Seoul Story

Deluna

CHAPTER 1.

“Hyaaah akhirnya beres juga!”

Luna berseru lega sambil mengangkat tangannya tinggi ke udara sekalian stretching ringan. Matanya menyapu apartemen barunya dengan puas— perjuangan selama satu minggu dari mulai unpack barang-barang dari apartemen lama, bersih-bersih sekaligus menata segala perabotan akhirnya selesai hari ini.

Dengan senyum lebar tersungging di bibirnya, Luna berjalan mendekati dua sahabatnya yang setia ikut membantu kepindahan Luna ke apartemen ini. Dirangkulnya satu-satu kedua sahabatnya yang lagi asyik nyeruput lemon tea dingin sambil bersandar di konter dapur.

“Makasih yaa, para lelakiku! Nggak tau gimana jadinya hidup gue tanpa lo berdua,” kata Luna senang.

Younghoon mengangguk sambil mengacak pucuk kepala Luna pelan, “You’re welcome. Seneng ya, akhirnya apartemen lo layak huni.”

“Kita juga seneng bisa bantu lo, Na. Udah kewajiban. Hehe,” Juyeon ikut menimpali sambil terkekeh. Dirinya ikut puas melihat hasil kerja mereka bertiga selama seminggu ini. Capek sih pasti, tapi semua terbayar.

“Gue laper, nyemil apa ya?” Luna mengeluarkan ponsel Z-flip rose gold-nya dari saku celana dan membuka aplikasi pesan antar. “Jajan di Gansikjib bosen nggak, guys?”

“Nggak, yuk! I’m always open for tteokbokki!” seru Younghoon semangat, diikuti anggukan setuju dari Juyeon. “Jjajangmyeonnya juga dong, Na. Takut nggak kenyang gue kalau tteokbokki doang.”

“Oke, gue pesenin ya!”

Selesai memesan makanan, Luna menutup ponselnya lagi dan lanjut berbincang dengan Younghoon dan Juyeon.

Annastasia Fideluna Diyose, 27 tahun.

Sudah tinggal di Kota Seoul dari SMA kelas 2. Anak tunggal yang dibesarkan dengan penuh keberkahan dalam hidupnya—sepasang orangtua yang luar biasa hebat, kehidupan mapan, otak pintar dan perawakan fisik yang indah serta attitude yang baik.

Pekerjaan ayahnya sebagai salah satu anggota penting di Kedutaan Besar Republik Indonesia mengharuskan Luna dan keluarganya terbiasa tinggal berpindah-pindah tergantung di negara mana ayahnya ditugaskan. Sampai akhirnya ketika ayahnya ditugaskan di kantor KBRI di Korea Selatan, Luna seperti menemukan jati dirinya. Dia suka sekali tinggal di Korea dan akhirnya memutuskan untuk tetap lanjut tinggal di sini meski orangtuanya kini menetap di Singapore, karena tugas ayahnya di Korea Selatan sudah selesai. Ya, di umur 18 tahun ketika Luna siap masuk kuliah, ayahnya dipindahtugaskan lagi ke Singapore dan Luna menolak ikut. Setelah berhasil meyakinkan orangtuanya bahwa Luna bisa menjalani hidup dengan baik walaupun sendirian di Seoul di usia semuda itu, akhirnya Luna diizinkan tidak ikut ke Singapore. Luna pun menepati janjinya kepada Mama dan Ayah, hingga kini usianya menginjak 27 tahun dia sungguh hidup dengan baik di Seoul.

Pertemuan Luna dengan Younghoon dan Juyeon terjadi ketika ketiganya sebagai mahasiswa baru di Hanyang University jurusan Ekonomi Akuntansi ditempatkan dalam satu kelompok pada masa orientasi, bersamaan dengan dua teman lainnya. Younghoon dan Juyeon sudah berteman sejak SMP dan tempat tinggal keduanya pun berdekatan, yang ternyata juga tidak jauh dari apartemen Luna kala itu. Jadilah, mereka bertiga akhirnya berteman dekat karena hampir setiap hari berangkat kuliah berbarengan kalau kebetulan dapat jadwal yang sama, dan menjalani rutinitas di kampus berbarengan pula.

Seperti mendapat restu dari semesta, persahabatan yang mereka bertiga jaga dengan baik ini berlanjut ketika mereka mencoba melamar ke satu perusahaan yang sama dan ketiganya diterima—walaupun Younghoon dan Juyeon pada akhirnya terpaksa meninggalkan Luna ketika keduanya dipindahkan ke kantor pusat dua tahun lebih dulu daripada Luna. Walau begitu, tetap saja, kali ini akhirnya mereka bertiga bisa kembali bersama setelah Luna akhirnya bergabung di kantor pusat.

Ya, itu alasan Luna meninggalkan apartemen lamanya dan pindah ke apartemen baru ini karena dia baru saja mendapatkan promosi di kantornya dan naik jabatan menjadi asisten managing director, yang artinya Luna pindah dari kantor cabang yang ada di distrik Yangcheon, ke kantor pusat di distrik Gangnam.

“Gue seneng banget akhirnya bisa ngumpul lagi sama kalian di Gangnam. Nggak nyangka juga, non-korean kayak gue bisa dapet promosi di sini hehehe.”

“Ya itu karena performa lo emang bagus banget, Na, makanya lo dapet posisi itu. Gileee, asisten managing director loh nggak main-main banget posisi lo!” kata Juyeon.

“Bangga gue sama lo, Na. Yang betah ya di kantor pusat. Jabatan lo naik artinya tanggung jawab lo ke perusahaan juga lebih gede. Fighting!” timpal Younghoon.

Luna mengangguk-angguk semangat. Hari Senin besok akan menjadi hari pertamanya masuk kerja di kantor pusat, semoga semuanya berjalan dengan baik!

CHAPTER 2.

Nggak kerasa hampir tiga bulan sudah berlalu semenjak Luna pindah kerja di kantor pusat. Pekerjaan Luna sebagai tax auditor membuatnya harus berurusan dengan banyak klien—ditambah dengan posisinya kini yang telah naik, Luna yang tadinya hanya menangani klien level individual atau perorangan kini jadi menangani klien level perusahaan, dan bukan perusahaan main-main para kliennya ini.

Tapi memang dasarnya Luna doyan kerja, semakin sibuk dia semakin merasa puas akan hidupnya. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 7 malam tapi Luna masih anteng di ruangannya mengerjakan laporan hasil wawancara terakhir dengan kliennya sore tadi, sebelum hari Senin nanti harus diserahkan ke bosnya.

Tok tok!

Pintu kaca ruangan Luna yang terbuka diketuk pelan oleh seseorang. Luna mendongak untuk melihat siapa yang menghampiri ruangannya.

Ternyata Younghoon, diikuti pacarnya, Nara, masuk ke ruangan Luna.

“Loh, masih di sini ternyata kalian? Gue kira udah cabut dari tadi,” tanya Luna heran.

“Nungguin lo tadinya, tapi ternyata lama amat nggak kelar-kelar lo-nya. Ahelah, buruan napa sih, Na. Kita laper,” jawab Younghoon. Sebelah tangannya bersandar di meja kerja Luna, tangan satunya merangkul pinggang Nara.

“Yang laen udah pada cabut, tinggal kita bertiga. Yuk, Na. Jangan bikin kita ninggalin lo,” Nara menimpali. “Hari Jumat gini orang-orang pada ngacir pengen pulang cepet, lo malah lembur. Doyan amat kerja sih, Naaa…”

Luna menatap layar laptop yang berisikan laporan buatannya yang sebetulnya sedikit lagi bisa selesai. “Tanggung, Nara… Sebentar lagi beres ini. Gue beresin dulu ya? Kalian duluan aja, gue nyusul pake taksi gampang.”

“Pake taksi apaan, kagak ada!” dengus Nara kesal. “Yang ada lo malah tambah anteng kita tinggalin, akhirnya bubar jalan nggak jadi ikutan dinner bareng.”

“Ayolah, nggak enak sama yang lain kalau kita telat. Udah dua kali loh acara dinner bareng anak-anak gagal mulu karena pada sibuk. Akhirnya sekarang pada bisa jangan sampe kitanya telat,” kata Younghoon lagi. “Lo nggak liat si Juyeon sama Eric udah dari siang melototin jam mulu, saking pengen cepetan ngumpul malem ini.”

Luna terkekeh.

“Yaudah deh, kalian duluan gih ke parkiran. Sambil kalian ambil mobil di basement, gue beresin meja dulu. Tunggu di depan lobby ya!”

***

Kedatangan Luna, Younghoon dan Nara di restauran hampir sejam kemudian, disambut riuh oleh teman-temannya yang sudah lebih dulu tiba di sana. Beberapa makanan sudah mulai tersaji di atas meja—Luna, Younghoon dan Nara memang sengaja meminta teman-temannya untuk langsung memesan makanan tanpa menunggu kedatangan mereka.

Luna menarik kursi kosong berhadapan dengan Juyeon, sambil membenarkan helai rambutnya yang tertiup angin. Udaranya tidak terlalu dingin tapi anginnya agak terasa karena anak-anak memilih tempat di rooftop untuk acara makan-makan mereka malam ini.

Yang hadir di acara makan malam hari ini dari kantor Luna ada Younghoon dan Nara, Juyeon, Eric, Jake, Yeonjun dan Sarah. Mereka bertujuh dan Luna duduk di meja yang sama. Di meja sebelahnya, ada grup dari kantor lain berisikan 4 orang yaitu Sangyeon, Sunwoo, Jacob dan Kevin—empat orang ini sahabatnya Eric si social butterfly yang ranah pertemanannya dimana-mana. Akibat kenal Eric, mereka berempat juga jadi kenal dengan anak-anak lain di kantor Luna dan sesekali suka sengaja janjian main bareng di saat kantor libur.

Kalau kantor Luna bergerak di bidang finansial, kantor empat temannya Eric ini bergerak di bidang arsitektur dan design.

Nuna, ayo kenalan dulu sama temen-temen gue di meja sana.”

Luna menoleh saat Eric tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya ketika Luna sedang asyik memeriksa ponselnya. Eric yang usianya 3 tahun di bawah Luna, menyebutnya dengan nuna.

Luna tersenyum mengangguk dan bangkit dari duduk. Tangannya merapikan rok hitamnya yang sedikit naik di atas lutut, mengekspos kaki jenjang mulusnya. Terdengar suara ketukan pelan dari heels lima sentinya yang beradu dengan lantai keramik restauran ketika ia berjalan pelan mengikuti Eric ke arah meja sebelah.

Guys! Kenalin ini Luna, nuna gue di kantor. Baru mau tiga bulan gabung kantor sini sebelumnya di Yongsan,” Eric berujar, mengenalkan Luna ke keempat temannya.

Sunwoo yang seumuran dengan Eric langsung berdiri cepat dan membungkuk ke arah Luna, “Annyeong nuna, gue Sunwoo. Eh—bisa bahasa Korea kan, ya?” tanya Sunwoo hati-hati, menyadari tipikal muka Luna yang jauh dari tipikal muka orang Korea pada umumnya.

“Bisa kok,” jawab Luna sambil tersenyum ramah. “Hai juga, gue Luna. Salam kenal semuanya ya. Nice to know you!

Sangyeon, Kevin dan Jacob bergantian bersalaman dengan Luna sambil menyebutkan nama masing-masing. Setelah berbincang sedikit, Luna pamit untuk kembali ke mejanya karena akhirnya semua makanan pesanan anak-anak sudah tersaji lengkap.

Ketika semuanya sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi tegap dari arah tangga, berjalan terburu-buru dengan tas laptop tersampir di bahunya—menuju meja sebelah.

Saat melewati meja anak-anak kantor Luna, mata lelaki itu tidak sengaja beradu pandang dengan mata Luna selama sepersekian detik. Ia melayangkan sekilas senyum pada Luna, yang langsung dibalas anggukan dan senyum oleh Luna.

“BUSET KEMANA AJA BANG?!” Sunwoo setengah berteriak saat melihat lelaki jangkung itu akhirnya datang dan ikut duduk dengan mereka.

“Dasar Jaehyun gila, telatnya satu jam lebih. Bener kan, nggak seharusnya kita ninggalin lo tadi, harusnya diseret paksa aja biar nggak telat kayak gini,” kata Sangyeon.

Si yang bernama Jaehyun tadi terkekeh, “Maaf yaa semuanya. Udah dibilang nggak usah nungguin, kerjaan gue masih tanggung tadi.”

“Alah lo, kerja mulu. Kerja kerja kerja, tipes. Ini hari Jumat woy, nikmatin kek. Udah ah buruan yok makan dulu,” kata Kevin.

Luna yang mendengar obrolan para lelaki dari meja sebelah, tiba-tiba tersenyum simpul sambil menyuapkan potongan daging steak yang terbalut daun perilla hijau segar ke mulutnya.

“Kenapa lo senyum-senyum? Berasa liat cerminan diri lo ya?” kata Juyeon yang lagi memperhatikan Luna.

“Lo sama Jaehyun hyung emang setipe banget. Dia itu Nuna versi laki. Hobi banget kerja, susah banget diajak main kalau gue denger dari Sunwoo sih,” tambah Eric. “Padahal ganteng, tapi single mulu udah lama. Kak, nanti kenalan ya sama Jaehyun hyung.”

“Hah? Ngapain kenalan? Kan tadi udah sama temen-temen lo yang lain kenalannya.”

“Yeee, ya beda lagi. Sama Jaehyun kan belum. Kali aja kalian jodoh. Suka kasian gue tuh liat lo nuna gue sama Jaehyun hyung gue, sama-sama cantik ganteng tapi kayanya nggak ngerti cara having fun yang bener.”

“Hahaha sialan lo, Ric. Lo kira gue cupu. Gue juga suka lagi having fun. Gue suka kerja, tapi gue juga demen main kok. Nih buktinya gue di sini bareng kalian.”

“Iye lo disini tapi kalau nggak diseret Younghoon sama Nara gue yakin sampe jam segini lo bakal masih anteng di kantor.” Sarah, si blasteran Korea-Perancis tiba-tiba menyahuti dari ujung meja.

Semuanya tertawa dan melanjutkan makan malam mereka dengan nikmat sambil masih sesekali bercanda ringan dan saling melempar obrolan dengan lima lelaki di meja sebelah.

Selesai makan, Luna melap sudut-sudut bibirnya dengan tissue. Tangannya bergerak mengambil cermin dari pouch kecil di tasnya, dan menyapukan lipgloss warna soft pink setelah memastikan bibirnya telah bersih. Setelah selesai, Luna berdiri.

“Gue mau ambil eskrim ah di bawah, ada yang mau nitip? Sarah, Nara, temenin gue yuk.”

Keduanya menggeleng kompak, “Nggak ah, kekenyangan males jalan. Titip aja ya?”

Luna mendengus tapi maklum juga. Sepertinya selain kekenyangan, Sarah dan Nara sudah mulai kehilangan tingkat kesadarannya. Ini wajar, mengingat entah sudah berapa botol soju kosong betebaran di meja ini. Hanya Younghoon dan Yeonjun yang tingkat kesadarannya masih tinggi karena mereka menyetir. Sisanya sudah mulai loyo, kombinasi dari kekenyangan, capek ngobrol dan ketawa, dan mulai mabuk soju.

Di meja sebelah kondisinya nggak jauh beda, malah lebih parah. Sepertinya hanya Sangyeon yang masih agak sadar dan Jaehyun satu-satunya yang terlihat sangat sadar. Luna melirik Jaehyun saat menyadari lelaki itu juga sedang berdiri dan bersiap meninggalkan meja.

“Yaudah, siapa lagi yang mau nitip eskrim?” Luna kembali bertanya sambil menatap temannya satu-satu.

“Gue nggak.”

“Gue juga skip. Kenyang banget anjir.”

“Gue skip, Na. Thanks.

“Oke, berarti cuma Nara sama Sarah aja ya.”

Luna berbalik mau meninggalkan meja ketika di saat yang bersamaan, Jaehyun sedang lewat di belakangnya. Tanpa sengaja, bahu mereka bersenggolan.

“Ups, sorry gue balik badan nggak lihat-lihat. Gwenchana?” Luna refleks bertanya sambil memegang bahu kirinya yang tadi bersenggolan dengan bahu kanan Jaehyun.

Jaehyun tersenyum, “Gwenchana,” jawabnya singkat. “Mau ke bawah juga?” tanya Jaehyun dengan sebelah tangan masuk ke saku celananya, tangan satunya mengajak Luna bersalaman. “Belum kenalan, gue Jaehyun.”

“Luna,” sambil menyahuti namanya, tangan Luna menyambut uluran tangan Jaehyun. “Yuk ke bawah. Gue mau ambil es krim.”

Jaehyun mengangguk sambil membantu Luna mendorong mundur kursinya agar Luna bisa berjalan keluar dengan lebih leluasa.

“Sekantor sama Eric? Kok gue nggak pernah lihat lo sebelumnya ya?” tanya Jaehyun lagi ketika mereka bersamaan menuruni tangga menuju dua lantai di bawah rooftop, tempat stand es krim berada.

“Baru tiga bulan di kantor sini, sebelumnya di Yongsan,” jawab Luna.

“Oh wow, dipindahin dari Yongsan kesini. Sama kayak Younghoon Juyeon ya.”

“Lo kenal mereka juga? Deket sama Younghoon Juyeon?”

“Hmm nggak deket gimana sih, cuma karena Eric aja jadi kenal dan akhirnya nggak canggung kalau main bareng.”

“Emang awalnya Eric bisa kenal sama anak-anak kantor lo itu gimana sih?” tanya Luna penasaran.

“Dia temenan sama Sunwoo, anak satu tim gue. Udah kenalan belum sama Sunwoo dan yang lain?”

Luna mengangguk sambil menyelipkan helaian rambutnya di balik telinga. “Udah tadi, sebelum lo datang.”

“Eric dan Sunwoo temenan deket dari kuliah walaupun beda jurusan. Gue sekampus sama mereka dan gue dulu seniornya Sunwoo di kampus. Begitu lulus, gue kerja di kantor yang sekarang ini dan pas kebetulan tim gue lagi cari orang, Sunwoo baru lulus, jadinya gue ajak kerja bareng deh. Eric sering main bareng Sunwoo jadinya anak-anak kantor gue yang lain kenal deh sama Eric dan lama-lama, jadi kenal juga sama anak-anak kantornya Eric.”

“Oh gitu ceritanya, seru juga ya bisa jadi saling kenal dan akhirnya temenan.”

“Iya, semua berawal karena Eric sih. Dia yang jadi jembatan kenalnya anak kantor gue dan kantor lo, Na.”

“Eric itu social butterfly banget ya, temen dia dimana-mana banget. Tiap lagi jalan sama Eric pasti ada aja dia ketemu temennya di jalan.”

“Iya emang SKSD banget anak itu. Tapi SKSD yang asyik sih bukan yang nyebelin, makanya gampang temenan. Gue tuh padahal setipe MBTI-nya sama Eric, ENFJ. Tapi entah kenapa gue nggak semahir dia kalau urusan kenalan dan temenan sama orang baru. Gue kaku orangnya.”

“Nggak juga ah. Ini bisa lo ngalir ngobrol sama gue. Lo juga tadi yang duluan ajak kenalan. Akhirnya gue menemukan temen sesama ekstrovert selain si Eric. Gue ESFP, by the way.”

“Oh ya? Well, nice to meet you, sesama ekstrovert.”

Luna tertawa mendengar perkataan Jaehyun. Padahal masih jauh dari sepuluh menit lamanya mereka berkenalan, tapi Luna sudah merasa nyaman dan tidak canggung lagi mengobrol dengan Jaehyun. Hanya saja ia merasa ada gelitik aneh di hatinya ketika melihat Jaehyun membenarkan helaian rambutnya dengan menyisirnya ke belakang dengan jari.

Jaehyun cakep, Luna membatin dalam hati.

Akhirnya, mereka berdua sampai di depan stand es krim yang menyuguhkan bermacam-macam jenis es krim dengan variasi warna dan rasa yang sungguh menggugah selera. Mata Luna membulat antusias, dirinya mencintai es krim lebih dari dessert jenis apapun di dunia ini.

Mint choco satu,” kata Jaehyun pada pelayan yang menghampiri dari balik etalase stand eskrim.

