak enak karena baru sekali ketemu, tapi aku udah dianggap sebegininya sama keluarga kamu.”

“Makasih ya. Aku nggak sabar lihat kamu pakai gaun, pasti cantik banget.”

“Aku juga nggak sabar lihat kamu pakai setelan jas formal. Kamu bangun tidur rambut acak-acakan aja bisa bikin aku deg-degan lihatnya. Apalagi kamu pakai jas atau tuxedo gitu. Aku bisa pingsan kali.”

Hyunjae tertawa.

Dia sadar, Luna ini gampang sekali mengalirkan pujian terhadapnya—terutama tentang penampilan fisiknya yang menurut Luna, Tuhan pasti sedang dalam mood yang luar biasa bagus ketika sedang menciptakan Hyunjae. Berbeda sekali dengan Hyunjae yang tidak peduli seterpesona apapun ia dengan penampilan Luna, jarang sekali ia melisankan pujian pada Luna. Hyunjae berpikir, mungkin ke depannya ia harus sedikit lebih luwes dalam mengekspresikan rasa sukanya terhadap penampilan Luna.

Mungkin bisa dicoba malam ini.

“Na, Sayang.”

“Ya?”

Have I told you how beautiful you are tonight? Kamu selalu cantik, tapi malam ini entah kenapa aku ngerasa kamu cantik sekali. Rambut kamu mau digerai, diikat, digelung—apapun itu—and with or without make-up, kamu cantik.”

“Ha? Kok tiba-tiba—”

I’m grateful to have you,” sela Hyunjae. Lalu ia mengangkat telapak tangan Luna yang masih berada dalam tautannya, mendekatkannya ke bibirnya. Dikecupnya dua kali—kecupan kedua agak lebih lama dari kecupan pertama, lalu berujar, “I love you so much too.”


Luna mengikat rambut panjangnya menjadi satu, dengan beberapa helai tipis dibiarkan terjuntai di sisi kanan dan kirinya. Wajahnya masih bersemu merah seperti semalam, dan lagi, hanya sedikit polesan lip balm yang dilapisi lipstik yang menghiasi wajahnya pagi ini.

Sekali lagi ia merapikan sweater rajut berwarna nude pink—warna favoritnya—dengan model turtle-neck yang hari ini ia pakai untuk melindunginya dari udara dingin. Bawahannya, seperti biasa celana jeans slim fit berwarna biru cerah. Di tangan kirinya tersampir coat cokelat muda yang semalam ia kenakan saat mengunjungi Dotonbori.

Pagi ini matahari bersinar cukup cerah walaupun udara dingin khas musim gugur tetap menghembus. Sungguh cuaca yang nyaman sekali untuk menghabiskan waktu di amusement park—ya, rombongan berisi delapan orang ini baru saja tiba di Universal Studios, tujuan utama mereka mendatangi Osaka dadakan sehari lalu.

Setelah semuanya turun dari mobil, mereka berjalan menuju main entrance USJ.

“Na, gue baru sadar, lo nggak bawa tas ya?” Nara yang berjalan di belakang Luna, menepuk pundaknya saat ia menyadari tangan Luna yang bebas dari tentengan apapun. Hanya ponselnya yang terlihat menggantung di leher Luna berkat bantuan phone strap.

“Iya nggak bawa. Kan Jaehyun bawa ransel, barang gue titip dia,” jawab Luna santai sambil menunjuk ke arah Hyunjae yang berjalan di sampingnya.

“Ih enak banget sih lo nggak rempong sama bawaan jadinya. Si Younghoon nih males banget gue suruh bawa ransel, malah dia yang nitipin barangnya di tas gue,” omel Nara, tidak bisa menyembunyikan rasa irinya pada Luna yang bisa berjalan santai tanpa dibebani barang bawaan.

“Sama aja Juyeon juga, gue yang direpotin bawa barang.” Sarah yang tadinya tertinggal beberapa langkah di belakang Nara, tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Ikut menimpali obrolan Nara dengan Luna.

Luna hanya bisa terkekeh, dalam hati sedikit banyak ia merasa bangga pada Hyunjae yang memang berniat membawa ransel sendiri demi tidak merepotkan Luna. “Udah jangan protes, terima aja kelebihan dan kekurangan pacar masing-masing,” sahutnya. “Tapi yang kayak gini emang jarang sih, guenya aja yang beruntung.” Dan Luna pun bergelayut manja di lengan Hyunjae, membuatnya mendapat sorakan kesal dari Nara dan Sarah.