Luna menoleh cepat, kaget. “Ih kok sama? Gue juga doyan banget es krim mint choc tapi demi apapun nggak ada temen-temen deket gue yang doyan mint choc. Aneh nggak sih?”

“Yaa, nggak aneh juga. Semua orang punya preferensi masing-masing soal rasa,” jawab Jaehyun kalem.

Luna mendelik. “Jawabannya realistis banget sih lo.”

“Lah ya emang iya kan?”

“Iya sih… Tapi nggak asyik aja gitu gue nggak ada temen sesama mint choc lover,” kata Luna. “Mint choco satu, vanila satu, strawberry sorbet satu,” lanjutnya pada pelayan yang sudah selesai memberikan eskrim milik Jaehyun.

“Kan sekarang ada gue. Lo bisa ajak gue kalau lagi pengen ditemenin ngemil es krim mint choc,” sahutnya santai sambil menyendokkan es krim ke mulutnya.

Luna memperhatikan Jaehyun yang masih sibuk menikmati es krimnya. Yang diperhatikan sama sekali tidak memperhatikan Luna balik, tetap sibuk dengan cup es krim di tangannya.

Dia ini tipe tsundere gitu kayaknya ya? Lagi, Luna sibuk berdialog dengan dirinya sendiri.

Luna mengambil dua cup es krim dengan tangan kanannya, lalu satu cup lagi di tangannya kirinya sambil bergeser ke arah kasir yang bersebelahan dengan etalase es krim. Ketika akan membayar, Luna sadar dia kesulitan mengambil dompet yang dia kepit karena tangannya penuh.

Jaehyun yang melihat itu dan sudah membayar es krim miliknya duluan tadi, langsung berjalan menghampiri Luna dan mengeluarkan dompetnya. Menarik keluar kartu ATM dan memberikannya pada petugas kasir.

“Eeh kok? Nanti gue gantiin ya di atas. Sorry.

Jaehyun mengambil kembali kartu ATM-nya setelah transaksi selesai. Memasukkan dompetnya lagi ke saku celana dan tangannya bergerak mengambil satu cup es krim dari tangan Luna.

“Ribet banget lihatnya. Sini gue bawain satu.”

“Hehe, thank you. Untung ada lo, dan untung juga cuma Nara sama Sarah yang titip eskrim.”

Mereka pun kembali berjalan berdampingan menuju tangga ke arah rooftop. Tapi kali ini dalam diam. Dua insan yang baru saja berkenalan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing.

***

Jam sepuluh lewat akhirnya mereka semua sudah berada di tempat parkir, bersiap untuk berpisah setelah melewati acara makan malam bersama yang akhirnya sukses diadakan hari Jumat ini. Nggak ada yang lebih membahagiakan untuk para budak korporat ini selain melepas penat bersama teman-teman terdekat di hari Jumat malam, hari yang paling dinanti dimana mereka bisa segera mengistirahatkan tubuh menjelang akhir pekan.

Younghoon menyalakan mesin mobilnya, setelah itu keluar lagi dari mobilnya sebentar untuk menghampiri mobil Yeonjun yang diparkir sebelahan, berisikan Juyeon di kursi penumpang depan dan Eric di belakang. Mereka saling bertukar salam tinju ala lelaki sebelum berpisah pulang. Jake sudah meluncur duluan meninggalkan parkiran dengan motor besar hitamnya.

Nara duduk di kursi penumpang depan di mobil Younghoon dengan mata terpejam. Kesadaran Nara sudah nol besar padahal mobil Younghoon belum bergerak dari tempat parkir. Di deretan kedua, ada Sarah yang juga sudah dalam posisi siap tidur, dan Luna yang baru memasuki mobil Younghoon. Pintu mobil yang Luna tarik untuk ditutup tiba-tiba seakan tertahan.

“Eh, kenapa Jae?” tanya Luna ketika melihat ternyata tangan Jaehyun yang menahan pintu mobil supaya tidak tertutup. “Astaga lupa, gue belum bayar es ya? Tunggu…” Tangan Luna buru-buru merogoh tasnya mencari dompet.

“Hey, bukan itu,” sahut Jaehyun pelan sambil menyentuh tangan Luna, menghentikan kegiatan Luna mencari dompet. Tetapi karena takut Luna merasa risih, Jaehyun segera melepaskan tangannya lagi. “Udah, es krimnya nggak usah, my treat.

“Loh kok gitu? Gue nggak enak dong, mana banyak banget lagi—”

“Cuma tiga cup kok,” potong Jaehyun. “Nanti aja kapan-kapan lo gantian traktir gue mint choc, ya?”

“Eh—iya..”

“Gue mau minta nomor handphone lo Luna, boleh?”

Luna terdiam, meragu.

Jujur, Luna sungguh ingin bertukar nomor dengan Jaehyun tapi ada sebagian hati kecilnya yang meragukan keinginan itu. Dan lagi, Luna memang tidak terbiasa memberikan nomornya semudah itu ke orang yang baru dikenal, kecuali untuk urusan pekerjaan.

“Gimana, boleh nggak?” tanya Jaehyun lagi.

“Nomor lo berapa?” akhirnya Luna menyahuti sambil membuka ponsel flip-nya. Jari-jari lentiknya mengetikkan sederet nomor yang disebutkan Jaehyun, menekan tulisan “save as a new contact” di layar ponselnya, dan kemudian menutup menutup kembali ponselnya.

Thank you, udah gue save nomor lo.”

“Terus… nomor lo?”

“Nanti gue hubungin lo.”

“Ah, bohong. Lo pasti nggak akan hubungin gue.”

Luna menarik napas dan menghembuskannya pelan sebelum menjawab, “Lo bakal dapet nomor gue kalau kita ketemu lagi untuk yang ketiga kalinya, ya. Tanpa disengaja, kaya pertemuan hari ini. Considered tonight as our first meet. Two more meeting then. Fighting!” kata Luna sambil menahan tawa dan tangannya membentuk kepalan menyemangati Jaehyun yang hanya memandanginya bingung.

“Dan kalau ternyata kita nggak pernah ketemu lagi?”

“Jangan drama, jarak kantor kita nggak jauh.”

“Ya tapi—”

Omongan Jaehyun terinterupsi oleh Younghoon yang tetiba masuk mobil. “Yuk, cabut sekarang. Jae, kasian tuh Jacob Kevin pada kering nungguin di mobil lo, yang punyanya malah melipir kesini. Lagi godain sobat gue ternyata ya.”

“Apaan sih, ngobrol doang kok,” sela Luna pada Younghoon. “Yuk, Jae. Pulang dulu ya. Lo hati-hati nyetirnya, sampai ketemu lagi!”

Jaehyun refleks menarik tangannya dari pintu mobil Younghoon saat Luna menarik handle pintu dan menutupnya. Luna membuka kaca dan melambaikan tangan pada Jaehyun seiring bergeraknya mobil Younghoon meninggalkan lahan parkir restauran.

“Naksir Jaehyun lo?” tanya Younghoon ketika mobil mulai memasuki jalan besar yang masih ramai. Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara dengkur pelan Nara dan Sarah.

Luna membalas tatapan Younghoon lewat kaca spion tengah. “Nggak. Ya, well, cakep sih. Tapi nggak bikin gue naksir. Belum, at least.

“Baik banget dia anaknya. Tapi ya itu, realistis. Apa adanya, straight forward banget kalau ngomong. Lo harus tau, dia tsundere akut. Tapi asli baik banget.”

“Kata Jaehyun dia nggak ngerasa sedeket itu sama lo dan Juyeon. Kok lo bisa menilai dia sedalem itu?”

“Iya kita memang nggak sedeket itu, ketemu cuma ya sekali-kali aja kalau dia lagi hangout bareng Eric dan Eric ngajakin anak-anak kantor.”

“Terus?”

“Dulu Sarah sempet kepincut Jaehyun. Naksir banget tuh dia, at the first sight. Sempet beberapa kali jalan bareng tapi Sarahnya nggak tahan karena dia bilang Jaehyun sedingin itu,” Younghoon mulai bercerita sambil matanya tetap fokus menatap jalanan ramai di hadapannya. “Yaa dari cerita Sarah, Eric, dan pengalaman gue beberapa kali main sama Jaehyun, begitulah pendapat gue soal pribadi Jaehyun yang tadi gue bilang ke lo. By the way dia tadi ngajak ngobrol apa ke lo?”

“Nggak, dia minta nomor gue. Tapi gue nggak kasih, gue minta nomor dia dan gue bilang bakal kasih nomor gue kalau kita ketemu untuk yang ketiga kalinya nanti. Malam ini udah gue hitung sebagai first meet.”

“Buset, lo ngapain?”

“Nggak papa, lo tau sendiri gue masih berusaha nyembuhin luka gue, Hoon. Belum siap juga gue buat membuka hati.”

“Yeee, udah mau setahun juga lo putus dari Seokjin. Ya sih, alasan putusnya nyakitin banget karena nggak direstuin mamanya mantan lo itu. Tapi Na, ayolah mantan lo udah nikah, udah berbahagia. Lo masih aja mandek sendirian.”

“Ya… ini juga lagi mencoba sembuh, Hoon.”

“Barangkali Jaehyun jalannya.”

“Hahahaha apaan sih lo, random banget. Udah ah nyetir sana yang bener. Gue nggak akan tidur nemenin lo biar nggak ngantuk.”

“Heee, thank you.

Setelah obrolannya dengan Younghoon berakhir, Luna menyandarkan kepala di headrest kursi sambil membuka ponselnya lagi. Dia membuka phone book dan mendapati tiga nama Jaehyun yang kini tersimpan di ponselnya. Jung Jaehyun—teman kuliahnya di SNU dulu, lalu ada Kim Jaehyun mantan kliennya semasa di Yongsan, dan yang terakhir, Jaehyun. Hanya Jaehyun. Luna sadar dia bahkan nggak tahu marganya Jaehyun apa.

Hmm… di-save apa ya namanya dia? Kalau Jaehyun lagi takutnya nanti tiba-tiba salah kirim message ke Jaehyun yang lain, gawat, Luna sibuk membatin sendiri dalam hati.

Setelah berpikir beberapa saat, Luna tersenyum sendiri ketika sebuah ide melintas di benaknya. Buru-buru Luna menekan tulisan “edit contact” dan mengetikkan sebuah nama.

Hyunjae.

Contact saved!

CHAPTER 3.

Drrrt drrrrt.

Drrrt drrrrt.

Drrrt drrrrt.

Hari Sabtu pagi menjelang siang. Ponsel Jaehyun terus bergetar menandakan ada pesan masuk berulang kali. Getaran ponselnya yang disimpan di atas meja kecil di sebelah ranjangnya sungguh mengganggu pagi hari Jaehyun. Dengan mata masih setengah terpejam, tangan Jaehyun berusaha menggapai ponselnya. Ketika berhasil, Jaehyun membaca beberapa pesan dari orang yang sama, Eric.

“Hyung, morning!”

Hyung, kok nggak dibalas sih? Udah bangun kan? Semalam nyampe rumah dengan selamat kan?”

Hyuuuung!

Jaehyun mengerang sambil mengusap-usap wajahnya. Dirinya masih luar biasa mengantuk akibat semalam baru bisa tidur menjelang jam dua pagi karena terlalu asyik menonton serial Netflix favoritnya.

Tapi akhirnya jarinya mulai bergerak mengetikkan pesan balasan untuk Eric.

“Baru bangun ini, bawel.”

“Semalem nyampe rumah, mandi. Lanjut nonton, terus ketiduran. Masih ngantuk banget gue. Ada apa?”

Secepat kilat, jawaban dari Eric masuk.

“Gimana sama nuna gue?”

Jaehyun akhirnya memutuskan untuk menelepon Eric karena dirinya terlalu lelah untuk mengetik balasan lagi. Mending sekalian ditelepon, urusan langsung kelar, begitu pikirnya.

“Ya, Hyung?” jawab Eric di ujung sana setelah dering ketiga.

“Kenapa tiba-tiba bahas Luna? Masih pagi woy.”

“Yee, kalau nggak mau bahas ya tinggal bilang sih. Lah ini malah semangat banget nelepon gue.”

“Hmm.”

“Hmm doang lagi. Dasar! Kak, kata Kak Hoon lo gagal dapetin nomor nuna ya?”

“Hah? Younghoon tau darimana?”

“Katanya nuna yang cerita ke Kak Hoon. Mesti nunggu dulu sampe ketemu yang ketiga kalinya tanpa disengaja, baru dia mau ngasih nomornya. Elah, suka bingung gue sama kelakuan nuna gue satu itu. Kelebihan energi apa gimana sih anaknya tuh.”

“Hahaha yaudah biarin aja nggak papa. Dia udah save nomor gue kok. Nanti juga kalau dia siap dan dia mau mungkin bakal ngehubungin gue akhirnya.”

“Lo lagi Kak, kok pasrah banget sih? Sini gue forward ya nomor nuna ke lo. Biar lo bisa langsung ngegas kenalan lebih lanjut sama dia. Apa kek ajak jalan gitu.”

“Heh apaan, nggak sopan ngasih-ngasih nomor orang tanpa seizin pemiliknya. Udah nggak usah, nggak papa. Gue sabarin aja ikutin maunya dia gimana.”

“Serius lo, Kak? Gue takut lo mati galau.”

“Sialan, gue nggak selemah itu heh.”

“Ya udah, nanti Senin lo tinggal maen ke kantor gue sore-sore sekalian jemputin nuna. Udah kan tuh terhitung jadi 2nd meet ya nggak sih?”

“Nggak bisa, kata dia harus ketemu nggak sengaja. Udalah, Ric. Guenya aja nyantei kenapa lo yang ribet sih?”

“Ih bukan ribet, Kak. Gue justru mau mempermudah lo sama nuna. Kalian yang bikin ribet sendiri elah. Ya udah kalau nggak mau dibantuin.”

“Hehe, thanks Ric, but no. I’m gonna let it flow. Gue percaya takdir.”

“Oke deh, good luck, Kak! Maaf gue ganggu pagi gini—eh ngomong-ngomong ini udah siang ya, udah mau jam 11.”

“Nggak, masih pagi. Kalau weekend jam 11 itu itungannya masih pagi.”

“Buset! Ya udah deh, happy weekend, Kak. Kapan-kapan hangout barengan lagi, ya. Bye!

Okay, you too. Bye!

Hanya kurang dari lima menit setelah menyudahi teleponnya dengan Eric, notifikasi KakaoTalk-nya berbunyi lagi. Ternyata, masih dari Eric.

Usaha terakhir gue, Kak. Ini link Instagram profile-nya nuna. Cek aja biar lo nggak penasaran. Estetik banget sumpah isi IG feeds sama highlight story-nya. Nggak di-private kok jadi lo nggak perlu follow dia dulu buat cek postingannya.

Happy scrolling!

And yep, you’re welcome. :)

Jaehyun terdiam sambil melihat layar ponselnya. Jarinya bergerak ragu-ragu untuk menekan link yang diberikan Eric. Sambil menghela napas, akhirnya dia tekan link itu yang segera membawanya ke akun IG Luna.

Tapi sebelum Instagram menampilkan laman akun Luna sepenuhnya, Jaehyun berubah pikiran dan jarinya menekan tombol “back” berkali-kali di layarnya hingga kembali ke tampilan chat room Eric. Dia pun segera membersihkan halaman browser-nya sehingga akun IG Luna terhapus dari history browser-nya.

Bukannya Jaehyun tidak penasaran dengan akun Luna. Sungguh ia penasaran dan ingin sekali melihat isinya. Tapi hal tersebut bertentangan dengan prinsip hidupnya yang sangat menghargai yang namanya ranah pribadi atau privasi seseorang. Ya walaupun akun Luna tidak dalam kondisi private, tapi tetap saja Jaehyun merasa hal ini tidak benar untuk dilakukan kecuali jika kelak dia dan Luna sudah resmi berteman di Instagram.

Sambil menghela napas panjang sekali lagi, Jaehyun menyimpan ponselnya lagi di atas meja—kali ini dalam mode silent—dan berbaring kembali di kasurnya yang empuk.

Chapter 4.

Video call bentar dong.”

Luna membaca chat singkat dari Sarah di aplikasi KakaoTalk-nya. Nggak lama, dia berjalan ke arah meja kerjanya yang terletak di sudut kamar. Setelah menyalakan laptop, Luna menghubungi Sarah.

“Hey, kenapa?” tanya Luna setelah video call-nya terhubung dengan Sarah.

“Gue tegang besok,” jawab Sarah di layar, sambil membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. “Nggak tau selalu tegang aja tiap mau ngurusin klien di luar kota.”

“Lah kenapa, kan sama aja?”

“Kali ini klien kita agak nggak main-main sih, Na. Posh et Beauté, gitu loh. Itu perusahaan gede banget nggak becanda, semoga tax record mereka rapi nggak jelimet ya… huhu deg-degan gue.”

Besok sore Luna, Sarah dan Nara ditugaskan ke Busan untuk mengurusi verifikasi audit pajak perusahaan kosmetik Prancis raksasa—Posh et Beauté—yang mempunyai ratusan gerai tersebar di seluruh dunia. Kebetulan kantor pusat Posh et Beauté yang ada di Korea berada di Busan, bukan Seoul. Perusahaan ini sudah dua tahun belakangan menjadi klien tetap kantornya Luna untuk urusan verifikasi audit pajak. Klien ini sebetulnya pegangannya Nara, Jieun dan Raeya. Tapi semenjak Jieun-Raeya ketambahan pegangan klien baru dan dipindahkan ke tim lain, akhirnya Sarah masuk di tim Nara dan Luna bergabung sebulan setelah Sarah. Nara, Sarah dan Luna berada di bawah tim managing director yang sama.

“Bukannya nggak bersyukur, tapi kadang gue kangen posisi gue sewaktu masih jadi junior auditor. Less pressure banget,” tambah Sarah.

“Hei jangan gitu. Makanya lo diangkat jadi senior auditor juga ya karena dianggap mampu. Jangan suka underestimate potensi diri sendiri gitu ah. Yuk, semangat! Udah sampe mana beberes bajunya? Inget ya kita bukan mau liburan, cuma 4 hari di Busan nggak usah heboh bawaannya.”

Sarah menanggapi Luna dengan decakan pelan, “I know, thanks for reminding, Darling. Dan hmmm.. udah sih gue rasa barang bawaan gue udah beres buat besok. Jadi, besok kita cabut jam berapa dari kantor? Siapa yang nganterin ke stasiun?”

“Jam 3 kita cabut dari kantor, katanya sih Pak Jeong yang ditugasin anter kita ke stasiun. Jangan lupa segala tiket kereta sama voucher hotel dibawa ya, ada di lo semua nih punya gue dan Nara.”

“Okeee. Yasud, ketemu besok ya. Gue mau tidur cepet ah, besok bakalan capek banget gue rasa. Untung dibeliinnya tiket KTX bukan yang intercity, jadi cepet nyampe Busan kita.”

“Ya, harusnya sih, semoga nggak delay.”

Bye, Na. Good night!

Selesai video call, Luna mematikan lagi laptopnya dan melanjutkan mempersiapkan segala berkas penting untuk dibawa besok. Luna tegang dan excited di saat yang bersamaan.

***

Besoknya, jam 6 sore tepat, kereta KTX yang ditumpangi Nara, Sarah dan Luna mulai bergerak meninggalkan Seoul Station.

“Sayang, aku baru jalan. Nanti dikabarin kalau udah nyampe ya.” Terdengar Nara mengabari kekasihnya, Younghoon, kalau keretanya sudah mulai berangkat.

“Ih gue kok sirik ya, udah lama nggak ngerasain ngabarin dan dikabarin pacar,” kata Sarah yang duduk di samping Nara. Luna duduk sendirian di seberang Nara, terpisah oleh lorong yang terhimpit jajaran kursi di kiri dan kanannya.

“Makanya ada yang deketin tuh ya ditanggepin, jangan dicuekin.”

“Abisnya yang deketin bukan selera gue semua. Giliran selera gue, eh dianya lempeng aja. Situ kulkas apa manusia? Dingin amat.”

“Hahaha kok sewot sih. Masih dendam lo ya sama Jaehyun?”

“Cih!”

“Lo tau kan ceritanya Jaehyun yang minta nomor Luna waktu kita dinner bareng malem itu? Lo nggak papa?”

“Iya, gue tau dan gue nggak papa sama sekali. Udah nggak berharap apa-apa juga ke cowok itu, sumpah gue nggak tahan sama dinginnya dia. Kayanya cowok tsundere nggak cocok sama gue.”

“Luna sih aneh-aneh, pake syarat segala sebelum ngasih nomornya ke Jaehyun. Nah kan, sekarang udah mau sebulan dari dinner kemarin mereka masih belum ketemu lagi. Jaehyun juga aneh, nurut aja. Eric padahal nawarin ngasih nomor Luna tapi dia tolak.”

“Ra, Jaehyun itu cowok berprinsip. Apapun yang menurut dia bertentangan sama prinsip nggak bakal dia lakuin. Itulah kenapa dia nggak cocok sama gue. Dia berprinsip sementara gue nyeleneh banget kan orangnya hehehe.”

Nara tertawa mendengar gurauan Sarah. “Yah, semoga lo dan Luna cepetan diketemuin sama jodoh kalian ya. Lo berdua itu cantik banget tau nggak. Lo turunan Prancis-Korea, si Luna Indonesia sedikit Italia. Maut banget kombinasi kalian tuh.”

“Oh, Luna ada turunan Italia-nya? Sumpah gue baru tau. Pantesan hidung dia rasanya kelewat mancung banget untuk ukuran south-east asian, ya.”

“Yelah kemana aja lo baru tau? Iya, kakek dari ayahnya kalau nggak salah, Italian. Makanya bagus ya si Luna jadinya, produk unggul banget.”

“Hahaha dasar. Lo juga cantik, Nara. Itu si Younghoon seganteng itu sampe bucinnya nggak becanda banget ke lo. Lucky you.”

“Hehe, thank you. Ngomong-ngomong, Juyeon gimana? Denger dari Hoon, lagi berusaha deketin lo ya dia?”

“Yaaa gitu sih, guenya belum ngerasa dideketin banget. Cuma sebatas dia ajak makan bareng, anter gue pulang. Chat juga belum terlalu intens.”

“Tapi ada harapan nggak buat Juyeon, seandainya dia beneran ngejar lo?”

“Boleh lah dicoba. Juyeon baik anaknya, sabar banget, cocok buat gue yang yang sumbu emosinya pendek banget ini hehe.”

“Dasar. Jangan galak-galak ke Juyo ya, nanti kabur dia. Cocok juga sih dilihat-lihat lo sama dia.”

“Iya, don’t worry. Kita berdua jalanin dulu aja sih ini, nyantai aja nggak buru-buru. Soalnya basic-nya gue sama Juyeon kan temenan, kalau nggak hati-hati takutnya ujungnya malah nggak enak dan jadi ngerusak friendship.”

Obrolan Nara dan Sarah pun terus berlanjut sampai setengah jam berikutnya, sebelum akhirnya Sarah memutuskan untuk tidur dan Nara kembali menghubungi Younghoon di ponselnya. Luna, sudah sejak tadi tertidur dengan bluetooth earphone terpasang di kedua telinganya.

***

Sudah hampir jam 11 malam ketika akhirnya Luna keluar dari kamar mandi hotel dengan rambut basah terbungkus handuk. Lelahnya luar biasa, setelah tadi jam setengah sembilan tiba di Busan Station, untungnya sopir dan mobil sewaan yang disiapkan kantor sudah tiba duluan di stasiun sehingga mereka bertiga nggak perlu menunggu lama langsung meluncur ke hotel. Sampai hotel jam sembilan lewat, setelah akhirnya urusan check in selesai, mereka langsung ngebut mandi supaya bisa cepat istirahat.

Kantornya memang tidak pernah pelit untuk urusan fasilitas saat business trip. Dapat kamar president suit dengan dua kamar mandi, jadinya tidak perlu saling tunggu lama untuk urusan kamar mandi. Dan ya, berhubung ketiganya penakut jadi memang atas permintaan mereka sendiri untuk ditempatkan satu kamar bertiga.

Dengan dua ranjang queen size, Nara dan Sarah seranjang—Nara dengan setelan piyama terusan sudah menarik selimut sampai dagu, siap tidur—dan Luna sendiri.

“Jangan lupa set alarm ya, jam 6 paling telat setengah tujuh harus udah pada bangun. Jam 8 kita cabut,” kata Luna mengingatkan, sambil memainkan ponselnya. “Sarah, lo ditanyain Juyeon nih. Dia chat gue katanya lo nggak bales chat dia.”

“Hehe biarin, sengaja tarik ulur,” sahut Sarah sambil tersenyum jahil.

“Yelah, tarik ulur segala. Nanti Juyeon kabur lo nyesel lagi. Jangan gitu ih, dia sobat baik gue awas kalau lo macem-macem,” ancam Luna.

“Dih galak amat. Iya iyaaa bentaran lagi gue bales.”

“Gitu dong.”

“Btw Na,”

“Hmm?”

“Jaehyun gimana?”

“Gimana apanya? Nggak gimana-gimana.”

“Nyesel nggak lo pake acara aneh-aneh ngandelin takdir buat ketemu lagi sama Jaehyun? Sampe sekarang belum ketemu lagi, kan. Udah mau sebulan.”

“Baru juga sebulan, nyantei aja sih. Gue nggak in a rush buat membuka hati juga lagian. Kalau ketemu dia lagi ya syukur, nggak ketemu lagi juga nggak papa.”

“Jangan gitu, jangan sok ngerasa nggak butuh pasangan. Nanti sekalinya demen, bucin lo sampe ke akar-akar ke si Jaehyun—kayak lo ke si Seokjin mantan lo.”

“Hahaha sialan. Juyeon pasti ya yang cerita. Dia sama Hoon soalnya yang nemenin gue jatuh bangun pas lagi sama Seokjin.”

“Iya Juyeon cerita, dia lebih ke ngerasa bersalah juga sih lagian, karena dia katanya yang ngenalin lo sama mantan lo itu ya.”

“Duh, masih juga ya dia ngerasa bersalah. Padahal udah puluhan kali deh gue bilang ke Juyeon semuanya bukan salah dia. Toh mantan guenya pun cowok baik kok bukan nggak bener. Sayang aja mamanya nggak bisa terima kalau calon istri anaknya bukan Korean. Maklum, dia anak laki pertama di keluarganya dan adeknya dua cewek semua. Jadi mamanya kaya nggak rela gitu anak laki satu-satunya nikah sama non Korean.”

“Sakit banget pasti ya pas putus? Berapa lama lo bareng dia?”

“Dua tahun. Ini udah mau jalan setahun gue putus tapi yaaa gitu, masih nyesek kadang kalau nggak sengaja inget dia.”

“Duh Na, sedih banget gue dengernya. Lo yang kuat ya, sabar, Tuhan akan menggantikan dengan yang terbaik dan paling pas buat lo. Sabar sayang yaa.”

Thank you, Sarah. It means a lot.”

“Yuk tidur, sebelum ngantuk gue keburu lewat nih. Besok bangunin please, kali aja gue nggak kebangun sama alarm.”

“Hahaha siap! Gue siram air kalau lo atau Nara nggak bangun.”


“Tuhaaan, akhirnya selesaiii!”

Setengah berteriak, Nara menghempaskan tubuhnya ke ranjang hotel tanpa repot-repot membersihkan badannya dulu. Sarah langsung membuka botol red wine yang disediakan di mini bar kamar mereka, dan menuangkannya ke dua gelas tinggi. Saat tangannya bergerak untuk menuangkan ke gelas ketiga, Luna buru-buru menyetopnya.

“Heiii, gue nggak ya.”

“Masih aja lo nggak mau? Ayolah kali ini, ngerayain kesuksesan kita ngeberesin kerjaan di Busan.”

“Beres apanya, inget itu utang laporan menanti buat dikasih ke Mr. Kim hari Senin. Jangan kesenengan dulu lo berdua ih.”

Nara dan Sarah melengos kesal. Baru juga beberapa menit merasakan kelegaan karena akhirnya beban tugas berat selesai, eh langsung diingatkan ke tugas berikutnya.

“Buat Senin ini, masih lama. Besok kan kita dikasih jatah libur nggak usah ngantor. Bisa dikerjain besok lah di rumah sambil nyantei. Sekarang, rayain kecil-kecilan dulu kenapa sih, Na? Having fun dikit woy!” Nara berseru sambil bangun dari kasur dan berjalan ke arah mini bar. Gelas wine-nya mengeluarkan bunyi ting saat beradu pelan dengan gelas Sarah.

Luna membuka kulkas hotel dan mencari minuman non alkohol yang bisa dinikmatinya, dan mendapati sebotol orange juice nyempil di antara bir kaleng.

“Oke, I’m having fun now, cheers sekali lagi. Untuk proyek Busan kita yang hampir kelar.” Sambil mengangkat botol orange juice-nya, Luna menunggu Sarah menuangkan lagi wine ke gelasnya dan gelas Nara.

Cheers!” sahut ketiganya berbarengan sambil tertawa.

Di tengah tawa mereka, tiba-tiba ponsel Sarah berbunyi.

“Yaa, Ju?” jawab Sarah. Juyeon yang menelepon di ujung sana.

“Iyaa ini udah selesai, udah book tiket pulang KTX jam 5 sore dari sini, masih dapet kok. Kita ini lagi di hotel, istirahat dulu sebentar terus beres-beres. Nyampe Seoul lagi sekitaran jam delapan,” lanjut Sarah. “Oh gitu, oke nanti gue bilang ke Nara. Thanks, Ju. See you, nanti gue kabarin lagi.”

“Cieee, Juyeon,” goda Nara. “Ngegas juga itu anak PDKT-nya ternyata ya,” kata Nara jahil sambil menoyor pelan bahu Sarah. “Juyo ngomong apa tadi?”

“Heee, itu… Diakatanya mau jemput gue di stasiun nanti, sekalian ngajak makan malem sebelum anter gue pulang ke apartemen. Ra, gue nggak jadi nebeng lo dan Hoon berarti, hehehe.”

“Dih, gaya bener sekarang ada yang jemputin. Ya udah nggak papa kalau nggak jadi nebeng. Ikut seneng gue denger lo sama Juy mulai deket,” kata Nara, lalu pandangannya beralih dari Sarah ke Luna yang sedang menghabiskan isi botol orange juice-nya. “Na, lo tetep ikut gue sama Hoon aja pulangnya ya. Jangan ikut Sarah sama Juyeon yang lagi PDKT, daripada lo jadi nyamuk.”

Luna tersenyum kalem menanggapi, “Nyantei aja, gue pulang pake taksi juga bisa kok lagian belum terlalu malem. Gue masih berani pulang sendiri.”

“Apaan sih heh nggak ada ya lo pulang sendirian pake taksi. Gue yakin Hoon juga pasti bakal ngelarang. Udah, ikut gue seperti rencana awal, oke?”

“Gampang, liat nanti aja. Gue nggak mau reportin. Lagian lo sama Hoon pasti kan mau kangen-kangenan, nggak enak gue ganggu.”

“Apaan si, Na—”

“Eh mulai beres-beres yuk, udah mau jam tiga. Sebelum jam 4 kita udah harus cabut ke stasiun loh,” Luna menyela, enggan meneruskan percakapan soal pulang bareng tadi.

Nara menghela napas, menyadari ada yang nggak beres dengan Luna. “Ya udah yuk beres-beres. Nggak usah mandi lagi lah ya? Nanti aja mandinya di Seoul.”

Luna dan Sarah mengangguk berbarengan.

***

Di kereta, kali ini Luna yang duduk berdampingan dengan Nara. Sarah kebagian duduk di belakang kursi Luna—dengan neck pillow menggantung nyaman di lehernya, Sarah sudah tertidur pulas.

Selesai mengabari Younghoon di ponselnya, Nara menjawil pipi Luna yang lagi menatap ke luar jendela dengan pandangan sendu.

“Na, kenapa? Lo… bukan jealous kan, Juyeon tiba-tiba ngegas deketin Sarah?” tanya Nara hati-hati.

Luna memalingkan wajahnya dari jendela dan menatap Nara dengan mata membulat. “Jealous? Na, nggak salah pertanyaan lo? Duh, gue geli nih ngebayangin gue mesti cemburu ke si Juyeon.” Pipi Luna refleks menggembung menahan tawa. “Sumpah ini skenario paling lucu banget. Lo kesambet apa sih bisa-bisanya mikir gitu?”

“Ih! Lo yang kesambet apa? Tiba-tiba abis Juy nelepon Sarah, lo sendu banget gue lihat. Mendadak nggak mau pulang bareng juga, padahal kan emang udah perjanjian kita pulang bareng dijemput Hoon di stasiun.”

“Bukan karena cemburu sama Juyeon, kok.”

“Ya terus kenapa?”

“Gue… sedih aja hehehe. Eh tapi maksudnya, gue ikut seneng lihat Juy akhirnya ada kemajuan deketin Sarah. Tapi di sisi lain gue jadi ngerasa apa ya… lonely? Kalian udah ada gandengan semua,” Luna menjawab pelan sambil memainkan ujung kardigannya. “Gue masih sendiri, dan masih belum sepenuhnya sembuh sih bahkan.”

“Na…,” Nara mengelus rambut Luna lembut. Hatinya ikut berjengit sakit mendengar penuturan Luna.

“Udah ih gue nggak papa. Feeling blue aja sedikit, tapi gue nggak papa beneran. I’m truly happy for you two!

“Nggak usah sok ceria gitu. It’s okay to not be okay. Tapi jangan kelamaan ya sayang? Yuk, belajar membuka hati pelan-pelan. Kalau lo nggak mau buka hati buat orang baru, selamanya lo akan susah sembuh, Na. Mau sampai kapan?” kata Nara lembut. “Kita memang baru mulai deket beberapa bulan ini semenjak lo pindah ke Gangnam, tapi gue berasa kayak udah kenal lama sama lo karena Hoon sering banget share ke gue soal lo. Hoon dan Juyeon itu khawatir banget Na, sama keadaan lo yang sepertinya nggak kunjung baik setelah ditinggal Seokjin.”

“Makasih ya Nara, lo baik banget mau terima gue sebagai sahabatnya Hoon. Jarang-jarang ada perempuan yang rela cowoknya sahabatan sama lawan jenis. Gue terima saran lo untuk mulai membuka hati lagi. Pelan-pelan.”

“Iya, pelan-pelan aja dan semampunya lo, Na. Jangan dipaksa. Kita semua tau segala sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan berakhir baik.”

“Nara, boleh nggak gue tetep pulang sendirian aja dari stasiun nanti? Ya? Lagi pengen sendiri.”

“Duh, ngeyel banget ini anak. Gue nggak berani iyain ah. Lo bilang sendiri ke Hoon ya, kalau dia bolehin yaudah gue oke lo pulang sendiri.”

Luna menyeringai lebar sambil memperlihatkan chat room-nya dengan Younghoon ke Nara. “Kata Younghoon boleh, asal gue janji nggak skip makan malem dan ngabarin kalau udah di rumah.”

“Aaah rese lo, diem-diem udah ngomong duluan ke Younghoon ternyata ya. Dasar! Yasud deh kalau lo tetep mau pulang sendiri.”

***

Luna mengeluarkan beberapa lembaran uang sepuluh ribu dan lima ribuan won dari dompetnya, dan menyerahkannya ke supir taksi sebelum turun. Dengan menarik koper cabin size di tangan kiri dan tote bag merk Tods warna hitam tersampir di bahu kanannya, Luna berjalan memasuki kafe langganannya yang terletak nggak jauh dari stasiun, tapi masih cukup jauh dari apartemen Luna.

Pemilik kafenya sampai hafal dengan Luna saking seringnya dia kesini demi memburu es krim mint choco kesukaannya. Sebetulnya es krim merk apapun Luna suka, tapi mint choco di kafe ini punya rasa terbaik menurut Luna karena tekstur es krim home-made nya yang sungguh terasa lembut. Beda rasanya dengan es krim keluaran pabrikan.

“Selamat malam, Ahjusshi,” Luna menyapa pemilik kafe yang sedang berada di balik counter es krim. “Aku udah lama nggak kesini ya?”

“Luna!” sahut ahjusshi itu dengan ramah sekaligus kaget. “Kemana aja? Iya udah lama nggak lihat kamu kesini. Sehat? Kamu darimana kok malam-malam gini bawa koper?”

“Habis dinas ke Busan, ini baru banget pulang dari stasiun. Aku lapar, pengen pesen makan take away ya, Ahjusshi. Biasa, sambil nunggu mau mint choco juga satu cup.

Setelah memesan makanannya, Luna berjalan ke teras kafe dan duduk di spot favoritnya. Udara malam yang tidak terlalu dingin tapi berangin cukup kencang membuat Luna merapatkan kardigannya. Setelah menyamankan posisi duduknya, Luna mulai melahap mint choco kecintaannya dengan sebelah tangan memainkan ponselnya. Nggak perlu waktu lama, cup es krimnya langsung kosong sekejap.

Duh, kok masih pengen ya? Beli lagi aah, Luna bermonolog dengan dirinya sendiri, dan memutuskan untuk kembali ke counter es krim yang terletak di dekat pintu masuk kafe.

Begitu jarak counter dan dirinya semakin dekat, Luna melihat sosok yang dirasa tidak asing sedang berdiri menghadap counter dan menerima satu cup es krim dari ahjusshi. Kelihatannya cukup dekat dengan ahjusshi karena sekarang sosok itu sedang mengobrol sambil sesekali tertawa menanggapi ahjusshi.

Luna mengerjapkan matanya sambil melambatkan langkah mendekati counter es krim. Ketika hanya tinggal beberapa meter saja, tiba-tiba sosok itu menoleh ke arah Luna, memicingkan matanya sambil mengerutkan keningnya dan—

“Luna?” tanyanya.

Luna terkesiap. Masih dengan tatapan kaget dan mengerjapkan matanya sekali lagi. “Jaehyun?”

***

Keduanya kini tengah duduk berhadapan di teras kafe, di meja yang sama, sambil menikmati hidangan masing-masing. Jaehyun dan Luna akhirnya memutuskan untuk membatalkan orderan take away mereka dan memilih untuk menyantapnya di kafe sambil mengobrol.

“Ini kafe favorit gue, sering banget gue kesini bahkan capek pulang kerja pun kalau lagi ngidam banget gue belain kesini walaupun jauh dari kantor,” Luna membuka percakapan.

“Gue udah sering kesini dari jaman kuliah, ahjusshi-nya udah berasa om gue sendiri. Tapi kenapa rasanya gue nggak pernah sekalipun lihat lo disini ya?” balas Jaehyun. “Mint choco di sini nggak ada dua banget rasanya. Terbaik se-Korea Selatan, setuju nggak sih lo?”

“Hahaha iya bener setuju banget. By the way, iya sama gue juga rasanya nggak pernah lihat lo. Apa mungkin kita sebenernya pernah ketemu disini tapi nggak saling peduli ya? Cuma mint choco yang ada di otak gue begitu masuk sini soalnya.”

“Hahaha bisa jadi.”

Lalu hening.

Hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang terdengar di sekitar mereka. Entah karena terlalu lapar, atau agak kehabisan bahan obrolan. Luna dan Jaehyun sama-sama terdiam sesaat.

“Lo… baru pulang kerja jam segini? Malem banget, Jae.” Akhirnya Luna buka suara lagi setelah menghabiskan makanannya, dan meneguk air mineral dari botolnya.

“Bukan dari kantor sih. Hari ini gue habis survei ke tempat klien, terus lanjut survei ke vendor-vendor material bangunan. Begitu beres, udah lewat dari jam kantor jadinya gue lanjut ngedesain di luar aja, males balik ke kantor kalau udah sepi. Begitulah, kerjaan arsitek.”

“Seru ya kerjaan arsitek. Kapan-kapan boleh ikut lihat lo ngedesain? Gue suka kagum sama orang yang pinter gambar, karena tangan gue adalah tangan paling nggak kreatif sedunia,” kata Luna terkekeh.

Jaehyun menganggapinya dengan tertawa. “Boleh, yuk kapan-kapan temenin gue kerja. Gue yakin sih baru sebentar aja lo pasti udah enek liatnya. Ngelihat gambaran arsitektur nggak seindah yang lo bayangkan.”

“Tetep aja, gue penasaran. Bener ya, nanti boleh lihat lo ngegambar.”