Sebelum memasuki area utama, mereka sempat berfoto dulu di depan globe raksasa ikonik khas Universal Studios. Berkat tripod yang dibawa Hyunjae, mereka bisa berfoto berdelapan tanpa repot meminta bantuan turis lain yang juga ramai berfoto di area globe. Setelah foto berdelapan, yang berpasangan juga tidak lupa mengambil foto berdua. Terakhir, Nara, Sarah, dan Luna berfoto bertiga dengan posisi Luna di tengah.

Puas dengan foto di area globe, mereka pun mulai memasuki area utama Universal Studios.

***

Berkat tiket express ride yang mereka beli demi menghindari antrian panjang di tiap wahana apalagi wahana high demand, akhirnya selama satu setengah jam pertama mereka sudah berhasil menikmati 3 wahana salah satunya Space Fantasy—semacam roller coaster indoor dengan suasana outer space atau luar angkasa. Tidak terlalu ekstrim, masih cukup aman dinaiki oleh Hyunjae, Eric dan Juyeon sebagai tiga orang yang sudah declare dari awal bahwa mereka tidak akan menaiki wahana-wahana yang bisa mengaduk isi perut mereka.

Setelah Space Fantasy, yang sudah mereka nikmati adalah Terminator dan Amazing Adventures of Spiderman—keduanya wahana yang serupa, menikmati tontonan dalam visual 3D. Lagi-lagi, masih bisa dinikmati dengan aman oleh Hyunjae, Eric dan Juyeon.

Ketika akhirnya mereka memasuki area Jurassic Park—area yang paling ditunggu oleh Luna sebagai fans berat film dinosaurus besutan sutradara tersukses sepanjang masa, Steven Spielberg—Hyunjae, Eric dan Juyeon dengan sukarela memutuskan untuk duduk menunggu saat lima yang lainnya kompak ingin menaiki The Flying Dinosaur.

“Ju, ayolaaah. Temenin aku naik, dong.” Sarah merengek sembari menarik-narik tangan Juyeon supaya bangkit dari duduknya dan ikut naik wahana roller coaster super ekstrim tersebut.

“Nggak mau, Sayang. Kamu aja. Aku tau diri daripada pingsan di atas sana. Liat track-nya yang sepanjang itu aja udah merinding aku,” tolak Juyeon mentah-mentah.

Memang benar yang Juyeon bilang. The Flying Dinosaur ini diklaim sebagai coaster dengan track terpanjang di dunia. Belum lagi posisi duduknya yang unik, bukan duduk di kereta biasa namun para rider akan dibuat duduk menggantung dalam posisi menukik menghadap bawah selama kereta berjalan. Track yang panjang meliuk ditambah dengan posisi duduk menukik—hanya yang betul-betul yang bernyali tinggi yang berani menaiki wahana ini.

“Tapi kan cuma satu menit doang di atasnya. Ayolah yukkk.” Sarah masih dengan gigih membujuk Juyeon supaya mau ikut naik. “Kamu tega aku sendirian disana?”

“Sendirian gimana, kamu kan berlima.”

“Yaaa tapi kan nggak ada kamu.”

“Nggak mau, Sayang. Jangan dipaksa, please.”

Juyeon tetap dengan pendiriannya, tidak mau naik wahana itu. Sarah akhirnya menyerah, ia berjalan meninggalkan Juyeon mengikuti Nara dan Younghoon yang sudah lebih dulu memasuki line antrian.

“Kamu yakin nggak mau coba?” kali ini Luna yang bertanya pada Hyunjae—dan seperti Juyeon, gelengan kepala Hyunjae diterima Luna sebagai jawaban. Luna tertawa kecil. “Kalian bertiga ini lucu banget, badan aja pada gede atletis tapi naik coaster gini nggak mau.”

“Heh, nggak ada hubungannya ya badan atletis sama nggak suka naik mainan ekstrim,” elak Juyeon. “We wanna have fun, and that coaster, is gonna bring us fear instead of fun.”

Luna terkekeh lagi. “Ya udah aku mau naik dulu ya. Sayang, aku titip HP.”

“Hati-hati ya, Na. Beneran kamu kuat nggak akan pingsan?” Hyunjae terlihat khawatir begitu mendengar rel coaster yang bergemuruh cepat dan teriakan para riders di atasnya.

“Beneran lah, aku kuat. Tapi kalau pingsan tenang aja ada Yeonjun, minta dia gendong aja hahaha.”

“Enak aja, ogah dong. Lo berat.”

“Sialan.”

Yeonjun mengacak kepala Luna yang langsung mendapat tepisan di lengannya. “Rambut gueee, berantakan nanti.”

“Yuk ah, guys, kita naik dulu yaa. Tungguin di sini.”

Luna dan Yeonjun akhirnya menjadi yang terakhir memasuki line antrian untuk dapat menaiki kereta yang sama dengan Sarah, Nara dan Younghoon.

***

Sambil menanti kelima yang lain mengantri dan menaiki wahana, Hyunjae, Eric dan Juyeon memutuskan untuk beranjak dari kursi dan mencari stand popcorn di dekat area itu. Menjelang waktu makan siang membuat perut mereka butuh ganjalan sebelum diisi makanan berat.

Di sela-sela saat mengantri di stand popcorn, ponsel Juyeon berdering yang ternyata ada panggilan masuk dari kakaknya. Ada hal penting mengenai salah satu vendor untuk acara pernikahannya dengan Sarah nanti, yang ingin dibicarakan kakak Juyeon. Akhirnya Juyeon keluar dari antrian demi dapat mengobrol lebih leluasa dengan kakaknya, dan menitipkan popcornnya pada Hyunjae.

“Kak,” panggil Eric pada Hyunjae, ketika dilihatnya Juyeon sudah berada di luar jangkauan mata.

Hyunjae yang sedang memainkan ponselnya, mengalihkan pandangan menatap Eric. “Ya, Ric?”

“Semalem, pas di kedai sushi. Lo bete nggak Kak Yeon tiba-tiba gabung?”

Why should I?” Hyunjae balik bertanya.

Don’t lie,” kata Eric. “Gue bisa baca lo nggak suka Kak Yeonjun deket-deket sama Nuna. Gue kenal lo bukan kemarin sore, Kak.”

Hyunjae menarik nafas dan menghelanya sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. “Jujur, iya,” aku Hyunjae akhirnya. “Nggak tau kenapa, Ric, gue ngerasa ada yang beda dari Yeonjun ke Luna. Tapi lo nggak usah ngomongin ini lagi ke Yeonjun ya. Kali aja gue salah.”

Nggak, Kak, lo nggak salah. Perasaan lo kali ini bener, jawab Eric dalam hati. Tapi tentu saja ia tidak melisankan jawabannya barusan pada Hyunjae. Eric masih ingin hidup dalam damai.

“Lo tenang aja nggak usah insecure ya, Kak.”

“Iya sih, akhirnya semalem sebelum tidur gue merenungi. Belum tentu juga Yeonjun seperti yang gue pikirkan. Lebih baik gue bersyukur Yeonjun baik ke Luna. Toh gue harusnya lebih seneng dan tenang lihat cewek gue diperlakukan baik daripada dikurangajarin sama cowok lain, ya nggak sih? Lagian gue percaya sama Luna. Mau apapun itu maksud Yeonjun baik ke Luna—memang dia hanya baik atau ada maksud tertentu—selama Luna-nya biasa aja ya gue nggak usah takut.”

“Salut gue sama lo, emang bener-bener kakak panutan gue deh lo tuh, Kak. Baguslah lo punya pemikiran begitu. Semalem gue agak serem sebenernya, gue bisa ngerasain ketidaknyamanan lo pas Yeonjun dateng.”

“Kelihatan ya emang? Tapi Luna nggak sadar kayaknya sih. Dia sepertinya udah terbiasa dengan gue yang terkesan dingin dan cuek-cuek aja tiap dia izin mau jalan sama temen cowoknya. Luarnya doang gue kelihatan cuek, padahal hati gue tuh nggak gitu sebenernya, Ric. Selama Luna jalannya sama lo, Younghoon atau Juyeon sih gue tenang. Selain kalian, gue nggak tenang. Tapi kalau gue lihatin ke Luna gue nggak tenang, takutnya dia nyangka gue nggak percaya ke dia.”

“Gue ngerti sih lo nggak tenang, wajar. Ini gue ceritain ya kejadian dulu, sebelum Nuna pindah ke Yongsan. Hampir tiap jalan bareng Nuna pasti ada aja cowok yang nyamperin dia. Pernah kita berempat—gue, Nuna, Kak Hoon sama Kak Juyo habis kunjungan kantor klien kita baliknya mampir ke bar.”

“Luna minum?”

“Nggak, dia kan paling intoleran sama alkohol. Gue juga waktu itu nggak minum karena nyetir. Kita cuma nemenin Kak Hoon sama Kak Juyo aja mereka pengen minum. Itu ya, ada kali tiga-apa empat-cowok yang nyamperin Nuna, mau traktir minum. Sampe kesel sendiri dia, capek nolakinnya katanya. Akhirnya kita terpaksa pulang lebih cepet padahal Kak Hoon dan Kak Juyo masih pada pengen minum.”