“Iya, boleh kok. Oh ya, lo sering business trip kayak gini?”

“Lumayan, tergantung kantor kliennya ada dimana. Kadang gue yang nyamperin, kadang kliennya yang kirimin semua berkas ke kantor gue. Jadi gue ngerjainnya remote gitu.”

“Kerjaan lo juga hebat, Na. Bener-bener mapan dan mandiri banget ya hidup lo.”

“Iya dong, harus. Pilihan gue tinggal jauh dari orang tua dari masuk kuliah. Jadi gue harus mendisiplinkan diri dan mandiri, supaya orang tua gue nggak khawatir.”

“Sampe belain tinggal jauh dari orang tua, sesuka itu lo tinggal di Korea?”

“Iyaaa, sesuka itu banget gue, Jae. Awalnya sempet ragu sih antara Seoul atau Tokyo. Kalau di Tokyo sebetulnya gue nggak sendirian banget karena ada sepupu seumuran yang tinggal di sana. Tapi sepertinya gue lebih cinta Seoul. Tokyo kota yang terlalu sibuk dan terlalu serius buat gue.”

Jaehyun tersenyum mendengarkan Luna yang masih berceloteh soal kehidupannya. Jujur, jarang ada orang baru yang bisa langsung bersikap terbuka pada Jaehyun karena aura dingin yang kata orang-orang terpancar kuat di diri Jaehyun. Tapi sepertinya hal itu nggak berlaku buat Luna. Buktinya Luna masih saja terus bercerita sampai dia sadar bahwa dia tidak memberikan Jaehyun kesempatan untuk berkomentar.

“Maaf, gue cerewet banget ya? Maaf ya, lo lagi capek pulang kerja malah harus dengerin gue cerita ini itu.”

“Loh kok maaf sih? Cerita lagi aja, gue seneng kok dengernya. Hidup lo seru. Hidup gue ya gini datar-datar aja hahaha.”

“Hehe apapun itu hidup lo, yang penting jangan lupa bersyukur aja sih, Jae.”

“Setuju,” sahut Jaehyun sambil menghabiskan minumannya. “Udah malem, yuk pulang. Gue boleh anterin lo pulang, kan? Please, gue maksa. Nggak mungkin gue ngebiarin lo pulang sendiri malam-malam gini, ditambah dengan bawaan lo yang banyak.”

“Ngg.. Gue nggak mau ngerepotin, Jae. Nggak enak, baru juga kenal.”

“Repot apaan, nggak kok. Justru karena baru kenal, perlu ngobrol lebih lanjut biar tambah kenal. Yes or yes?”

“Hehe, ya udah kalau bener nggak ngerepotin. Yes deh. Makasih ya sebelumnya.”

“Sama-sama.”

Mereka lalu berjalan berdampingan meninggalkan teras kafe dengan Jaehyun membantu membawakan koper Luna. Tidak lupa dia membukakan pintu kafe, menahannya untuk Luna dan membiarkan Luna keluar duluan sebelum dirinya.

***

Mobil SUV hitam Jaehyun berhenti saat traffic light yang tadinya hijau, berganti warna ke kuning dan lalu merah. Jaehyun yang hafal dengan lampu merah di daerah ini yang suka agak lama, memutuskan untuk menekan rem tangan.

“Kedinginan nggak suhu AC-nya?” tanya Jaehyun pada Luna yang lagi mengetikkan balasan pesan di ponselnya.

“Nggak kok. Gue suka dingin, nggak tahan udara panas,” jawab Luna. “Sebentar ya, mau balas chat temen dulu.” Luna lalu mengetikkan balasan cepat ke Nara yang menanyakan dimana posisinya saat ini. Setelah selesai, Luna menyimpan ponselnya di pangkuan, takut Nara masih akan membalas pesannya dan tidak terdengar jika ponselnya disimpan di dalam tas.

“Jadi, ini 2nd meet kita ya,” sahut Luna.

“Iya,” jawab Jaehyun sambil menatap jalanan di depannya dengan tangan di atas setir. “Akhirnya. Tanpa disengaja seperti yang lo mau.”

Diam-diam Luna memperhatikan siluet Jaehyun dalam gelap, hanya disinari sedikit cahaya dari lampu jalanan yang menembus jendela mobil.

Karena Jaehyun sedang menatap lurus ke depan, Luna yang duduk di kursi penumpang di samping Jaehyun jadi bisa melihat side profile wajah Jaehyun dengan jelas. Garis rahangnya yang tajam, nose bridge-nya yang tinggi dan dihiasi setitik mole kecil sebagai pemanis. Alisnya yang tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis, matanya yang tidak besar tapi sungguh terlihat indah dengan lipatan eyelid yang tegas, dan bulu mata yang agak panjang. Terakhir, bibirnya yang tidak tebal tapi tetap terlihat berisi terutama bibir bagian bawahnya.

Dari wajah Jaehyun, mata Luna beralih ke tangan kanan Jaehyun yang bertumpu pada setir. Karena kemeja kerjanya digulung sampai siku, semburat urat-urat halus jadi terlihat jelas di tangannya. Sepanjang lengan Jaehyun terlihat kuat dan kokoh namun jari-jarinya sungguh ramping dan halus.

“Ngeliatin apa hei?” Jaehyun menjentikkan jarinya saat sadar Luna sedang menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Kalau ini siang hari, sudah pasti semburat merah di wajah Luna karena malu bisa terlihat jelas. “Eh, nggak papa. Sorry.”

“Kamu capek ya?” tanya Jaehyun lagi sambil mulai menginjak gas perlahan karena lampu sudah berubah hijau kembali.

Luna tersenyum simpul. Dia nggak salah dengar kan? Jaehyun menyebutnya dengan “kamu” bukannya “lo” seperti beberapa jam lalu.

“Eh iya… Kelihatan banget emangnya?”

“Nggak sih, gelap ini aku nggak bisa lihat jelas. Tapi kebayang aja pasti capek udah jam segini dan kamu masih belum istirahat setelah nempuh perjalanan jauh.”

“Iya, aku agak ngantuk. Ngg, maaf kalau nggak sopan, tapi boleh nggak kalau aku merem sebentar? Matanya lelah.”

“Ya nggak apa-apa. Tidur dulu aja, menurut GPS lumayan ini masih 20 menit lagi ke tempat kamu. Nanti aku bangunin kalau udah sampai.”

“Jae…,” panggil Luna pelan dengan mata sayu karena lelah.

“Hmm?” sahut Jaehyun, menoleh sekilas ke arah Luna sebelum memfokuskan pandangan lagi ke jalanan.

“Makasih ya.”

Dan tidak lama dari itu, Luna tertidur.

CHAPTER 5.

Erangan halus terdengar dari bibir Luna yang perlahan mulai mendapati lagi kesadarannya sedikit demi sedikit, setelah beberapa jam tertidur sangat pulas di kasurnya. Luna mengangkat kepala sambil sedikit meringis, lalu menjatuhkan kepalanya lagi ke bantal saat dirasa matanya belum mau berkompromi untuk terbuka seutuhnya.

Tapi tiba-tiba sesuatu mengusik pikiran Luna.

Perlahan, Luna membalikkan badannya menghadap meja samping ranjang, tempat dia biasa menyimpan ponselnya sebelum tidur. Matanya menyipit saat mendapati mejanya kosong, dia tidak melihat ponselnya.

Sontak Luna menendang selimutnya, duduk di tepi ranjang sesaat sambil memandangi meja bulat kecilnya yang kosong. Ini aneh, kemana ponselnya?

Masih sambil duduk di tepi ranjang, Luna berusaha mengingat kejadian semalam sambil mengusap-usap pelipisnya. Dia ingat semalam Jaehyun membangunkannya setelah sampai di parkiran basement apartemennya, dan Jaehyun membantunya membawakan koper sampai ke depan pintu kamar. Setelah itu, Jaehyun pamit pulang.

Luna masih terus memutar memorinya soal semalam dan mencoba mengurutkan serangkaian kejadian demi menemukan ponselnya. Tidak lama, Luna bangun dan berjalan menuju meja kerja di sudut, tempat ia meletakkan tote bag-nya. Tangannya merogoh ke dalam tas dan semakin bingung saat tetap tidak menemukan ponselnya.

Seingatnya, semalam saking terlalu lelah, segera setelah sampai kamar Luna terburu-buru masuk kamar mandi dan membersihkan diri sampai tuntas. Dia ingat sebetulnya ingin mengecek ponselnya setelah selesai mandi tetapi rasa lelah yang amat sangat membuatnya meninggalkan hal itu dan langsung naik kasur untuk tidur. Dan kini Luna terbangun dan mendapati ponselnya tidak ada bersamanya.

Karena tidak punya ponsel cadangan, Luna bingung dan mulai panik. Masalahnya, beberapa catatan penting yang dibutuhkan untuk menyelesaikan laporan pekerjaan di Busan kemarin ada di ponselnya dan Luna butuh ponselnya segera.

Apa mungkin ketinggalan di mobil Jae? Luna bertanya-tanya dalam hati. Tapi, Luna bingung bagaimana cara menanyakannya pada Jaehyun?

Akhirnya Luna membuka laptopnya dan segera setelah aplikasi Kakao-nya tersambung, banyak chat berhamburan masuk tapi Luna tidak mengindahkannya. Dia membuka group chat dan langsung mengetik cepat.

GUYS EMERGENCY!!!

PLS HELP!

Tolongin gue.

Eric: Nunaaa kenapaaa? Lo kemana aja astaga, kita semua nggak ada yang bisa kontak lo. Handphone lo nggak aktif.

Nara: LUNA LO GILA? GUE SAMA HOON PANIK SEMALEMAN NUNGGU KABAR DARI LO.

Nara: LO DIMANA SEKARANG? EMERGENCY KENAPA?

Tolongin gue, minta kontak Jaehyun. Gue butuh ngehubungin dia sekarang juga.

Nara: Beneran emosi banget gue. Jawab kek pertanyaan gue malah minta kontak Jaehyun. Bukannya lo punya nomor dia?

>>Handphone gue nggak ada, nggak tau dimana. Gue butuh tanya ke Jae barangkali ketinggalan atau jatuh di mobilnya.

Eric: ???

Nara: ???

Younghoon: ???

WOY KALIAN KENAPA SIH? CEPET KASIH NOMOR JAE. ATAU U-NAME KTALKNYA JUGA BOLEH.

Eric: jaehyunlee

Eric: Itu Kak. Ktalk-nya Kak Jae. Lo utang cerita ke kita. Apaan maksudnya HP lo ketinggalan di mobil Kak Jae?

THANK YOU ERIC, LOVE YOU.

Gue tau gue utang cerita ke kalian, bentar ya. Doain HP gue ketemu baru nanti gue cerita.

Luna menutup group chat room dan menggantinya dengan chat room baru yang masih kosong. Jari-jarinya mengetik cepat dan berharap Jaehyun segera membalas pesannya.

Jaehyun, hi!

Maaf ganggu. Ini aku, Luna.

Jaehyun: Luna? Loh kok?

Luna bernafas lega karena Jaehyun membalas cepat.

Maaf ya, aku minta KTalk kamu ke Eric.

Jae, HP-ku ketinggalan di mobil kamu nggak ya?

Di tasku nggak ada, udah dicari. Dan HP-nya kayaknya mati habis baterai.

Jaehyun: Hah? Na, aku nggak lihat ada HP kamu di mobil. Terakhir kamu simpan dimana?

Justru itu, aku nggak inget. Eh tapi seingetku masih sempat balas chat pas di mobil kamu deh. Tapi udahnya nggak inget karena nggak lama dari situ aku tidur.

Jaehyun: Aku udah di kantor, sebentar ya aku turun dulu ke parkiran. Aku cek lagi barangkali jatuh HP-nya di karpet mobil.

Aduh maaf banget aku repotin kamu terus. Nanti lagi aja carinya kalau memang kamu lagi sibuk.

Satu menit.

Dua menit.

Hingga 5 menit tidak ada balasan lagi dari Jaehyun.

Luna menghela napas lemas. Dia stress sendiri membayangkan kalau ponselnya tidak ketemu. Ponsel bisa dibeli lagi tapi isinya itu yang begitu berharga dan tidak tergantikan.

Jaehyun: Na

Ya? Please ketemu…

Jaehyun: Ini ada HP kamu, beneran jatuh kayaknya pas kamu tidur. Nggak kamu simpen di tas ya HP-nya?

YA TUHAN SYUKURLAH.

Maaf caps lock. Aku lega banget.

Makasih, sekali lagi maaf ya.

Jaehyun: Kamu banyak banget ngomong maafnya pagi ini.

Jaehyun: Kamu di kantor? Aku anterin ya HP-nya.

Aku di rumah, nggak ngantor hari ini. Aku ke kantor kamu aja ya sekarang. Kalau kamu sibuk nggak papa nggak usah ketemu, tolong titip aja HP-nya di lobby ya.

Maaf ya agak maksa, aku butuh HP cepet, ada data penting yang perlu untuk bikin laporan.

Jaehyun: It’s OK. Ya udah kalau mau kesini, aku tunggu. Kabarin kalau udah mau nyampe.

Mohon maaf nih Pak, gimana ngabarinnya kan HP-nya nggak ada.

Jaehyun: HAHA iya lupa! Ya udah, hati-hati di jalan. 15 menit lagi aku tunggu di lobby.

***

Luna memarkirkan mobilnya dan turun dengan tergesa-gesa menuju pintu lobby kantor Jaehyun. Dia juga mengenakan pakaian seadanya, mengambil baju pertama yang terlihat di lemari bajunya tanpa pikir panjang. Jadilah setelan Luna pagi ini: rok jeans sedikit di atas lutut dan kaos t-shirt putih polos lengan pendek, dipadu flat shoes hitam dengan hiasan pita simpel di ujungnya. Rambutnya pun nggak ingat untuk disisir, hanya digelung seadanya membuat beberapa helai anak rambut berjuntaian di sisi kiri dan kanannya.

Jaehyun yang sudah menunggu di sofa lobby, langsung berdiri begitu melihat Luna berjalan masuk dan berbicara dengan security.

“Tamu saya, Pak. Nggak papa,” Jaehyun buru-buru menjelaskan pada security yang kemudian langsung mengangguk sambil mempersilakan Luna.

Luna mengikuti Jaehyun kembali ke arah sofa dan duduk sambil mengatur nafasnya. Tangannya terulur menyambut tangan Jaehyun yang menyerahkan ponsel kesayangannya.

“Makasih banyak, Jae. Maaf aku—”

“Duh, minta maaf lagi. Kenapa sih maaf mulu?”

Luna menggaruk tengkuknya kikuk. “Heee.. Maaf udah bikin rusuh kamu pagi-pagi. Maaf juga aku nggak sopan banget dandanannya begini ke kantor kamu, nggak rapi. Duh, malu banget.”

“Nggak papa. Udah ya, nggak ada maaf-maafan lagi.”

“Aku pamit pulang ya, mesti bikin laporan penting buat Senin soalnya.”

“Oke.”

“Oh ya, Jae. HP kamu dong siniin.”

Jaehyun menatap Luna yang tangannya terulur meminta ponselnya, dengan bingung. Nggak paham.

“Cepetan ih, HP kamu pinjem. Unlock dulu sekalian,” kata Luna lagi sambil mengadahkan telapak tangannya di depan muka Jaehyun.

Akhirnya Jaehyun menuruti. Tangannya merogoh saku samping celananya, mengeluarkan ponsel dan menempelkan sidik jarinya agar ponselnya dalam keadaan tidak terkunci seperti permintaan Luna, dan menyerahkannya ke Luna.

Luna mengambil ponsel Jaehyun. Sambil tersenyum dia mengetikkan sesuatu dengan cepat kemudian mengembalikan ponselnya lagi.

“Walaupun bukan kayak gini pertemuan ketiga kita yang aku bayangin, tapi nggak papa. Ini tetap pertemuan ketiga yang tanpa disengaja, dan nggak nyangka secepat ini kita ketemu lagi. Itu nomor aku, simpan ya.”

Setelah membiarkan kata-kata itu meluncur cepat dari mulutnya, Luna langsung berbalik meninggalkan Jaehyun yang belum sempat berkomentar apa-apa. Dirinya sudah kepalang malu banget hari ini dan nggak sanggup untuk menahan malu lebih lama lagi di depan Jaehyun.

***

“Nara, gimana laporan? Beres?”

Group chat bertiga yang dibuat dadakan menjelang proyek Busan kemarin ternyata masih berguna sampai hari ini, dan sepertinya akan tetap diadakan.

“Bentaran lagi beres, Na. Yang lo gimana? Sarah gimana?”

“Gue beres secara garis besar, tapi mungkin masih perlu revisi. Besok deh gue lanjut, nggak sanggup hari ini capek banget.”

Nggak lama, ponselnya bergetar lagi.

Mata Luna membulat melihat sender-nya yang ternyata bukan Nara atau Sarah.

“Malam, Luna. Ganggu nggak?”

Pesan pendek dari Jaehyun—atau Hyunjae, nama yang Luna pakai untuk menyimpan nomornya—berhasil membuat Luna deg-degan seketika.

Malam juga. Hi. Nggak ganggu, kok.

Udah pulang kerja?

“Baru mau keluar kantor.”

“Besok hari Sabtu, kamu free? Masih capek nggak?”

Paling mau nge-review laporan yang aku buat hari ini. Sisanya free.

Udah nggak begitu capek juga. Kenapa?

“Kerja bareng yuk, mau nggak?”

“Kamu review laporan, aku ngedesain.”

“Di kafenya ahjusshi sekalian makan siang.”

MAU, YUK!

Caps lock-nya kepencet apa gimana?”

Hehehe. Terlalu semangat jadi pake caps lock.

Ketemuan jam berapa di kafe?

“Nggak usah ketemuan.”

Ih gimana? Tadi ngajak ketemu?

“Maksudnya nggak ketemuan di kafe, aku jemput kamu biar bareng kesananya. Boleh?”

Ooh, hehe. Nggak ngerepotin?

“Kalau nggak boleh atau nggak mau dijemput, nggak papa. Aku nggak maksa lho ya.”

Aku nggak bilang nggak boleh atau nggak mau :(

Cuma tanya, nggak ngerepotin?

“Kalau aku ngerasa direpotin, nggak akan nawarin jemput kamu.”

“Jadi, mau dijemput nggak?”

Luna berdecak gemas membaca baris demi baris chat dari Hyunjae. Sungguh berbeda sekali dengan tipe chat yang biasa Luna terima dari lelaki sebelum-sebelumnya yang pernah mendekati Luna.

“Oh ya, Na. Satu lagi. Aku rasa kamu mesti tau dari sekarang, daripada kamu nanti kecewa.”

“Aku bukan cowok romantis. Aku nggak pinter ngerayu atau ngegombal. Kalau kamu masih mau coba kenal aku lebih jauh, ayo kita terusin. Kalau kamu senengnya diromantisin, bilang ya jadi aku langsung mundur :D”

Wow, bener kata Younghoon. Kamu straight forward sekali ya, Hyunjae.

“Iyalah, ngapain banyak basa-basi. Nanti orang malah nggak paham maksud kita apa.”

“Siapa Hyunjae? Kenapa jadi Hyunjae?”

Aku panggil kamu Hyunjae, boleh nggak? Boleh ya, maksa nih aku.

Soalnya ada tiga nama Jaehyun di kontakku, takut sewaktu-waktu salah kirim chat.

Jadi kupikir, dibalik aja deh nama kamunya jadi Hyunjae. I’ll call you Hyunjae from now on, if you let me.”

I’ll let you. No probs.”

Hehe makasih. Dari awal nomor kamu udah aku save dengan nama Hyunjae.

By the way. Ayo kita terusin kenalannya. Aku mau mengenal kamu lebih jauh. Dan ya, besok juga aku mau dijemput kamu.

Jam berapa kesini kira-kira?

“Siap nggak kalau aku jemput jam 11? Atau kepagian?”

Oke, jam 11 ya aku tunggu.

Sebentar, ini kamu chat sambil nyetir? Bukannya tadi bilang baru mau keluar kantor?”

“Nggak, aku masih di parkiran.”

“Aku nyetir dulu, ya.”

Kabarin aku kalau udah sampai rumah, boleh?”

“Yaa, oke.”