“Belum selesai nih ceritanya. Pernah juga diceritain sama Kak Juyo, mereka lagi makan berlima—double date tuh plus Nuna—dan meja mereka sebelahan sama meja isinya cowok-cowok seumuran kita lah. Pas Kak Juyo mau bayar, dia bingung ternyata udah dibayarin sama meja sebelah yang isinya cowok-cowok itu. Mereka nekat banget ngebayarin demi barter sama nomor HP Nuna, coba.”

“Hah segitunya? Terus, dikasih nomornya sama Luna?”

“Ya nggaklah! Marah yang ada dia. Nuna langsung keluarin duit cash dari dompetnya sesuai totalan mereka makan malam itu, dan dilemparin ke meja cowok-cowok itu.”

“Buset, galak bener pacar gue ternyata.”

“Ih emang iya tau, Kak. Nuna itu nggak terlalu ramah sebetulnya ke orang asing—yang bener-bener asing nggak kenal ya. Nggak gampang dapat kepercayaan dari Nuna tuh. Tapi ketika lo udah dipercaya Nuna, udah disayangin sama Nuna, dia bakal melakukan segalanya buat lo. Dia kalau udah sayang sama orang nggak main-main.”

“Makanya Kak Jae, menurut gue lo nggak usah insecure, nggak usah setakut itu. Nuna gue satu itu bucin banget ke lo, Kak. Kalian berdua saling bucin ke satu sama lain sih kata gue. Tapi bedanya, Nuna apa adanya, dia cemburu lihat lo sama Jisoo misalnya, ya dia langsung omongin. Kalau lo kan nggak, dipendem aja sendirian, sok cool padahal cemburu.”

“Tapi ya, sekali-kalinya tuh gue pernah utarain ke Luna gue cemburu lihat dia diajak dinner dan dianter pulang sama Yeonjun.”

“Kasih tau aja ke Nuna kalau lo lagi nggak pengen dia jalan sama cowok lain—sekalipun itu temen doang ya. Dia bakal ngerti. Dan lagi kayaknya dia bakal suka lo cemburuin daripada lo terlalu nyantai. Belajar lebih ekspresif sih, Kak, ke Nuna. Gue tau lo bukan cowok romantis, tapi gue rasa nggak ada salahnya tiba-tiba lo lakuin apa kek ke dia, yang nggak biasanya lo lakuin.”

Thanks ya, Ric, buat masukannya. Buat ceritanya juga, gue nggak tau soal kejadian cowok-cowok tadi kalau bukan dari lo. Gue merasa semakin bersyukur gue punya Luna.”

Anytime, Kak. Gue juga tenang sih pas tau kalian akhirnya resmi jadian. Gue tenang Nuna dijagain sama lo, Kak. Lo orang baik.”

Obrolan mereka terhenti ketika akhirnya tiba giliran mereka untuk memesan popcorn yang dari tadi diincar. Bersamaan dengan itu, Juyeon yang juga baru menyelesaikan teleponnya dengan sang kakak, kembali bergabung dengan Eric dan Hyunjae.

Sorry lama,” kata Juyeon sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. “Dari gue aja ya, on me.”

“Dih, tiba-tiba dateng langsung maen bayar,” kata Eric sambil menunggu popcornnya disiapkan.

“Makasih kek, malah protes,” balas Juyeon gemas.

“Hehehe makasih banyak yaaa kakak Juyo traktiran popcornnya. Sekalian sama minum boleh nggak?”

“Yeee, ngelunjak.”

Seiring dengan cengiran lebar di wajah Eric yang diikuti ucapan terima kasih dari Hyunjae, Juyeon membayar semua jajanan popcorn dan minuman mereka sebelum kembali ke area tunggu wahana yang tadi ditinggalkan.

***

Hari sudah semakin gelap dan dingin ketika akhirnya rombongan berdelapan ini keluar dari wahana terakhirnya. Dengan muka letih dan langkah kaki yang sudah mulai melunglai, mereka berjalan mengikuti arus lautan manusia yang memiliki tujuan yang sama—melihat closing parade dan kembang api yang akan dimulai tepat pukul delapan malam, lima belas menit dari sekarang.

Orang-orang tampak rusuh dan berjalan buru-buru demi memburu spot terbaik untuk menikmati parade dan kembang api. Begitu pun dengan rombongan berdelapan ini, mengerahkan sisa tenaga yang ada mereka berusaha mencapai area parade secepatnya.

Namun berbanding terbalik dengan langkah teman-temannya yang masih dengan kecepatan stabil, Luna memperlambat langkahnya ketika ia merasakan kedua telapak kakinya semakin tidak bisa diajak kompromi—pegal luar biasa, sedikit sakit ketika dipaksakan menapaki jalanan yang beraspal. Luna juga merasakan perih di bagian belakang pergelangan kaki di atas tumit, dan juga sekeliling jari-jari kakinya.

Ketika mata Luna tidak sengaja melirik bangku kosong beberapa meter darinya, refleks tangannya mencengkeram tangan Hyunjae yang berjalan di sampingnya. Hyunjae menoleh kaget ke arah Luna yang mendadak berhenti berjalan dan menariknya ke sisi, keluar dari rombongan.

“Kenapa, Na?” tanya Hyunjae bingung setengah panik melihat ekspresi tidak nyaman Luna.

“Kakiku sakit,” jawab Luna. “Mau duduk dulu disitu, temenin ya?”

“Ya udah ayo duduk dulu,” kata Hyunjae lagi sambil menggandeng Luna menuju bangku kosong di dekat mereka.

Yeonjun dan Eric yang menyadari Luna dan Hyunjae keluar dari rombongan, segera menghampiri. Keduanya terlihat panik.

“Kenapa kalian?” tanya Eric.

“Kaki gue sakit,” Luna menjawab sambil berusaha melepas tali sepatunya. “Kalian jangan nungguin, duluan aja. Nanti ketinggalan parade loh.”

Hyunjae yang sadar Luna kesulitan melepas sepatunya, memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berlutut di hadapan Luna. Ditariknya pelan sebelah kaki Luna untuk diletakkan di atas pahanya, dan tangannya melepas tali sepatu Luna. Segera setelah sepatunya berhasil diloloskan, mata Hyunjae membesar melihat kaki putih mulus Luna dipenuhi bercak kemerahan karena lecet. Tidak heran Luna merasakan perih yang tidak tertahan.

“Sayang, lecet semua kaki kamu ini,” Hyunjae bergumam sambil memijat lembut telapak kaki Luna. “Sakit nggak aku giniin?”

Luna menggeleng. “Malah agak enakan kamu pijit telapaknya. Tapi jangan kena belakang tumit ya, perih.”

“Kan tadi pagi aku udah minta kamu pakai kaus kaki, kamunya nggak nurut. Lecet kan jadinya.”

“Iya aku nyesel, lain kali nurut pakai kaus kaki.”

Masih sambil memijat telapak kaki Luna, Hyunjae beralih menatap Eric dan Yeonjun bergantian. “Nggak apa-apa tinggal aja, nanti kalau Luna udah baikan kita nyusul. Kalian duluan aja susulin mereka berempat.”

“Serius nggak apa-apa kita tinggal?” Yeonjun memastikan. Ia pun meniru posisi berlutut Hyunjae dan kini ikut meneliti kaki Luna yang sedang dalam pijatan tangan Hyunjae. Sungguh ia sebetulnya masih khawatir dengan kondisi Luna tapi Yeonjun sadar, Luna sudah ditangani oleh Hyunjae. Kehadirannya tidak dibutuhkan di sini.

“Nggak apa-apa. Nanti kabarin aja kalian duduk di sebelah mana, kita samperin ke situ. Maaf ya, bikin repot,” kata Luna dengan wajah tidak enak.

“Ya udah kalau gitu, kita tinggal ya,” kata Eric akhirnya. “Kasih tau secepatnya kalau butuh bantuan kita.”

“Na, baik-baik ya?” Yeonjun berkata sambil mengusap bahu Luna. “Jaehyun… Maaf gue ngomong gini, tapi tolong titip Luna ya? She doesn’t look fine at all.

Tidak hanya Hyunjae, tapi Eric juga ikut terkejut mendengar kalimat Yeonjun barusan.

Hyunjae tidak dapat menyembunyikan kesalnya kali ini. Ia mendengus sinis kelewat keras hingga bisa terdengar oleh mereka bertiga yang ada disana. “Nggak usah lo ngomong juga gue tau kondisi Luna nggak baik. Thank you anyway udah peduli sama cewek gue.”

Sebelum situasi bertambah panas, Eric buru-buru menyeret Yeonjun meninggalkan Hyunjae dan Luna. “Guys, cabut ya kita. Nuna cepet baikan yaa.”

Sepeninggal Eric dan Yeonjun, Hyunjae masih melanjutkan memijat telapak kaki Luna dengan ibu jari tangannya. Keningnya berkerut, hampir menautkan kedua alisnya.

“Dia pikir dia siapa? Nitipin kamu ke aku… Nggak salah?” Hyunjae tahu, ia gagal menahan emosinya. Kalimat tadi meluncur begitu saja dari bibirnya sebelum ia bisa cegah.

Luna merunduk, disentuhnya bahu Hyunjae dan diusapnya. Berharap dengan begitu bisa meredakan emosi kekasihnya ini. “Sayang, jangan dimasukin hati ya? Mungkin dia ngomong gitu karena nggak enak mesti ninggalin kita di sini.”