Hati-hati di jalan, Hyunjae.

***

Suasana kafe masih belum terlalu ramai siang itu, hanya ada beberapa meja yang terisi pengunjung. Cuaca cerah di bulan September mengurungkan niat Luna dan Hyunjae untuk duduk di teras kafe seperti malam sebelumnya, karena sinar mataharinya terlalu menyengat. Akhirnya mereka memutuskan untuk naik ke lantai dua yang masih sepi, dan memilih meja di pojokan dekat AC.

Setelah memesan makanan, Luna dan Hyunjae mulai mengeluarkan laptop dari tasnya masing-masing. Siap bekerja ditemani musik yang mengalun pelan dari speaker kafe. Satu lagi yang disukai mereka dari tempat ini, musik yang disetel selalu nyaman didengar dan tidak pernah dalam volume tinggi sehingga tidak mengganggu percakapan.

“Eh, aku suka lagu ini,” kata Luna sembari menunggu laptopnya menyala. “Ini soundtrack drama, enak-enak semua lagunya.”

“Aku juga suka lagu ini, tapi nggak tau kalau ini soundtrack drama. Bukan penyuka drama soalnya,” Hyunjae menyahuti. Laptopnya sudah duluan menyala. Tangannya langsung bergerak memegang wireless mouse dan membuka satu-satu aplikasi penunjang kerjaannya.

“Aku boleh intip kerjaan kamu?” tanya Luna hati-hati. Sejak tadi memang dia berniat sekali ingin melihat perkerjaan seorang arsitek yang sesungguhnya, karena seumur hidupnya Luna belum punya kenalan seorang arsitek.

Hyunjae mengangguk. Luna yang duduk berhadapan dengan Hyunjae langsung berdiri dan memutari meja, berdiri di samping Hyunjae lalu merunduk mendekatkan wajahnya ke laptop Hyunjae.

“Duduk dong, pegel nanti,” kata Hyunjae sambil menarik kursi di sebelahnya.

Luna mendudukkan tubuhnya perlahan dengan mata tidak terlepas dari layar laptop Hyunjae. Matanya membulat melihat dari beberapa aplikasi yang dibuka Hyunjae, tidak satupun yang dikenalinya atau dipahami cara kerjanya.

“Aku nggak ngerti aplikasi apa aja itu.”

“Mau dijelasin?”

“Iya mau.”

Tangan Hyunjae menggerakkan mouse-nya lagi, mengarahkannya ke aplikasi pertama. “Yang ini namanya SketchUp. Ini aku pakai untuk bikin desain mentah—desain kasarlah gitu. Aku coret-coret di sini sampai desain dasarnya jadi dan disetujui klien.”

“Nah yang kedua ini, AutoCad. Disini aku harus bikin versi mendetail dari desain dasar tadi sekalian komponen bangunannya juga. Proses ini penting banget nggak boleh salah, karena hasil dari AutoCad ini nantinya akan diserahkan ke kontraktor untuk realisasi desain bangunan tadi.”

“Dan untuk desain interiornya, aku pakai ini, Chief Arch namanya. Cara kerja tiga aplikasi ini beda-beda, tapi aku nggak akan jelasin ya, bingung kamu pasti hehehe.”

Tangan Luna mengambil mouse yang masih tertangkup tangan Hyunjae, membuat Hyunjae berjengit dalam hati saat jarinya bersentuhan dengan jari Luna. Akhirnya ia melepaskan tangkupan tangannya dan membiarkan mouse diambil alih Luna sepenuhnya.

Luna mengklik tab AutoCad dengan hati-hati dan memperhatikan gambaran rumit buatan Hyunjae. “Kamu keren banget bisa bikin ginian. Sumpah aku nggak ngerti sama sekali, Jae. Ini terlihat rumit banget buatku.”

“Ya wajarlah kamu nggak ngerti, ini bukan bidang kamu. Aku kan udah belajar arsitektur 7 tahun lebih, ditambah pengalaman-pengalaman selama kerja.”

Luna mengalihkan pandangan dari layar laptop, menatap wajah Hyunjae yang sedang menatapinya balik. Luna tersenyum hangat, “Beneran kamu keren. Aku suka profesi kamu, Hyunjae. Makasih udah jelasin ke aku.”

Hyunjae membalas senyum Luna. Tangannya bergerak mendekati wajah Luna dan sempat tergantung di udara karena Hyunjae meragu. Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk menyentuh rambut halus Luna, menyelipkan beberapa helainya di belakang telinga Luna. “Thank you. Seneng banget rasanya ada yang menghargai kerjaanku sampai segitunya.”

Luna menunduk menyembunyikan mukanya yang ia yakin pasti sudah memerah sekarang, malu. Cara Hyunjae tadi menyelipkan rambutnya sungguh lembut. Sudah lama rasanya Luna tidak merasakan sentuhan ringan seperti itu.

“Aku… boleh lanjut kerja lagi ya?” kata Hyunjae sambil menggeser laptop dan mouse-nya hati-hati.

Luna seperti tersadar akan tujuan utama mereka berada di kafe ini sekarang. Dia menggangguk dan berdiri untuk kembali ke kursinya dan mulai mempersiapkan otaknya untuk fokus me-review laporan buatannya kemarin.

“Na, maaf ya,” kata Hyunjae lagi.

“Hah maaf kenapa?” Luna bingung.

“Cowok lain mungkin bakal ngajak ceweknya seneng-seneng hari Sabtu gini. Kamu malah aku ajakin kerja.”

“Aku doyan kerja, dan kata Eric kamu juga gitu. Lagian memang kita sama-sama ada kerjaan yang harus diselesaikan. Dan aku juga seneng kok kerja bareng kamu gini. Kamu nggak perlu minta maaf, aku seneng hari ini.”

Hyunjae nggak membalas perkataan Luna. Dia sibuk membenamkan wajahnya ke arah laptop, berharap Luna tidak bisa melihat ekspresi wajahnya yang nyengir lebar karena senang mendengar ucapan Luna tadi.

“Nggak usah malu gitu. Merah amat kupingnya,” sahut Luna jahil.

Cengiran Hyunjae lenyap. Dia berdeham kelewat kencang karena salah tingkah sekaligus malu wajahnya yang memerah ketahuan Luna ternyata.

“Nggak, biasa aja. Udah yuk, kerja. Jangan kebanyakan ngobrol,” balas Hyunjae datar.

Luna terbahak dalam hati, dasar tsundere!

***

Hari Minggu pagi, Luna sedang menyantap teh chamomile hangat sambil menonton konten memasak di channel youtuber dengan lebih dari satu juta subscriber itu ketika ponselnya bergetar.

Luna membuka ponsel flip-nya.

[photo received]

Refleks, dirinya terkekeh pelan menanggapi foto yang baru saja didapatnya dari Jaehyun di chat room KTalk-nya.

Maksudnya gimana nih, tiba-tiba kirim foto bubur ikan?

Itu sarapan aku pagi ini.

Sarapan kamu mana?

Bilang aja mau nanyain udah sarapan apa belum, susah amat. Luna terkekeh lagi. Lucu sekali tingkah seorang tsundere ini.

[photo sent]

Itu doang? Cuma teh?

Iya, lagi minum teh dulu habis itu mau nyemil buah.

Lagi diet apa gimana?

Nggak diet, emang aku kalau pagi harus diisi buah dulu. Siangan baru makan lagi.

Setelah Luna mengetikkan balasannya itu, Jaehyun tidak membalas chat-nya lagi. Luna tidak memusingkan, ia kembali menatap layar laptopnya, melanjutkan tontonan konten memasaknya. Luna memang hobi memasak apalagi membuat cemilan-cemilan ringan yang bisa tahan lama dijadikan stok di freezer-nya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, tiba-tiba bel pintu apartemennya berbunyi. Luna menekan tombol pause di laman YouTube-nya dan beranjak dari kursi makan. Dari layar interkom di samping pintu masuk, Luna bingung melihat pengantar makanan berdiri di depan pintunya.

“Dengan mbak Luna?” tanya pengantar makanan itu sopan, ketika Luna membukakan pintunya.

“Ya, betul. Tapi saya nggak pesan makanan ya? Salah kirim mungkin?”

Pemuda pengantar makanan tadi mengecek lagi alamat yang tertera di struknya, dan tetap menyerahkan sebungkus makanan tadi pada Luna. “Betul kok, Mbak. Dan ini sudah dibayar juga sama pemesannya. Saya pamit ya, Mbak, selamat menikmati.”

Setelah kembali masuk ke apartemennya, Luna membuka bungkusan makanan tadi dan ternyata—bubur ikan! Ya, bubur ikan yang persis sama dengan yang difoto Jaehyun tadi padanya.

Buru-buru Luna mengambil ponselnya dan mencari kontak Jaehyun, tapi ternyata notifikasi KTalk-nya sudah berbunyi duluan.

Udah sampe ya? Nanti habis makan buah, dimakan ya, buburnya.

Semoga suka.

Luna terduduk dalam diam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Yang baru saja dilakukan Jaehyun padanya… sungguh manis sekali. Luna terharu.

Nggak jadi makan buah. Aku mau langsung makan buburnya, wangi banget. Mumpung masih panas juga.

Makasih ya, Jae, udah repot-repot kirim sarapan.

Sama-sama, nggak repot kok. Tinggal pencet-pencet doang, abangnya yang repot nganterin ke kamu.

Hahaha dasar. Makasih sekali lagi. Aku suka banget bubur ikan!

Syukurlah kalau suka, dihabisin ya.

Oh ya, aku siangan mau ke mall sekalian ke toko buku.

Kalau kamu bosen di apartemen dan mau ikut, boleh.

Tangan Luna yang kini lagi mengaduk bubur ikan di mangkuknya, berhenti. Dirinya tertawa sendiri melihat cara Jaehyun mengajaknya pergi.

Bilang aja ngajak, atau pengen ditemenin.

Hehe. Mau nggak?

Boleh, dimana?

COEX ya. Aku jemput jam satu?

Naik subway aja yuk, jangan naik mobil.

Pengen jalan kaki. I need some fresh air.

Ya udah, oke. Ketemu di stasiun aja kalau gitu ya, jam satu.

Oke, Jae. See you!

See you!

***

Di stasiun, Jaehyun sudah sampai lima menit lebih dulu dari Luna. Ia terlihat tampan dan segar sekali dalam balutan T-shirt putih dengan aksen saku kecil di bagian depan sebelah kiri, celana jins warna Khaki dengan belt hitam melingkar di pinggangnya—menahan T-shirt yang disisipkan dalam celananya agar tetap rapi—dan terakhir, kardigan rajut lengan panjang dengan kancing dibiarkan terbuka, berwarna abu-abu tua.

“Hei, Jae!”

Jaehyun yang sedang berkonsentrasi pada layar ponselnya, menoleh ketika pundaknya ditepuk dari belakang, yang ternyata oleh Luna.

“Maaf nunggu. Udah lama?”

Damn.

She looks very pretty, ungkap Jaehyun dalam hati.

Luna yang siang itu mengenakan rok jins lipit di atas lutut dan atasan lengan panjang berwarna dusty rose, berikut dengan rambut panjang wavy-nya yang dibiarkan tergerai dihiasi bandana senada dengan atasannya, membuat hati Jaehyun berjengit.

Wajah Luna yang pada dasarnya sudah mulus dan cantik, dihiasi riasan minimalis siang itu. Hanya sapuan blush on tipis di pipinya dan lipstik pink mauve keluaran Bobbi Brown teroles di bibirnya.

“Jae?”

Telapak tangan Luna yang bergerak ke kanan dan kiri di depan wajahnya membuat Jaehyun kembali tersadar. “Eh—sorry. Nggak kok, nggak lama. Lima menitan doang paling.”

“Ah, oke.”

Setelah merespon Jaehyun, Luna memutuskan untuk mendekatkan dirinya pada Jaehyun hingga mereka berdiri berdampingan sekarang. Agak terlalu dekat, hingga lengan kanan Luna dan lengan kiri Jaehyun sedikit bersentuhan.

Ketika kereta yang ditunggu akhirnya tiba, Jaehyun membiarkan Luna melangkah masuk lebih dulu dan ia mengikutinya di belakang.

“Itu ada satu kursi kosong, kamu duduk situ,” kata Jaehyun, sambil menunjuk satu kursi dari tempat mereka berdiri, dengan dagunya.

“Nggak ah, aku berdiri aja—”

“Kamu pakai rok pendek, Na, mending duduk.”

Luna menurut, ia mendekati kursi yang Jaehyun maksud dan mendudukinya. Dari tempatnya berdiri, Jaehyun bisa melihat kaki jenjang Luna sampai dengan atas lutut yang terekspos akibat rok pendeknya dan Jaehyun merasa tidak nyaman—terlebih ketika serombongan pemuda memasuki kereta dengan tergesa tepat sebelum pintu kereta tertutup, dan posisi mereka berdiri tepat di hadapan Luna.

Jaehyun menyadari, beberapa pasang mata dari rombongan pemuda itu menatap serempak ke arah Luna dengan pandangan tidak sopan, terlebih ketika mereka sadar Luna tidak berdarah sama dengan mereka—Luna bukan orang Korea. Samar, Jaehyun mendengar mereka mulai berceloteh sambil sesekali tersenyum menyeringai ke arah Luna.

Kali ini Jaehyun tidak tinggal diam.

Ia melepaskan pegangannya dari handle grip berwarna kuning yang menggantung di atasnya, dan segera berjalan mendekati Luna. Ketika Luna sudah berada dalam jangkauannya, Jaehyun mengulurkan tangannya sambil berkata, “Na, ayo pindah gerbong.”

Luna langsung menyambut uluran tangan Jaehyun dan membiarkannya tetap berada dalam genggamannya ketika mereka berjalan menjauhi serombongan pemuda tadi. Dalam hati, Luna sungguh bersyukur Jaehyun paham situasi dengan membawanya pergi dari gerbong itu.

Setelah berjalan melewati dua gerbong, akhirnya mereka menemukan satu gerbong yang agak kosong dan segera menduduki dua kursi yang tersisa di pojok dekat pintu darurat.

“Makasih, Jae. You saved me,” ujar Luna setelah mereka berdua duduk berdampingan.

Jaehyun tidak langsung menanggapi, ia malah sibuk melepas kardigannya dan memberikannya pada Luna. “Stasiun tempat kita turun masih agak jauh. Use this to cover your thighs.”

Luna tertegun. Ia mengambil kardigan dari tangan Jaehyun dengan ragu-ragu. Samar, ia dapat menghirup aroma musk segar yang menguar dari kardigan Jaehyun yang masih ia genggam.

Hurry. Next stop is close. More people will hop in.”

Luna mengangguk paham. Ia segera membentangkan kardigan Jaehyun untuk menutupi bagian paha dan kakinya sehingga tidak lagi terekspos dan mengundang pandangan menjijikan dari manusia-manusia berotak kotor seperti rombongan pemuda tadi.

Luna bisa merasakan pipinya memerah, ia malu. “Sorry. I like this skirt—and this is summer. Biar adem tadinya, makanya aku pilih pakai rok siang ini.”

“Jangan lagi pakai rok sependek itu kalau mau pergi naik kendaraan umum. Promise me.”

Walau agak terkejut mendengar permintaan Jaehyun, tapi akhirnya Luna pun mengiyakan karena hal itu terdengar sangat rasional. “Promise.”

“Aku tau, cewek suka pakai rok—and you look good wearing that skirt anyway. Tapi hati-hati ya, Na? Make sure kamu aman naik mobil pribadi atau paling nggak, kamu nggak pergi sendirian ketika kamu lagi pengen pakai rok pendek.”

Aduh, apa ini?

Luna deg-degan sendiri mendengar kata demi kata yang baru saja dilontarkan Jaehyun padanya. Rasanya sudah lama ia tidak dikhawatirkan seperti ini oleh laki-laki—ya, selain Younghoon dan Juyeon tentunya.

“Jangan marah ya, aku ngomong gini. Aku cuma… care aja sama kamu. Maaf ya kalau terdengar bawel.”

“Aku nggak marah. Seneng sih malah, ada yang perhatian sampai segininya… Eh m-maksudnya, dibawelin kayak gini aku suka. Bukan suka juga sih, duh gimana ya.”

“Nggak usah salah tingkah gitu.”

Pipi Luna memerah lagi, malu untuk yang kedua kalinya.

Dalam hati ia sibuk merutuki dirinya yang ia tidak mengerti kenapa harus tiba-tiba jadi gugup begitu di depan Jaehyun.

Luna menundukkan kepalanya menatap lantai kereta karena menahan malu, sehingga ia tidak menyadari senyum yang tersungging di wajah Jaehyun—yang kini sedang menatapi dirinya.

“Na, lihat sini dong. Memangnya lantai kereta lebih menarik daripada mukaku ya? Dari tadi ngelihatin lantai terus perasaan.”

“Nggak gitu. Aku malu.”

“Nggak ada alasan untuk malu. Sini, lihat aku. Masa ngobrolnya sambil buang muka gitu sih, kayak orang musuhan aja.”

Luna menarik nafas panjang sebelum mengalihkan pandangannya, menatap wajah Jaehyun yang terlihat ceria dengan senyum lebar yang menampilkan deretan giginya yang rapi. Jantung Luna berdetak cepat lagi.

Tuhan waktu ciptain Jaehyun moodnya lagi bagus banget ya. Semua yang bagus kayaknya dikasih ke Jaehyun. Ganteng banget dia, Tuhan!

Jaehyun tidak paham arti dari tatapan Luna padanya saat ini, tetapi ia melihat jari Luna yang sedang meremat ujung kardigannya. Detik ini, Jaehyun memutuskan untuk mencoba peruntungannya.

Ia menangkupkan tangannya di atas jemari Luna. Menunggu. Menunggu apakah Luna akan menarik jarinya atau—

Jaehyun mencelos ketika Luna menarik jarinya dalam hitungan detik setelah berada dalam tangkupan tangannya. Tidak apa-apa, Jaehyun menenangkan dirinya sendiri. Mungkin Luna merasa risih. Mungkin tidak seharusnya ia melakukan skinship secepat ini pada Luna.

“Jari aku lagi keringetan,” kata Luna, seolah paham yang dipikirkan Jaehyun. Lalu ia melingkarkan lengannya di lengan Jaehyun dan mendekapnya. “I like it this way.”

Sekali lagi, Luna melewatkan ekspresi sumringah di wajah Jaehyun ketika ia melingkarkan lengannya, karena Luna kembali mengalihkan pandangannya menatap lantai kereta.

Sepanjang sisa perjalanan kemudian dihabiskan Luna dan Jaehyun dalam diam. Keduanya sibuk menenangkan kupu-kupu yang lalu lalang berterbangan menggelitik perut masing-masing.

***

I didn’t know you’re a fan of Marvel’s superheroes!

A big fan, to be exact—and especially Iron Man.

“Kenapa suka Iron Man?”

Luna dan Jaehyun sudah keluar dari toko buku sekitar setengah jam yang lalu, dan kini keduanya sedang berjalan-jalan santai di taman terbuka di lantai paling atas mall ini. Tangan kanan Jaehyun menenteng satu eco-bag berisi beberapa komik Marvel edisi terbaru dan satu literatur tentang arsitektur. Tangan kirinya memegangi es krim cone yang didapat dari mesin es krim koin di area food court sebelum ia dan Luna memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu di taman ini.

Well, karena sayangnya tidak ada es krim rasa mint chocolate di mesin es krim tadi, jadilah mereka berdua memilih rasa favorit kedua setelah mint choc—vanila untuk Luna, dan cokelat untuk Jaehyun.

“Aku suka karakter yang dibangun creator Stan Lee untuk Iron Man,” jawab Jaehyun setelah menggigit pinggiran cone-nya. “Bentar deh, kamu ngikutin film-filmnya Marvel Cinematic Universe nggak?”

“Ngikutin, some of, nggak semuanya sih.”

“Setuju nggak, kalau aku bilang aku suka karakter Iron Man yang cenderung sarkastik dan arogan—karena dia terlalu jujur dan percaya diri banget dengan capability-nya. Well, dia itu successful dan super rich karena dia pinter banget, intelligent—dan walaupun dia superhero tapi basic human instinct-nya kuat. Dia setia dan pedulian banget. Not to mention he is also very humorousjokes-nya dia tuh asik. Dia bisa nyelipin sarkastiknya dibalik candaannya.”