“Dia pikir aku nggak bisa jaga kamu dengan baik, makanya dia ngomong gitu.”

“Hus, nggak, Yang. Nggak ada yang mikir begitu. Semua juga tau kamu yang terbaik soal jagain aku. Udah ya, jangan ngambek.”

“Kamu ngebela dia?” Pijatan di kaki Luna terhenti. Hyunjae mengadahkan wajahnya, menatap Luna lurus dan tajam.

Luna terhenyak, tidak siap ditatap tajam seperti itu oleh Hyunjae—untuk pertama kali dalam hidupnya. “Bagian mana dari kalimatku barusan yang terdengar seperti ngebela Yeonjun?”

“Udah, stop mijitnya. Kakiku udah enakan,” Luna berkata lagi, ketika ia tidak mendapatkan jawaban dari Hyunjae. Ditepisnya pelan tangan Hyunjae yang masih memegangi kakinya. “Maaf jadi ngerepotin kamu. Maaf juga gara-gara aku, kamu jadi ngerasa disalahin orang lain.”

“Kamu kenapa jadi marah?” tanya Hyunjae bingung.

“Kamu kesel sama Yeonjun tapi kamu marah-marahnya ke aku. Kamu nuduh aku ngebela dia, padahal maksudku bukan gitu sama sekali. Aku hanya nggak pengen kamu bad mood gara-gara kalimat Yeonjun yang terdengar sangat konyol buatku.”

I think he likes you.”

So what? Kalau ya dia suka sama aku lalu kenapa? Aku sayangnya sama kamu.”

Hyunjae terdiam.

Dalam hati ia agak menyesal tidak berpikir panjang sebelum melontarkan kalimat tadi pada Luna. Benar ia kesal pada Yeonjun, tapi tidak seharusnya dia melampiaskan pada Luna—yang bahkan sedang dalam kondisi fisik yang tidak begitu baik.

“Yang kamu rasain ke Yeonjun, itu hal yang sama yang aku rasain ke Jisoo.”

“Na, Jisoo nggak ada hubungannya ya sama masalah ini.”

“Kamu nggak suka kan, aku ribut cemburuin Jisoo? Sama, aku juga nggak suka kamu ngeributin Yeonjun.”

“Jangan disamain!” Hyunjae masih bertahan untuk tidak meninggikan suaranya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan kegusaran pada kalimatnya barusan. Rasa menyesal yang tadi sempat menyesap, mendadak hilang terganti dengan emosi yang kembali memuncak. “Aku nggak pernah ya, makan berduaan sama Jisoo. Sekali-kalinya aku anter dia pulang pun karena terpaksa, aku udah pernah jelasin.”

“Tapi pas acara gathering kemarin, dia nempel terus ke kamu. Sekalinya aku protes, kamu malah balik marahin aku, kamu bilang aku cemburu nggak berdasar. Ya sekarang sama aku juga mau bilang, cemburu kamu ke Yeonjun itu nggak berdasar. Yeonjun baik dan care ke semua temennya, nggak hanya ke aku. Aku nggak paham kenapa kamu bisa terima Younghoon, Juyeon dan Eric deket sama aku, tapi nggak dengan Yeonjun.”

Don’t you hear yourself? You just defended him. Again.”

Luna tidak percaya ini.

Sepanjang hari ini ia dan Hyunjae baik-baik saja. Tidak pernah terbesit sedikit pun di benaknya, kebahagiaan hari ini akan tercoreng dengan pertengkaran tiba-tiba dengan Hyunjae. Dan ini bukan pertengkaran kecil pula.

Sial! Luna mengumpat dalam hati. Kenapa pertengkarannya terjadi di malam yang seharusnya menjadi salah satu malam paling menyenangkan dalam hidupnya?

“Aku akan buktiin omongan kamu soal Yeonjun salah,” kata Luna akhirnya. “Soon, aku bakal tanya langsung ke Yeonjun soal perasaan dia ke aku yang sebenarnya.”

“Oke. Aku juga bakal tanya ke Jisoo—”

“Nggak perlu,” Luna memotong ucapan Hyunjae sambil menggelengkan kepalanya. “Sebetulnya aku udah nggak kepikiran lagi soal Jisoo, karena aku percaya sama kamu. Maaf aku libatin dia malam ini, aku cuma kepancing aja.”

Lalu keduanya berbarengan menghela nafas. Baik Luna dan Hyunjae sama-sama ingin segera mengakhiri perdebatan malam ini. Keduanya tidak nyaman karena merasa sudah saling menyakiti satu sama lain.

Can we… end this fight now? Paradenya sebentar lagi mulai. I don’t wanna miss it,” kata Luna lagi. Ia kemudian membungkuk untuk mengambil sepatunya. “Damn it!” Luna mengumpat lalu meringis kesakitan ketika rasa perih menjalar saat ia mencoba memasukkan kakinya ke dalam sepatu.

Hyunjae bangkit dari posisi berlututnya. Ia merogoh tas ransel hitamnya, mencoba menemukan kotak obat travel size berwarna putih yang memang ia siapkan untuk keadaan darurat seperti ini. Seingatnya, ia sempat memasukkan salep anti iritasi dan band aid di dalam kotak itu.

“Aku olesin salep dulu kakinya, mungkin agak perih sedikit. Tahan ya, Na.”

“Nggak usa—”

“Diem. Tahan.”

Luna tidak berkutik ketika Hyunjae kembali dalam posisi berlututnya, meraih kaki Luna lagi dan mengoleskan salep iritasi di beberapa titik lecetnya. Rasa dingin dan perih menyatu ketika salep yang dioles Hyunjae menyentuh kulit Luna.

“Jae, sshh perih—”

“Maaf ya, tahan ya, biar cepet kering lecetnya.”

Selesai mengoleskan salepnya, Hyunjae memutuskan untuk menutup luka lecet di tumit belakang Luna dengan band aid supaya tidak terlalu perih saat harus bergesekan dengan sepatu. Setelah dirasa cukup, Hyunjae sekali lagi bergantian memijiti telapak kaki kiri dan kanan Luna, sebelum akhirnya memakaikan kembali sepatu Luna di kakinya. Kali ini dilonggarkannya ikatan tali sepatunya untuk mengurangi himpitan di kaki Luna.

“Masih perih?”

“Mendingan.”

“Coba berdiri.”

Tepat ketika Luna mencoba untuk berdiri dari duduknya untuk memastikan apakah kakinya sudah kuat untuk dibawa berjalan lagi atau belum, tiba-tiba terdengar alunan musik parade dari kejauhan, disusul riuh sorak dari para pengunjung yang menyambutnya.

“Udah mulai paradenya, aku pengen lihat.”

“Cobain dulu kamu udah kuat jalan belum? Kalau belum jangan dipaksa. Anak-anak pasti pada ngerekam paradenya kok.”

Luna sudah sepenuhnya berdiri dan dicobanya berjalan perlahan. Masih terasa sedikit perih tapi sudah tidak semenyiksa tadi.

“Masih agak perih, tapi bisa jalan pelan-pelan.”

“Mau nyusul anak-anak atau di sini aja?”

“Mau nyusul, tapi kalau susah ketemunya ya udah sedapetnya tempat aja yang penting pengen lihat parade.”

“Bener kuat? Atau mau aku gendong? Piggy back?”

“Nggak mau gendong, malu.”

Hyunjae berdiri sambil menyampirkan kembali ranselnya. “Ya udah, ayo jalan pelan-pelan.”

Dengan tangan melingkar di pinggang Hyunjae, Luna mengusahakan sisa tenaganya untuk berjalan perlahan mendekati area parade. Parade malam—sekaligus parade terakhir yang disuguhkan hari itu adalah parade yang sungguh Luna incar untuk dinikmati. Semakin Luna berjalan mendekati area parade, ingar bingar musik semakin jelas terdengar, membuat Luna semakin bersemangat ingin segera melihatnya.

Luna merasa wajahnya memanas ketika ia sadar Hyunjae sedang mengecup pipinya—tiba-tiba. Ia mengeratkan pegangannya di pinggang Hyunjae, merapatkan tubuhnya hingga tidak ada celah sama sekali antara tubuhnya dan tubuh Hyunjae kini.

“Aku minta maaf,” bisik Hyunjae lirih di telinga Luna. “Maaf ya, nggak seharusnya aku tadi marah ke kamu dan nuduh sembarangan. I didn’t mean to hurt you. I never meant to.”

I know,” jawab Luna. Ia terpaksa sedikit mengencangkan volume suaranya ketika alun musik parade semakin jelas terdengar. “Kamu dimaafin, jangan gitu lagi ya? Aku takut ditatap tajam kayak tadi sama kamu. Kalau nggak inget lagi di tempat umum kayaknya aku bisa nangis.”

“Aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri kalau sampai bikin kamu nangis. I really am sorry, Luna.”

“Nggak apa-apa, Sayang. Aku juga minta maaf ya, out of nowhere nyebut-nyebut Jisoo tadi.”

“Udah ya, jangan dibahas lagi. Kita baik-baik aja kan sekarang?”