Luna gagal menyembunyikan tawanya mendengar Jaehyun yang menjelaskan secara detail dan rinci soal kekagumannya pada karakter Iron Man. “If Iron Man was real—and a girl—I bet you’d die to date her!

Gantian kini Jaehyun yang tertawa. “Nggaklah, nggak segitunya kok. Tapi kalau Iron Man nyata, mad respect for him. Angkat topi deh kalau ketemu. Well, enough about me and Iron Man. Gantian, kamu sukanya apa?”

“Duh, malu jawabnya. Nggak keren kayak idola kamu Iron Man soalnya.”

“Nggak ada yang menuntut jawaban keren disini. Lagian keren atau nggak itu kan relatif. Jadi, suka apa?”

“Disney. Hampir semua karakter buatan Walt Disney aku suka banget. Di umur segini, salah satu bucket list aku yang belum kesampaian adalah ngunjungin semua Disneyland di dunia.”

“Dan menurut kamu hal itu nggak keren karena?”

It sounds too childish.”

Liking Iron Man is not a mature thing either.”

“Tapi banyak orang dewasa yang suka Marvel thingy. Meanwhile karakter Disney penyukanya kebanyakan anak-anak.”

“Nggak usah malu untuk ungkapin hal yang kamu suka dan yang kamu nggak suka. Like I said, nggak ada yang berhak menghakimi kamu soal apapun itu yang jadi kesukaan kamu, selama nggak merugikan orang lain. Kamu suka Disney, I think it’s awesome.”

Luna dan Jaehyun kini sudah sampai di bagian ujung taman yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung sky scraper yang menjulang tinggi. Angin sesekali berhembus menerpa, menimbulkan sedikit efek segar dan sejuk di tengah udara musim panas.

Thank you for not judging bad about me liking Disney,” kata Luna sambil melipat kedua tangannya di dada. Es krimnya sudah habis sejak beberapa menit lalu. “Aku suka Disney dari dulu banget, dari kecil. Dan ternyata nggak hilang sampai sekarang. Sayangnya beberapa mantanku dulu banyak yang nggak suka karena menurut mereka terlalu kekanakan. Bahkan aku pernah lagi masa pendekatan sama satu cowok waktu kuliah, begitu dia tau aku suka Disney, dia langsung hilang gitu aja. Aku di-ghosting gara-gara suka karakter Disney.”

“Hah beneran? Dia tinggalin kamu karena kamu suka karakter Disney? It’s his loss anyway, not yours. Cowok aneh.”

“Hehe iya. Makanya tadi aku ragu mau jawab pas kamu tanya aku sukanya apa.”

Jaehyun menangkap dengan jelas ekspresi sendu yang kini teraut di wajah Luna, dan juga sorot matanya yang meredup. “Luna, I promise you can be honest with me about anythingyour likes, your dislikes, your dreams, your fearsI won’t judge you. Jangan takut untuk berbagi hal itu sama aku ya?”

Perlahan, senyum mulai merekah lagi di wajahnya. Seiring dengan helaian rambutnya yang berkibar akibat terpaan angin, Luna menganggukan kepalanya sebagai respon atas kalimat Jaehyun barusan.

“Jadi, Disneyland mana yang belum kesampaian kamu kunjungin?” tanya Jaehyun lagi.

“Paris,” jawab Luna. “Disneyland Paris. One of my biggest dreams.”

“Wow, sisanya udah kamu kunjungin semua? What a true fan of Disney!

“Cuma ada enam kok, Jae, total Disneyland di dunia. Dua yang di US, aku kesana waktu SD dan SMP kalau nggak salah. Kalau yang di Shanghai, Tokyo dan Hongkong, itu pas aku lulus SMA. Dikasih hadiah keliling Disney Asia sama Mama dan Ayah karena aku berhasil masuk kampus SNU. Yang Paris nih, masih belum kesampaian juga.”

“Kamu bahkan pernah ke Disneyland US… Kenapa belum kesampaian yang di Paris?”

“Waktunya belum tepat… I guess? Ayah susah dapat cuti panjang dari kantornya soalnya. Nggak mungkin juga aku kesana sendirian kan? Dan temen-temenku juga nggak ada yang mau nemenin kesana.”

“Ya udah, nanti aku temenin kesana ya? Biar salah satu bucket list kamu itu akhirnya bisa dicoret.”

Luna menaikkan alisnya sebelah sambil menatap Jaehyun. Tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kamu mau main ke Disneyland?”

Why not? Lagian sekarang Marvel udah diakuisisi Disney, kan? More reasons for me to visit Disneyland with you.”

“Kalau Marvel nggak ada hubungannya sama Disney, masih mau temenin aku—”

“—Mau.”

Luna meneliti wajah Jaehyun. Ia mencari kejujuran dan kesungguhan disana, dan sepertinya Luna menemukannya. Ia tahu Jaehyun tidak main-main dengan ucapannya. “Thanks, Jae. You made me happy today. Very happy.”

“Aku nggak ngapa-ngapain deh perasaan?”

“Makasih udah ngajak aku jalan hari ini.”

“Aku nggak ngajak, kamu yang mau ikut, kan?”

Luna tertawa sambil melayangkan tinju pelan di bahu Jaehyun. “Iya deh ralat, makasih ya udah bolehin aku ikut kamu jalan-jalan hari ini.”

I’m happy if you’re happy. Lain kali kalau mau ikut aku jalan-jalan lagi, bilang aja, pasti aku bolehin.”

Nope, lain kali aku maunya kamu yang ajak.”

“Oke oke, tapi harus mau ya. Aku nggak terima penolakan.”

“Yaa tergantung, kalau kebetulan pas kamu ajak ternyata aku udah diajak duluan sama yang lain, berarti aku nggak bisa.”

Sebetulnya Luna melontarkan kalimat tersebut dengan nada bercanda, dan ia pun memang tidak bermaksud serius dengan ucapannya. Jaehyun tidak tahu, walaupun hari ini belum berakhir tetapi dalam hatinya Luna sudah menantikan acara jalan bareng selanjutnya.

“Na, maaf aku tanya begini. Tapi boleh aku tau, kamu lagi dekat sama seseorang nggak sekarang ini? Ada orang yang bisa bikin kamu nolak ajakan pergi dari aku nggak?”

Luna menyadari perubahan nada bicara Jaehyun yang berubah dari santai menjadi serius saat menanyakan hal tadi padanya. “Hmm… memangnya kenapa kalau aku lagi dekat sama seseorang?”

“Ada atau nggak?”

Does that matter?”

Matters to me. Buat apa aku ngelanjutin pendekatan sama kamu kalau kamunya udah ada yang duluan deketin?”

“Kok segitu aja perjuangannya? Langsung nyerah?”

“Bukan gitu, aku hanya nggak terbiasa ngerebut hak orang lain. I’ll fight to achieve my desire, tapi nggak kalau harus mengambil milik orang lain.”

“Kalau begitu, selamat berjuang. Aku nggak lagi dimiliki siapa-siapa, juga nggak lagi dekat sama cowok lain. Jadi…,” Luna berhenti sebentar. Ia menggigiti bibirnya untuk meredam perasaan bersemangatnya agar tidak terlalu kentara di mata Jaehyun. “…jangan cepat menyerah ya?”


CHAPTER 6.

Sudah lebih dari dua minggu berlalu semenjak pertemuan Luna dan Jaehyun di stasiun kereta. Setelah hari itu hubungan mereka berdua semakin intens; saling memberi kabar dan menyemangati urusan pekerjaan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sesekali Jaehyun menjemput Luna di kantornya dan mereka makan malam bersama sebelum pulang, walaupun tidak sering karena terkadang Luna pun menyetir sendiri ke kantor kalau ada rencana lembur.

Seperti hari ini misalnya, sudah lewat dari jam tujuh malam tapi Luna masih bertahan di kantornya demi menyelesaikan dua laporan penting hasil tax auditing dua klien besarnya, untuk dapat secepatnya diserahkan pada atasannya. Sebetulnya hari ini Luna tidak dalam kondisi baik karena pagi hari setelah ia sampai kantor, Luna baru sadar ternyata ia sedang haid hari pertama. Dan seperti kebanyakan perempuan pada umumnya, situasi hormonal ini berimbas banyak pada tubuhnya.

Luna lemas hampir sepanjang hari karena menahan sakit pada punggung bawahnya dan juga kram di perutnya. Berikut sedikit rasa mual yang membuatnya kehilangan nafsu makan.

Jari-jari Luna yang sedang mengetik di atas keyboard-nya terhenti ketika rasa sakit yang tadi sempat hilang sesaat, kini kembali lagi menyerang perut dan pinggangnya. Tangan Luna terkepal, dahinya mengernyit. Ditariknya sebanyak mungkin oksigen yang bisa ia hirup dan dihembuskannya perlahan, terus begitu selama beberapa detik demi mengurangi rasa sakitnya.

“Na, you okay?”

Luna mendongak. Ternyata Younghoon dan Juyeon sudah berada di ambang pintu ruangannya—entah sejak kapan. Wajah mereka berdua menyiratkan rasa khawatir.

“Pulang gih, ya ampun. Kenapa masih maksa lembur? Dari pagi lo udah nggak enak badan gini, harusnya nggak usah lembur,” kata Juyeon sambil berjalan mendekati Luna.

“Laporan gue belum selesai.”

“Ya kan bisa kerjain di rumah kek gitu, atau besok lagi. Keras kepala banget lo tuh kalau udah soal kerjaan,” kali ini omelan datang dari Younghoon yang sedang memeriksa berkas yang lagi Luna kerjakan. “Udah, besok lagi bisa ini sih. Lo pulang sekarang ya. Beresin barang bawaan lo, ini meja lo biar gue yang rapiin.”

Luna menurut. Ia akhirnya menyerah, menerima sinyal yang dikirimkan oleh otaknya bahwa tubuhnya tidak bisa mentolerir lagi rasa sakit yang sedang menjalar. Tubuhnya perlu diistirahatkan secepatnya.

“Lo pulang sama siapa? Dijemput Jaehyun kan?” tanya Juyeon lagi.

Luna menggeleng. “Nyetir sendiri. Jaehyun udah pulang duluan dari tadi.”

“Aduh, emang lo kuat nyetir? Bahaya nggak sih, Na, lo nyetir dalam keadaan sakit gitu.”

“Kuat, Hoon. Udah jangan khawatir dong, gue cuma sakit haid aja ini bukan sakit keras. Yuk ah, gue duluan pulang ya. Makasih loh Hoon, Juy, udah merhatiin gue.”

“Gue anterin ke apartemen lo deh ya? Mobil lo simpen di kantor aja.”

“Nggak usah, Juyeon. Gue bisa nyetir sendiri, beneran deh, gue masih kuat.”

“Ya udah, gue anterin sampai parkiran deh kalau gitu. Dasar, kepala batu!” gerutu Juyeon yang menyerah karena Luna tetap bersikeras tidak ingin diantar pulang. Tipikal Luna, sesakit apapun dirinya kalau dirasa masih sanggup, ia tidak akan manja sekalipun itu ke sahabatnya sendiri. Luna paling anti merepotkan orang lain di kala ia merasa masih bisa menjalaninya sendiri.

“Gue nggak anter ke bawah ya? Beresin dulu meja lo soalnya. Get well soon, Na. Cepet-cepet kabarin kita kalau ada apa-apa, oke? Hati-hati nyetirnya,” ujar Younghoon dari balik komputer Luna. Tangannya masih sibuk membereskan segala macam berkas dan alat tulis yang berserakan di meja.

Thank you, Hoon.”

***

Luna memiringkan tubuhnya di kasur dengan gelisah. Sudah dari satu jam yang lalu ia berbaring, tubuhnya lelah, matanya sudah mengantuk namun rasa sakit yang terlalu tajam menghalanginya untuk tidur. Segala posisi sudah ia coba—telentang, tengkurap, meringkuk—tapi semuanya tidak berhasil membuatnya nyaman.

Ia masih menyesali keputusannya yang tidak mampir ke apotek untuk membeli obat ibuprofen atau parasetamol untuk meredakan nyerinya. Luna merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia salah ingat karena mengira ia masih punya cadangan obat berjenis pain killer tersebut di apartemennya. Tidak hanya itu, menstrual patch-nya pun ternyata habis dan Luna baru ingat ia memang menunda mengisi ulang persediaan menstrual patch-nya karena dirasa tanggal haidnya masih jauh dari yang seharusnya. Luna lupa memperhitungkan kemungkinan tanggal haid yang lebih cepat dari bulan sebelumnya.

Akhirnya Luna memutuskan untuk mengecek ponselnya, mencari tontonan di Netflix yang bisa membuatnya lupa akan sakitnya. Lima belas menit berlalu, hasilnya nihil, Luna tetap kesakitan. Sampai terbesit satu nama di otaknya yang mungkin, mungkin, bisa membantunya mengalihkan rasa sakitnya.

Luna tahu ini jam sebelas malam, kecil kemungkinan pesannya akan dibalas. Tapi Luna tetap mencoba mengetikkan pesan untuknya.

Hyunjae

Masih bangun?

Luna sungguh berharap ponselnya segera menderingkan notifikasi pesan masuk secepatnya. Ia memejamkan matanya, menunggu—

Ting!

Mata Luna membuka lebar.

Masih, Na. Ada apa? Kenapa kamu belum tidur?

Ingin rasanya Luna bersorak.

Ia senang sekali harapannya terkabul. Jaehyun masih bangun dan membalas pesannya dengan cepat.

Aku nggak bisa tidur, boleh temenin ngobrol sebentar?

Are you okay? Mau aku telepon atau chat di KTalk aja?

Atau mau video call?

Mmh, sebetulnya aku lagi kesakitan. Menstrual thingy. Jadinya nggak bisa tidur.

Apanya yang kerasa sakit?

Sakit semuanya, perutku kram, punggung bawah juga sakit dan pegel.

Dua menit kemudian, balasan dari Jaehyun masuk.

Maaf ya, aku nggak paham kalau lagi sakit haid harus diapain.

Tapi barusan aku googling, dan menurut artikel yang kubaca, coba dikompres air hangat perutnya atau pakai bantal panas.

Lucu banget kamu googling tentang haid. By the way ini juga aku lagi kompresin perutnya kok, tapi ga terlalu mempan. Masih sakit.

>>Minum obat semacam pain killer katanya bisa juga, Na. Aspirin, parasetamol atau ibuprofen. Udah dicoba?

Iya biasanya aku minum parasetamol atau ibuprofen tapi obatku lagi habis. Aku nggak ngeh kukira masih ada cadangan.

>>Aku biasanya pakai menstrual patch tapi ini juga habis. Sengsara banget pokoknya. Salahku sih, nggak langsung beli pas tau habis.

Jae, I’m sorry malam-malam gini aku recokin kamu dengan hal yang nggak kamu ngerti.

It’s okay. No need to be sorry.

Na, tunggu sebentar ya.

Mau ngapain?

Tunggu sebentar pokoknya.

Kening Luna mengernyit ketika Jaehyun tidak lagi online.

Hingga lima menit lamanya, status chat Jaehyun masih juga tidak kembali online. Luna mengetik pesan lagi.

Hyunjae, kok hilang?

Jae… :(

Aaah, Hyunjae nyebelin! Luna meraung dalam hati.

Ia kesal, kini sudah lima belas menit berlalu dan Jaehyun masih tidak membalas pesannya sama sekali—apalagi meneleponnya. Padahal tadi Jaehyun hanya menyuruh Luna untuk menunggu sebentar, se-sebentar apa sebenarnya?

Akhirnya Luna memutuskan untuk tidak menunggu lagi balasan dari Jaehyun. Ia melempar ponselnya dengan asal di kasurnya, dan memilih untuk menaikkan selimut hingga menutupi kepala sambil memejamkan mata. Memaksa tubuhnya untuk bisa shutting down secepatnya.

Ting tong!

Masih dengan mata terpejam, Luna mencoba menajamkan lagi pendengarannya. Sepertinya itu bel apartemennya yang berbunyi—atau ia berhalusinasi?

Ting tong! Ting tong!

Kali ini ia yakin, memang betul bel apartemennya yang sedang berbunyi. Dengan tangan merapikan rambut seadanya, Luna bangkit dari kasurnya sambil memegangi perutnya yang masih terasa sakit. Agak tertatih, Luna keluar dari kamar, mendekati layar interkom untuk melihat siapa yang datang selarut ini ke apartemennya.

Luna mengatupkan tangan di mulutnya yang langsung menganga ketika melihat siapa yang datang dari layar interkomnya. Buru-buru Luna melepas selot pengaman pintu dan membuka pintu unitnya lebar-lebar.

“Hei, maaf lama ya? Tadi obatnya langsung dapat, tapi menstrual patch-nya baru dapat di apotek ketiga. Untung udah banyak apotek yang buka 24 jam sekarang.”

“Hyunjae… Aku kan tadi mintanya ditemenin ngobrol—”

“Ya makanya aku kesini, biar bisa ngobrol.”

“—Ngobrol di telepon maksudnya, Jae.”

“Kalau aku nggak kesini, terus obatnya gimana bisa nyampe sini coba aku tanya?”

Entah dapat dorongan dari mana, tiba-tiba Luna menubruk tubuh Jaehyun hingga lelaki itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Kalau saja tidak ada pintu yang menahannya, sudah pasti Jaehyun terjengkang ke belakang akibat tubrukan tubuh Luna.

“Makasih ya, Jae. Kamu tengah malam keliling apotek cariin obat dan menstrual patch buat aku. Terharu jadinya,” Luna berkata sambil mendekap tubuh Jaehyun erat-erat. “Aku kesakitan banget seharian ini, beneran nggak bisa tidur juga saking sakitnya.”

Jaehyun yang masih kaget karena dipeluk Luna tiba-tiba, kini mengusapkan tangannya di punggung Luna. “Sama-sama, Na. Aku nggak tega tadi baca chat kamu kayaknya kesakitan banget. Ayo diminum dulu obatnya, biar kamu bisa istirahat.”

Luna mengangguk dan melepaskan pelukannya. Kemudian ia mengajak Jaehyun ke arah dapur, dan memintanya untuk duduk di kursi yang menghadap counter.

“Hyunjae mau minum apa?” tanya Luna sambil mengambil mug untuk ia isi dengan air putih hangat. “Teh mau? Chamomile? Atau peppermint tea?”

Sambil menunggu jawaban Jaehyun, Luna meraih kantung obat yang disimpan Jaehyun di atas konter. Setelah dikeluarkan satu tablet obat yang sudah sangat dikenalnya itu, Luna menelannya bersamaan dengan air putih hangat yang tadi ia siapkan.

“Nggak usah, Na, makasih. Aku nggak lama kok. Udah hampir tengah malam, nanti malah ganggu kamu kalau kelamaan.”

“Kata Mama, kalau ada tamu ke tempat kita itu jangan sampai tamunya pulang dengan perut kosong,” kata Luna. Tangannya sibuk mengambil cangkir baru dari lemari di atas konter, lalu diambilnya satu tea bag rasa peppermint. Setelah terisi air hangat, Luna menyuguhkan cangkirnya di hadapan Jaehyun. Wangi khas daun peppermint memanjakan hidung Jaehyun seketika.

“Ini, diminum ya. Sama ada biskuit juga. Biskuit jahe, cobain deh dicelup ke tehnya, enak. Aku cemilin ini kalau lapar tengah malam,” kata Luna lagi sambil menyodorkan setoples biskuit jahe kesukaannya pada Jaehyun.

“Na, jadi repot loh kamunya, padahal lagi sakit. Makasih ya, aku icip ya ini biskuit dan tehnya.”

“Sakitnya udah jauh berkurang sekarang.”

“Oh ya? Secepat itu obatnya bereaksi?”

“Obatnya sih belum. Tapi gara-gara ada kamu di sini kayaknya, sakitnya jadi berkurang.”

Jaehyun yang sedang menghirup tehnya nyaris terbatuk mendengar penuturan Luna barusan. Luna tertawa dalam hati. Di tengah remangnya lampu dapur sebagai satu-satunya sumber penerangan yang Luna nyalakan, ia bisa melihat wajah Jaehyun memerah sampai ke telinganya. Luna gemas sekali melihat gestur tubuh Jaehyun yang mendadak jadi canggung dan salah tingkah.

“Aku tinggal ke kamar dulu ya? Mau pakai patch-nya.”

“Iya, Na. Sekalian kamu rebahan aja di kasur ya, aku mau habisin dulu ini tehnya. Kamu bener, cocok banget biskuit jahenya dicelupin ke teh. Enak, aku suka.”

Luna tersenyum sekali lagi. Setelah menepuk bahu Jaehyun sekilas, Luna menghilang ke dalam kamarnya.

Tinggallah Jaehyun sendirian, dengan tangan masih memegangi sisa biskuit jahenya. Ia merenungi keberadaan dirinya malam ini. Sebetulnya ketika tadi ia menerima chat dari Luna, Jaehyun sudah dalam posisi siap tidur di kasurnya. Matanya sudah akan terpejam namun otomatis terbuka kembali ketika melihat nama Luna di layar ponselnya. Kalau chat tadi bukan dari Luna, Jaehyun tidak akan sudi menginterupsi keinginan tubuhnya untuk beristirahat hanya sekedar untuk membalas chat apalagi sampai mengorbankan waktu tidurnya seperti ini.

Tapi untuk Luna, ia rela.

Begitu ia tahu Luna sedang kesakitan, rasa kantuk dan lelahnya hilang berganti dengan rasa khawatir. Itulah sebabnya ia tadi bahkan tidak sempat untuk membalas chat terakhir Luna, karena ia sebegitu terburu-burunya menyambar kunci mobil dan pergi mencarikan obat untuk Luna.

Jaehyun menatap cangkir tehnya yang sudah kosong. Ia memutuskan untuk segera membersihkan konter dapur Luna sekaligus mencuci bersih cangkirnya.

Setelah selesai, Jaehyun mendekati pintu kamar Luna yang tertutup tapi tidak rapat, menyisakan sedikit celah.

Jaehyun mengetuk pelan pintunya. “Na?”

Luna yang kini sudah berbaring kembali di kasurnya, membalikkan tubuhnya ke arah pintu dan mengisyaratkan Jaehyun untuk masuk.

“Gimana sekarang? Tambah enakan?” tanya Jaehyun lembut, ketika ia sudah berada di tepi kasur Luna.

Luna mengangguk, dengan selimut menutupi tubuhnya sampai leher, hanya menyisakan wajahnya yang menyembul. “Makasih sekali lagi, Hyunjae. Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu tengah malam kesini. Padahal aku cuma pengen ditemenin ngobrol aja tadi, kamu nggak perlu sampai harus kesini.”

“Lihat kamu kesakitan masa aku mau diem aja? Teleponan doang nggak bikin sakit kamu hilang. Dan lagi, aku nggak ngerasa direpotin.”

“Hehe iya, makasih banyak.”

“Kamu sering sakit kayak gini, Na? Setiap bulan?”

“Iya, setiap bulan, selalu.”

“Udah periksa ke dokter? Barangkali ada yang salah dan harus diobatin?”

“Udah pernah sampai di-USG, tapi nggak ada apa-apa. Memang hormonal aja ini kata dokternya.”

“Sabar ya, kamu hebat dan kuat. Aku belum tentu sanggup dikasih rasa sakit kayak gini, rutin setiap bulan pula.”

“Udah kodratnya perempuan begini. Makanya, sayangin Mama dan kakak perempuan kamu ya, Jae.”

“Iya dong, selalu. Derajat perempuan itu tinggi banget di mataku. Aku menghormati banget perempuan, dari mulai Mama, Kakak, teman-teman. Dan sekarang ketambahan lagi satu perempuan spesial buatku. Kamu.”

Luna menaikkan selimut yang menutupi lehernya, menjadi menutupi setengah dari mukanya, hanya menyisakan bagian matanya saja. Ia malu.

“Hahaha kenapa sih jadi ditutupin gitu mukanya? Gelap juga kok ini kamarnya, muka kamu merah juga nggak akan kelihatan.”

“Hyunjae ah, diem.”

Jaehyun tertawa lagi.

“Na, aku pamit ya? Tidur yang nyenyak ya malam ini. Jangan lupa besok pagi bangun jangan telat. Mau bareng aku nggak ke kantornya? Kalau mau, aku jemput.”

“Nggak usah, aku berangkat sendiri aja. Kayaknya mau lembur lagi deh besok. Thank you anyway tawarannya, Jae.”

“Ya udah kalau gitu, jangan dipaksa lembur kalau terlalu capek ya. Semoga cepet hilang sakitnya. Sweet dreams.”

Sambil berkata begitu, Jaehyun meletakkan telapak tangannya di kepala Luna dan memberikan usapan lembut di rambutnya. Sebetulnya Jaehyun ingin sekali mengecup pucuk kepala Luna sebelum ia meninggalkan kamarnya, tapi Jaehyun menahannya. Ia takut Luna merasa tidak nyaman kalau ia melakukan itu sekarang.

“Ngh, Jae,” panggil Luna lagi. Jaehyun yang sudah bersiap menutup pintu kamar Luna, berhenti. “Sebelum kamu keluar tolong matiin lampu dapur ya,” pinta Luna.

“Oh, oke. Aku pulang ya, good night.”

Good night, Hyunjae!”


Hari ini tanggal 13 September 2021, Jaehyun berulang tahun yang ke-28. Dari pagi Luna sudah berisik menyelamati Jaehyun di ponselnya.

Morning!

Happy birthday, Hyunjae.

Hei bangun dong yang lagi ultah, jangan kesiangan ngantor.

Aku udah siap, mau ke apartemen kamu ya sekarang.

Cepetan mandi, aku nyampe kamu harus udah wangi.

Di kamarnya, Jaehyun kebingungan membaca chat Luna.

Thank you ucapannya.

Kamu ngapain ke sini pagi-pagi? Aku mau ngantor.

Ya sama aku juga mau ngantor.

Kamu nggak usah bawa mobil ke kantor hari ini ya, bareng aku aja.

Nggak usah jajan sarapan juga, aku udah bawain sarapan ini.

Hah gimana?

Aku nggak usah bawa mobil gimana maksudnya?

Ih, udah diem aja tunggu aku sekarang udah di jalan.

Nggak sampai 20 menit kemudian, tepatnya jam 6.45 pagi Luna sudah sampai di apartemen Jaehyun. Dengan ice cream cake—rasa mint choco tentu saja!—di tangan kanan dan paper bag berisi sarapan dan makan siang untuk di tangan kiri.

Jaehyun yang sudah siap dengan setelan kerjanya membukakan pintu untuk Luna dan mempersilakannya masuk. Masih dengan tatapan bingung alih-alih senang melihat kedatangan Luna.

Luna menyimpan paper bag berisi kotak makanan di atas konter dapur. Membuka kotak kue dan menyalakan lilin di atasnya. Dia mengangkat kue dengan kedua tangan, menyodorkannya di hadapan muka Jaehyun.

“Na, aku nggak biasa tiup lilin—”

“Ya aku tau, tapi sekali-kali nggak papa dong? Ayo, make a wish dulu.”

“Ish. Kayak anak kecil deh.”

Hurry! Lilinnya keburu leleh.”

Jaehyun mengalah. Ia pun berjalan mendekati kue di hadapannya. Memejamkan mata dengan kedua telapak tangan terkatup di dada dan menyerukan doa-doanya dalam hati. Setelah selesai, dia meniup api di atas lilin yang langsung padam.

Luna tersenyum senang, rencananya untuk mendatangi Jaehyun pagi-pagi di hari ulang tahunnya berhasil. Tidak ada satupun temannya yang tahu soal ini, Luna merencanakan semuanya sendirian.

“Ini ice cream cake ya, jadi aku simpen di freezer. Jangan lupa nanti pulang kantor dimakan, buat dessert kalau kamu lagi pengen nyemil yang manis. Kamu pasti suka rasanya, mint choco buatan ahjusshi kok itu.”

“Serius itu buatan ahjusshi? Kok aku nggak pernah tau ahjusshi jualan ice cream cake?” tanya Jaehyun heran.

“Emang nggak jualan,” jawab Luna sambil menutup pintu kulkas setelah menyimpan kuenya di freezer. “Itu order khusus dari aku, spesial buat kamu. Biar kamu ada stok kalau lagi pengen nyemil mint choco dan nggak perlu jauh-jauh ke kafenya ahjusshi.”

Jaehyun terdiam. Sulit mencerna apa yang pagi ini dia dapatkan dari Luna. Rasanya dia belum memberikan apapun selama beberapa bulan ini kenal dengannya, tapi kok Luna bisa-bisanya memikirkan hal seperti ini untuk ulang tahunnya.

“Selamat ulang tahun sekali lagi ya,” kata Luna lagi, tangannya bergerak mengusapi punggung Jaehyun yang terbalut kemeja kerja dengan lembut. “Aku doakan semua hal baik untuk kamu.”

Jaehyun tidak tahan lagi.

Masih dengan tangan Luna mengusapi punggungnya, Jaehyun berjalan mendekati Luna. Refleks, tangan Luna langsung terhenti ketika Jaehyun menariknya pelan ke dalam pelukan sampai Luna bisa mencium aroma segar dari tubuh Jaehyun. Belum hilang rasa kagetnya karena tiba-tiba dipeluk, badan Luna menegang ketika Jaehyun mengeratkan dekapannya dan mengecup pucuk kepalanya.

“Makasih, Luna. I don’t know what did I do to deserve it.” Jaehyun berkata sambil melepaskan pelukannya perlahan. Ditatapnya mata Luna dalam-dalam. “I’m happy today. Thank you.

It’s the least I can do,” jawab Luna. “Terima kasih juga karena kamu udah baik sama aku. Tetap jadi Hyunjae yang baik, ya?”

Jaehyun mengangguk dan tersenyum malu-malu. Hatinya senang bukan main. “Yuk kita berangkat? Udah jam tujuh lewat.”

“Eh sebentar. Ini jangan lupa dibawa. Aku bikin potato omelette buat sarapan kamu, ada buah dan ada buat makan siang juga. Dihabisin ya, itu aku masak sendiri. Ditunggu review jujurnya soal masakanku.”

You have done so much already this morning,” kata Jaehyun sambil menerima paper bag dari tangan Luna. “Aku pasti habisin semuanya. Makasih sekali lagi.”

“Sama-sama. Yuk, berangkat.” Luna menggamit lengan Jaehyun dan mereka berjalan berdampingan keluar dari unit apartemen, menuju parkiran.

Di mobil, Jaehyun terlihat gelisah sambil memasang sabuk pengaman.

“Kenapa sih nggak nyaman banget kayaknya? Kamu takut disetirin aku?” tanya Luna agak kesal melihat Jaehyun yang terlihat gugup.

“Emang nggak nyaman,” jawab Jaehyun jujur. “Tapi bukan karena takut disetirin kamu. Aku nggak nyaman karena nggak terbiasa disetirin cewek. Berasa nggak gentle banget. Udah deh sini tukeran aku yang nyetir ya? Nggak enak banget rasanya, disetirin dan pake mobil kamu.”

“Nyantai aja sih. Nggak ada yang bilang kamu nggak gentle hanya karena disetirin cewek.”

“Na, please…

“Diem, Hyunjae.”

Jaehyun menghela napas pasrah. “Ya udah, hati-hati nyetirnya.”

***

Jam 3 sore, ponsel Luna yang disimpan di atas meja kerjanya bergetar.

Ada pesan masuk.

Luna yang sedang melakukan perkerjaan remote memeriksa berkas yang dikirim kliennya, berhenti sejenak untuk mengecek ponselnya.

[photo received]

[photo received]

Semuanya habis. Tempatnya udah aku cuci.

Baru sempet kirim fotonya sekarang, tadi habis lunch langsung dipanggil meeting.

Luna tersenyum melihat dua foto yang dikirim Hyunjae barusan, yang memperlihatkan tempat makan yang tadi Luna bawakan sudah bersih.

Bener dihabisin kan itu? Suka nggak?

Maaf ya kalau rasanya aneh.

Dihabisinlah.

Rasanya nggak aneh, enak kok. Aku cocok sama masakan kamu.

Hehe syukurlah kalau habis dan suka.

Mau dimasakin lagi kapan-kapan?

Iya mau.

Kalau kamu nggak repot.

Iya nanti dimasakin lagi ya.

Pulang jam berapa nanti? Nggak usah lembur yuk?

Aku memang nggak niat lembur. Mau traktir anak-anak birthday dinner.

Siapa aja? Aku ikut boleh? Kan kamu pulang sama aku nanti malem.

Biasa, berlima. Sangyeon, Sunwoo, Kevin, Jacob.

Nggak usah, aku pulang nebeng Sangyeon aja dia bawa mobil. Searah juga lagian.

Hati Luna mencelos kecewa. Padahal dia sudah membayangkan nanti sore pulang kantor sekalian jemput Jaehyun dan makan malam bersama. Tapi ternyata Jaehyun sudah ada acara lain. Mau maksa ikut, nggak enak.

Ya udah deh. Salam buat anak-anak ya?

Have fun, tapi jangan pulang kemalaman besok kerja.

Oke, thank you.

Setengah melempar ponselnya ke atas meja karena kesal, Luna nggak sengaja melihat Juyeon melintas dari balik pintu kaca ruangannya. Luna buru-buru berdiri dan memanggil Juyeon untuk masuk ke ruangan.

“Oy, kenapa?” tanya Juyeon setelah Luna menutup kembali pintu ruangannya. “Kusut amat itu muka? Padahal tadi pagi bahagia.”

Luna nggak menjawab. Diraihnya lagi ponselnya dan dia menunjukkan obrolan dengan Jaehyun tadi ke Juyeon. “Baca coba.”

Mata Juyeon bergerak seiring membaca baris demi baris chat antara Jaehyun dan Luna. Setelah selesai, dia mengembalikan lagi ponselnya ke yang punya.

“Gimana menurut lo?”

“Nggak gimana-gimana. Dia hanya mau having fun sama temen-temennya di hari ulang tahunnya. Nggak ada yang salah dengan itu,” kata Juyeon.

“Tapi gue nggak diajak. Padahal dia tau gue pengen banget pulang bareng malam ini makanya gue sengaja minta dia nggak bawa mobil. Pengen sekali-kali gue yang nyenengin dia.”

“Lo nggak diajak… emang lo siapanya dia, gue tanya?”

Luna nyaris tersedak mendengar pertanyaan Juyeon. “Kok gitu sih Juy. Dia kan lagi deketin gue ya masa gue nggak diajakin sih?”

“Nah tepat. Kalian masih proses pendekatan, belum ada status apa-apa. Kasihlah dia waktu untuk sama temen-temennya malam ini. Lagian akhir-akhir ini dia barengan lo terus kan? Ya walaupun nggak tiap hari, tapi kalian intens kan?”

“Ya sih…”

“Gue tau lo keliatannya mulai nyaman sama Jaehyun. Anak-anak di sini seneng banget tau nggak sekarang lo ceria terus. Coba lo inget-inget, kapan terakhir kali lo galau?”

“Nggak tau, nggak inget. Semenjak intens sama Jae gue seneng terus kayanya.”

“Nah itu maksud gue. Jangan merusak yang sudah kalian berdua bangun hanya karena perkara birthday dinner. Please sayang, itu nggak worth untuk diperdebatkan.”

Luna merenungi kata-kata Juyeon yang ada benarnya. Well, banyak benarnya. Beruntung sekali Luna punya sahabat lelaki yang bisa menyadarkannya bahwa bermain dengan logika itu terkadang penting. Semuanya harus seimbang antara logika dan perasaan walau kadang sulit untuk keduanya dijalankan bersamaaan.

“Udah jangan sedih lagi ya. Percaya sama gue, Jaehyun lo itu nggak akan kemana-mana. Lo tau, untuk ukuran cowok tsundere, segitu sih Jaehyun masih manis loh ke lo, Na. Dia mau repot-repot fotoin tempat makan yang udah kosong sekedar untuk ngasih tau lo bahwa dia suka dengan masakan lo. Gue aja nggak pernah inget untuk kaya gitu ke Sarah. Dikasih makanan ya udah aja gue terima dan habisin, boro-boro inget fotoin tempatnya deh.”

Luna terkekeh. Iya juga.

Thank you ya, Juyo. Gara-gara lo gue yang tadinya kesel sekarang malah jadi ngerasa bersalah karena bisa-bisanya gue kesel ke Jaehyun. Mau minta maaf ah, ganjel rasanya.”

“Tapi dia bakal bingung nggak sih lo tiba-tiba minta maaf?”

“Iya sih bingung kayanya hahaha.”

“Yee, dasar. Ya udah itu aja kan? Gue balik ke ruangan ya, udah sore gue nggak pengen lembur nih malem ini. Lo juga jangan mentang-mentang nggak jadi pulang bareng Jaehyun terus jadi ngelembur dadakan.”

“Iya, nggak lembur gue. Udah sana, makasih ya Juy!”

“Oke, anytime.”

Luna membuka ponselnya lagi dan mengetik cepat untuk Jaehyun.

Jangan lupa kamu punya ice cream cake di freezer.

Kabarin aku kalau nanti malam udah di rumah.

Iya, makasih diingetin.

Aku pasti kabarin.

[emoticon hug]

Luna menatap layar ponselnya sambil menahan tawa geli. Emoticon peluk? Sejak kapan? Tapi hal itu lebih dari cukup untuk menaikkan mood-nya lagi.

***

Luna baru selesai video call dengan mama dan ayahnya di meja makan ketika bel apartemennya berbunyi. Spontan diliriknya jam dinding di atas televisi, sudah jam 9 lewat 5 menit. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Keheranan Luna terjawab ketika dilihatnya wajah familiar di layar interkom. Luna langsung terburu-buru membukakan pintu untuk tamunya.

“Hai,”

Wajah tampan Jaehyun yang disertai senyum canggung menyapa Luna yang membukakan pintu. Demi Tuhan, saat itu Luna hanya bisa menatapnya bingung—sekaligus terpana—dengan penampilan Jaehyun saat itu.

Wajahnya terlihat segar dan bersih, dengan rambut hitam tebalnya yang agak basah. Jaehyun mengenakan celana jins biru muda dengan atasan kaos t-shirt hitam lengan pendek. Tangan kanannya memegang kotak makanan berukuran sedang, tangan kirinya tiba-tiba terangkat dan menyisirkan belahan rambutnya ke belakang, membuat keningnya sedikit terekspos untuk beberapa saat sebelum kembali tertutup helai rambut.

“Kamu… ngapain?” hanya itu yang mampu terucap dari mulut Luna. Dia bahkan belum mengizinkan Jaehyun masuk.

“Aku boleh masuk nggak?”

Luna tersadar, tangannya langsung melebarkan pintu dan meminta Hyunjae masuk. Aroma musk sangat segar khas Jaehyun kembali tercium saat dia melewati Luna memasuki apartemen.

Jaehyun langsung menuju dapur, mengambil dua sendok kecil dan membawanya ke meja makan tempat dia meletakkan kotak yang dibawanya tadi.

“Sini, ayo kita cobain ice cream cake-nya barengan,” kata Jaehyun sambil menepuk kursi kosong di sampingnya, meminta Luna untuk duduk di situ.

“Hyunjae…” sahut Luna sambil mendudukkan tubuhnya di kursi samping Jaehyun. “Kalau mau kesini bilang-bilang. Tau nggak, tadi aku habis mandi hampir aja mau pakai baju tidurku yang udah jelek, gambar Hello Kitty. Untung nggak jadi, tiba-tiba nggak ketemu padahal itu baju tidur paling enak karena udah jelek.”

“Kalau pun kamu jadi pake baju tidur Hello Kitty, memang kenapa?”

“Ya kenapa-kenapa lah! Curang, kamu kesini dengan penampilan ganteng begitu sementara akunya seadanya gini.”

Jaehyun tertawa gemas melihat Luna masih manyun karena kedatangannya yang tiba-tiba. “Iya, maaf ya nggak bilang-bilang. Aku buru-buru soalnya takut lebih malam lagi nyampe sini.”

“Kamu nggak jadi dinner apa gimana sih? Aku chat nggak kamu balas, katanya mau ngabarin kalau nyampe rumah tapi nggak ngabarin, tiba-tiba nongol di sini. Ngeselin.”