“Baik-baik, dan aku tambah sayang sama kamu.”

Hyunjae tahu ini tempat publik, tapi ia sudah tidak pedulikan lagi hal itu. Masa bodoh, pikirnya. Toh tidak akan bertemu lagi dengan orang-orang di sekelilingnya ini.

“Eeh, ngapain—” Luna tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya ketika bibir Hyunjae membungkam bibirnya. Lembut. Hyunjae tidak ingin melepaskannya buru-buru.

Luna yang malu-malu dan kikuk karena mendapatkan ciuman tiba-tiba di tengah keramaian seperti ini, hanya terdiam saat bibirnya dipagut oleh bibir Hyunjae. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak membalas pagutannya.

You didn’t kiss me back?” tanya Hyunjae sesaat setelah melepaskan ciumannya.

“Malu…”

Hyunjae memagutkan bibirnya lagi di bibir Luna. Ketika dirasakannya kali ini Luna membalas pagutannya—pelan dan malu-malu—Hyunjae tersenyum dalam ciumannya.

Tidak lama kemudian terdengar suara letusan kembang api tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Membuat langit malam yang menaungi mereka mendadak bersinar terang oleh cahaya kembang api. Hyunjae melepaskan lagi ciumannya, hanya untuk memandangi langit yang ramai dengan kiasan kembang api warna warni. Indah.

Ditatapnya Luna yang juga sedang menikmati euforia kembang api yang masih juga belum kelihatan akan berhenti.

“Cantik…” gumam Hyunjae.

“Iya, cantik banget kembang apinya.”

No, I mean you. Kamu cantik.”

Pipi Luna blushing. Kenapa Hyunjae jadi sering memujinya begini sih? Luna masih belum terbiasa mendengar pujian dari Hyunjae, jadi tiap kali Hyunjae memujinya hanya akan terdengar menggelikan di telingannya.

“Geli ah. Kalau mau muji aku dalam hati aja nggak usah diomongin.”

“Aneh, dipuji malah protes,” Hyunjae berkata dengan gemas. Sesaat sebelum kembang api berakhir, Hyunjae memutuskan untuk mencium Luna lagi.

And, here they are. Kissing.

Luna dan Hyunjae melepaskan ciumannya dan menoleh kaget ke arah sumber suara—yang ternyata adalah suara Younghoon yang berdiri sekitar sepuluh meter dari mereka. Dengan tangan terlipat di dada, Younghoon memperhatikan keduanya sambil menggelengkan kepala. Nara berada di sisinya, tersenyum cengengesan. Begitu juga Juyeon dan Sarah yang melemparkan senyum mengejek pada Luna dan Hyunjae.

Eric terlihat menggaruk belakang kepalanya, salah tingkah. Dan Yeonjun menunduk menatap lantai sambil menyunggingkan senyum sinis dengan hanya sebelah bibir terangkat.

“Dapet kabar dari Eric, Luna kakinya sakit. Kita khawatir kalian nggak nongol-nongol dikirain Luna sama sekali nggak bisa jalan. Taunya asik ciuman,” protes Younghoon.

Luna melingkarkan lagi tangannya di pinggang Hyunjae sambil berjalan mendekati teman-temannya. “Diem lo, kayak yang nggak pernah ciuman aja sama Nara,” ejek Luna.

Younghoon mengacak rambut Luna. “Dih, nyebelin. Gimana kakinya? Gue denger tadi pagi Jaehyun nyuruh lo pakai kaus kaki tapi lo nggak mau.”

“Iya, gue juga denger,” timpal Juyeon. “Bandel banget emang cewek lo ini, Jae. Udah bandel, ujungnya ngerepotin orang.”

Hyunjae tertawa melihat Luna yang cemberut karena diomeli Younghoon dan Juyeon.

“Yang gue repotin itu Jaehyun ya, cowok gue sendiri. Bukan kalian. Jaehyunnya aja nggak protes, kok.”

“Emang Jaehyun itu terlalu baik buat lo, Na.” Kali ini ejekan datang dari Nara. “Banyak-banyak sabar ya, Jae? Sorry temen gue satu ini ngerepotin lo terus.”

“Udah dong, pada tega nih sama gue. Udah minta maaf kok guenya juga ke Jaehyun. Udah ah yuk, pulang. Tapi sambil cari makan ya? Gue kok laper banget.”

Yang lain serempak setuju dengan ajakan Luna untuk pulang dan cari makan. Seharian bermain di USJ walaupun sudah dua kali makan berat dan banyak jajan snack, tetap membuat delapan orang ini lapar rupanya.

Kali ini, kedai ramen menjadi tujuan mereka setelah meninggalkan USJ.