“Hehe maaf. Aku tadi jadi dinner tapi nggak lama-lama. Jam setengah 8 udah pulang dan sampe rumah langsung mandi ganti baju. Terus kesini.”

“Kenapa sih rusuh gitu? Kan di jalan pulang pas sama Sangyeon bisa kamu sambil ngabarin aku.”

“Iya harusnya bisa, aku nggak kepikiran. Maaf ya? Yang ada di pikiranku cuma pengen cepet sampai rumah supaya bisa cepet kesini.”

“Iya dimaafin. Terus kenapa harus banget kesini sekarang?”

“Kangen.”

Luna terbatuk, kaget. Sejak kapan manusia tsundere satu ini tiba-tiba ngomong kangen segampang itu?

“Lagian aku pengen cobain kue ini barengan sama kamu. Yuk, nanti keburu leleh.”

Luna terbatuk lagi yang kedua kalinya. Astaga anak ini, katanya nggak bisa ngerayu? Nggak bisa ngegombal? Lah ini apa namanya…

“Nih, sendoknya.”

Luna menatapi sendok kecil yang disodorkan Jaehyun. Terbesit pikiran untuk mengisengi Jaehyun sebagai balasan dia yang datang ke apartemen nggak bilang-bilang. “Suapin kek.”

Giliran Jaehyun yang mematung.

Haha, salting kan lo? Sukurin! sorak Luna dalam hati.

“Udah gede, makan sendiri,” jawab Jaehyun datar, sambil masih menyodorkan sendoknya ke Luna dengan tangan kanan. Tangan kirinya mulai menyendokkan kue dan menyuapkan ke mulutnya sendiri.

“Duh enaaak banget,” kata Jaehyun lagi. “Kamu mau nggak sih sebenernya? Pegel nih tangan.”

“Suapin.”

“Nggak.”

“Suapin ih. Sekali aja, abis itu aku makan sendiri.”

“Nggak.”

“Suapin sekarang sebelum kamu nyesel lihat aku disuapin sama cowok lain.”

Jaehyun memejamkan mata sambil menghela napas berat. Tangan kanannya mulai bergerak menyendokkan cake dan mengarahkan ke mulut Luna. “Buka mulutnya.”

“Dih, galak amat. Yang lembut dong.”

“Naaa, ayolah.”

“Yang lembut, jangan galak-galak.”

Jaehyun berdeham dan berkata, “Buka mulutnya, Sayang,” dengan suara paling lembut yang belum pernah Luna dengar terucap dari mulut Jaehyun sebelumnya.

Luna menahan sensasi menggelitik di perutnya mendengar ucapan Jaehyun barusan. Dia tahu wajahnya kini pasti merah padam tapi Luna nggak peduli, dia senang mendengar kalimat tadi terlontar dari mulut Jaehyun. Perlahan, Luna membuka mulutnya dan menerima suapan Jaehyun.

Segera setelah Luna menutup mulutnya, Jaehyun langsung melepaskan tangannya dari sendok dan membiarkan sendoknya berada di mulut Luna sambil ia tertawa terbahak-bahak.

Luna cemberut. Tangan kirinya mencabut sendok dari mulutnya, tangan kanannya sibuk memukuli paha Jaehyun. “Jahat iiih,” erangnya.

“Naa, sakit. Iya ampun, maaf maaf,” kata Jaehyun kewalahan karena pukulan tangan Luna di pahanya tidak berhenti. “Maaf yaa. Kamu sih lagian, minta disuapin segala.”

Luna masih manyun.

“Cantiknya hilang kalau manyun.”

“Biarin.”

“Aku lagi ulang tahun lho, masa diambekin?”

“Kamu nyebelin.”

Jaehyun paham Luna lagi merajuk. Diambilnya sendok di tangan kiri Luna dengan lembut, menyendokkan kue dan menyuapkannya lagi ke mulut Luna. “Buka lagi mulutnya, Sayang. Ice cream cake-nya enak banget. Makasih yaa.”

Hati Luna luluh lantak rasanya. Dua kali Jaehyun menyebutnya “Sayang” tanpa Luna tahu bagaimana bisa kata itu terlontar ringan dari mulut Jaehyun? Benarkah karena memang Hyunjae sayang padanya? Atau hanya supaya Luna nggak ngambek lagi?

“Hyunjae,” panggil Luna lirih. Disimpannya sendok miliknya di sisi kotak. Sudah tidak bernafsu untuk memakannya.

“Ya?”

What are we?” tanya Luna hati-hati sambil menatap Jaehyun. “Kok kamu barusan kayak yang nggak ada beban gitu nyebut sayang ke aku? Jangan salah paham, aku… seneng kamu nyebut sayang, tapi aku perlu tau maksudnya apa—”

“Nggak ada maksud apa-apa,” sela Jaehyun. “Hanya mengutarakan yang aku rasakan ke kamu.”

Luna terdiam, nggak tahu mesti membalas apa.

“Na, jadian yuk. Let’s make it official tonight.”

“Kamu…”

“Aku serius. Aku nyaman sama kamu. Ayo kita terusin sama-sama saling mengenal dan memantaskan diri untuk satu sama lain.”

Tenggorokan Luna tercekat.

“Kalau kamu setuju jadian, semuanya nggak akan ada yang berubah aku janji. Cuma status aja supaya lebih jelas kamu itu punyaku, aku punya kamu. Kalau kelamaan didiemin nggak ada status aku takut kamunya keburu diambil orang lain.”

“Kamu curang,”

“Curang kenapa?”

“Sengaja banget ya milih jadiannya di tanggal ulang tahun kamu. Biasanya cowok kalau ngajak jadian tuh ya di tanggal ulang tahun ceweknya. Ini malah pas kamunya ulang tahun, gimana sih.”

“Ya udah, jadiannya mau nanti aja pas kamu ulang tahun? Nunggu dua bulan nggak papa?”

Luna menundukkan kepalanya dalam-dalam, nggak mau memandang wajah Jaehyun karena malu, kemudian berujar dengan suara sangat pelan, “Ya udah iya sekarang aja.”

“Hah apa? Nggak denger.”

“Iya sekarang aja,” Luna mengencangkan suaranya, masih dengan kepala tertunduk.

Jaehyun menahan tawa gemas. “Sekarang apanya?”

Akhirnya Luna mengangkat wajahnya yang sudah merah padam nggak karuan, sambil berseru kesal, “Iyaaa sekarang jadiannya.”

Jaehyun bersorak dalam hati. Sungguh bahagia sekali dia rasanya malam ini. Diraihnya wajah Luna dengan dua tangannya sambil mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya di kening mulus Luna. Lama.

“Makasih udah percaya sama aku,” Jaehyun berujar lembut sambil mengelus punggung Luna. “Maaf kalau cara jadiannya sederhana gini. Barangkali kamu udah berangan-angan pengen diajak jadian pas lagi dinner romantis di rooftop sambil lihat pemandangan malam, plus dikasih buket bunga mawar. I’m sorry I’m not that kind of guy.”

“Ih apaan, aku juga bukan tipe cewek yang kayak gitu. Aku nggak butuh diajak dinner romantis. Kamu yang lagi capek habis lembur tapi tetap jemput aku di kantor, ngajak makan malam dan nganterin aku pulang, itu yang menurutku romantis. Inget waktu kita lagi main di Lotte World? Pas masih pagi sih nggak kerasa panas, tapi udah siangan tiba-tiba matahari nyengat banget. Kamu langsung lepasin ball cap yang lagi kamu pake dan kamu pakein itu ke aku. Itu romantis banget tau nggak.”

“Hah itu romantis? Bukannya pas aku pakein topi itu kamu protes, ya? Seingetku kamu bilang nggak mau pake topinya, kegedean.”

“Iya aku protes, tapi kamu saat itu langsung bilang ‘Pake, daripada kamu pusing kepanasan’. Inget ga kamu bilang gitu? Disitu aku paham, itu cara kamu untuk peduli sama aku.”

“Hehe iya aku inget. Maaf ya, nggak manis banget aku waktu itu cara ngomongnya. Aku emang nggak terbiasa bermanis-manis ke cewek, ke pacar sekalipun. Caraku ngomong ke temen sama ke pacar itu sama. Makanya mantan-mantanku banyak yang nggak tahan pacaran lama sama aku. Mereka bilang aku terlalu dingin.”

That’s totally okay for me, Jae. Kamu dingin ya memang begitu karakter kamu. Lagian sebenernya kamu itu bukan dingin yang judes atau nggak ramah gitu, kok. Kamu itu orangnya straight forward, apa adanya nggak banyak basa-basi. Kamu suka ya kamu bilang suka, kamu nggak suka ya kamu akan bilang kamu nggak suka.”

“Iya, aku nggak suka basa-basi buat apa, buang waktu. Bisa bikin salah paham juga. Makasih ya, Na, kamu mau mengerti aku yang kayak gini.”

No problem, Jae. Makasih juga buat semuanya ya, Hyunjae. Ayo kita sama-sama jadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.”

CHAPTER 7.

Berita pacarannya Luna dan Hyunjae baru diketahui teman-teman mereka setelah hubungan resmi mereka berjalan hampir 3 minggu. Sebetulnya baik Luna dan Hyunjae nggak bermaksud menyembunyikan hal ini sama sekali, hanya saja mereka masih ingin menikmati kebahagiaan ini berdua, tanpa diusik orang banyak.

Benar saja kan, Luna dan Hyunjae langsung ditodong banyak pertanyaan dari anak-anak ketika kabar pacarannya mereka mulai tersebar.

Ini semua berawal dari acara makan siang bareng antara geng anak-anak kantor Luna dan kantor Hyunjae. Sebetulnya saat makan siang berlangsung, tidak ada satupun yang mencurigai Luna dan Hyunjae karena memang mereka berdua bersikap normal seperti biasanya. Kecurigaan dimulai karena saat Luna sedang menyetir mobil kembali ke kantor ponselnya dihubungi oleh Hyunjae, dan Nara yang saat itu duduk di samping Luna langsung mengambil ponsel Luna dan menjawab telepon Hyunjae dengan pengeras suara. Hyunjae yang tidak tahu situasi ini di ujung sana, langsung berkata, “Sayang, aku nggak balik ke kantor. Barusan klien ngehubungin perlu ketemu aku di tempatnya.”

Tubuh Luna membeku. Nara menutup mulutnya kaget. Untungnya kala itu di mobil hanya ada mereka berdua jadi setidaknya Luna selamat dari ledekan anak-anak.

“Yang, ada Nara di sini,” jawab Luna lirih. “Aku lagi nyetir, telponnya diangkat pake loudspeaker sama Nara, bukan aku.”

Hyunjae terdiam, kaget juga dia di sana.

“SEJAK KAPAN WOY KALIAN BERDUA SAYANG-SAYANGAN GITU?!” Nara akhirnya menjerit tidak tahan. “GELI GUE SUMPAH!”

“Nara apa sih?! Kaget gue woy!” Luna balas teriak dengan sewot.

Hyunjae yang mendengar keributan disana hanya bisa terkekeh salah tingkah. “Gue tutup teleponnya. Nara, sabar ya jangan marah-marah. Itu Luna mau jelasin.”

“Heh! Kamu main kabur, jelasin juga kek.”

“Kamu aja, Sayang. Bye!”

Dan Hyunjae memutus telepon begitu saja.

“Na, sejak kapan? Tega banget lo nggak cerita ke gue anjir.”

Sorry yaa, nggak bermaksud nyembunyiin. Cuma emang gue dan Hyunjae pengen nikmatin ini berdua dulu. Udah mau 3 minggu, Ra.”

“Tiga minggu? Bener-bener lo, Na. Kesel gue sama lo, kaya nggak anggap gue temen. Besok-besok lo berantem sama Jaehyun nggak usah curhat ke gue.”

“Kok gitu sih ngomongnya. Maafin gue dong.”

“Bahkan tadi kita makan siang bareng aja sama sekali nggak ngeh kalian ternyata udah resmi pacaran. Gengnya Jaehyun tau?”

Luna menggeleng, “Belum.”

“Parah ih kalian.”

“Sebetulnya dari pas lo tiba-tiba aneh bikin panggilan nama sendiri buat dia juga gue udah curiga sih. Niat amat lo sampe pengen beda sendiri gitu manggilnya.”

“Yee, itu sih udah lama banget kali. Gara-gara udah ada dua Jaehyun di kontak gue. Bukan gue sengaja pengen beda manggilnya.”

“Sekarang sih udah jelas beda ya, manggilnya jadi “Sayang”.”

“Udah dong, Ra. Udah ya…please? Maafin gue.”

“Lo galau-galau karena Seokjin larinya ke gue, giliran lo lagi bahagia nggak ada ceritanya ke gue. Sakit hati banget gue, Na.”

“Terus gue mesti gimana biar lo mau maafin?”

“Ya udah, nggak papa. Gue maafin. Jangan gitu lagi ya, janji?”

“Iya, janji. Makasih udah maafin gue.”

I’m happy for you, Na. Beneran gue seneng banget sih sebetulnya denger kabar ini. Semoga lo dan Jaehyun bahagia terus ya, gue nggak pengen liat lo sakit lagi.”

“Makasih, Sayaaang. Lo juga mesti bahagia terus sama Younghoon ya. Kalau kalian kenapa-kenapa gue bakal ikut sakit.”

Detik itu juga Nara langsung membuat pengumuman ini di group chat yang sudah jelas ada Eric disitu, yang selain kaget Eric juga langsung sibuk ngomel-ngomel di grup sebelah yang berisikan geng Hyunjae. Atas berita ini, Nara dan Eric adalah yang paling merasa terkhianati karena tidak diberi tahu.

***

Malamnya, Luna sedang mengistirahatkan tubuh di atas kasur setelah selesai mandi. Lega sekali walaupun hari Jumat, dirinya bisa pulang tepat waktu karena tidak ada laporan penting yang harus diserahkan hari Senin. Jadilah ia jam 7 malam sudah bisa bersantai di apartemennya.

Sayangnya tidak begitu dengan Hyunjae. Kliennya yang tadi siang mendadak menelepon ingin bertemu, ternyata alasannya karena ada beberapa perubahan desain konstruksi yang diinginkan kliennya padahal denah yang dibuat Hyunjae sudah hampir 80% rampung. Akhirnya demi memenuhi permintaan klien, Hyunjae rela merombak habis dari mulai desain awal, termasuk harus bolak balik menemui para vendor material bangunan dan juga menghubungi pihak kontraktor terkait perubahan konstruksi ini.

Meeting terakhir dengan pihak kontraktor akhirnya selesai jam setengah delapan malam. Hyunjae yang terlanjur bete dan kepalang kesal memutuskan untuk tidak ingin sendirian di apartemennya. Dia butuh bertemu Luna untuk sekedar menenangkan suasana hatinya.

Jam setengah sembilan, Hyunjae akhirnya tiba di apartemen Luna dengan muka kusut dan cemberut.

“Udah capek banget, pake segala macet nggak karuan di jalan,” omel Hyunjae sambil duduk di sofa depan TV. Matanya terpejam, kepalanya mengadah ke atas saking lelah.

Luna menghampiri sambil mengocek secangkir teh chamomile hangat di tangannya. “Sabar sayang, namanya juga Jumat malam pasti macet. Yang penting kamu udah disini sekarang, dan besok kan libur. Ini tehnya diminum dulu biar nggak emosi terus.”

“Aku nggak habis pikir sama klienku, bisa-bisanya dia minta ganti setelah rancangan sebelumnya dia confirm oke. Bosku nggak mau nolak, dia bilang masih bisa diusahakan perubahannya. Iya sih bisa diusahakan, tapi kita bawahan nih yang babak belur.”

Luna mengelusi punggung Hyunjae dengan sayang, “Tau nggak, Yang, kenapa bos kamu nggak mau nolak? Karena dia percaya sama kamu dan tim, dia yakin kalian mampu. Jalani aja mau diapain lagi, ya kan? Yang penting ikhlas kamunya ya. Nggak akan terasa berat kalau kamu ikhlas jalaninnya.”

Hyunjae manggut-manggut. Berusaha mencerna yang Luna ucapkan padanya. “Makasih, Yang. Doain aku kuat.”

“Doa buat kamu nggak pernah putus,” sahut Luna. “Ayo diminum dulu tehnya, nanti keburu dingin. Kamu mau nyemil apa? Aku bikinin.”

“Pengen ayam. Chicken wing pedes enak kayanya.”

“Yah maaf, belum beli lagi stok chicken wing.”

“Tadi nawarin bikinin, kamu gimana sih, Yang.”

“Ya kan ayamnya nggak ada, bapaaak. Bukannya nggak mau bikinin. Beli aja ya, mau?”

“Nggak, pengennya bikinan kamu.”

“Hadeh, nyesel nawarin.”

“Hahaha jangan gitu dong ih. Yaudah bikinin apa aja yang ada di kulkas kamu ya? Suprise me. Apapun itu pasti enak.”

“Ya udah, yang sabar tapi ya. Aku mikir dulu mau bikin apa. Kamu mandi dulu gih sambil nunggu.”

“Iya, ini juga mau mandi. Airnya?”

“Kenapa airnya? Itu air banyak di kamar mandi, tinggal pilih mau rendeman bathtub apa di shower. Kenapa sih kaya belum pernah mandi disini aja.”

“Mau rendeman. Biasanya kamu siapin airnya, sekarang kok nggak?”

“Jaehyun astaga! Tangan gue cuma dua woy, disuruh masak disuruh siapin air gimanaaa?”

“Haha galak amat sih. Pacar lagi kecapekan gini diambekin. Sini, peluk dulu.”

“Nggak! Kamu masih kotor. Aku udah bersih udah mandi, nanti aja peluknya kalau kamu udah bersih. Gih sana mandiiii,” Luna menjerit frustasi. Pacar tsundere-nya ini kalau lagi kumat manjanya memang suka bikin pusing. Tapi sebetulnya Luna menikmati juga masa-masa kalau Hyunjae sedang manja, saking langkanya momen ini.

Hampir setengah jam berlalu, akhirnya cemilan buatan Luna selesai berbarengan dengan Hyunjae yang sudah selesai mandi. Semangkuk casserole cauliflower yang baru keluar dari oven dan secangkir teh hangat sudah tersaji rapi di atas meja makan untuk Hyunjae.

Hyunjae yang keluar dari kamar Luna dengan rambut basah habis keramas, mengenakan setelan rumah kebangsaannya, t-shirt dan celana pendek merah. “Wangi banget, aku dibikinin apa jadinya?”

“Itu, casserole. Udah di meja makan.”

“Kok cuma satu? Ayo makan berdua, Yang. Temenin aku.”

“Aku kenyang, udah makan tadi. Kamu aja, habisin ya.”

Luna sedang duduk di sofa sambil memindah-mindah channel TV saat Hyunjae mendekatinya dari belakang. Menghadiahi ciuman dua kecup di kepala Luna. “Makasih udah dimasakin,” bisik Hyunjae.

“Sama-sama, selamat makan.”

***

Keesokan harinya, Luna terbangun oleh dering suara ponselnya. Ada panggilan masuk tapi Luna masih terlalu mengantuk untuk menjawabnya. Dengan mata terpejam dan menarik selimut sampai dagu, Luna berusaha mengabaikan dering ponselnya yang mengganggu.

Sang penelepon sepertinya tidak menyerah untuk menghubungi Luna sampai akhirnya Luna geram sendiri dan mengambil ponselnya geram. Dia tidak kenal nomor siapa yang meneleponnya.”

“Halo?” sapa Luna.

“Luna? Haiii, maaf ganggu pagi-pagi. Masih tidur ya?” sahut suara di seberang sana.

Wait… ini Frei? Freiya bukan?”

“Iyaaa! Nomer baru gue ini, save ya.”

“Astaga gue kira siapa pagi-pagi gini, udah mau ngomel aja tadinya hahaha. Kemana aja lo sombong banget. Curiga gue, tiba-tiba nelepon gini biasanya ada maunya.”

Ternyata penelepon adalah Freiya, sepupunya Luna. Anak kakaknya ayah Luna yang seumuran persis dengan Luna. Bedanya, Freiya sudah menikah dari usia 24 tahun dan sekarang sudah dikaruniai dua anak. Dulu sebelum Freiya menikah, dia dan Luna dekat sekali karena Freiya kuliah di Tokyo dan sering nebeng liburan di Seoul sambil menemani Luna.

Setelah menikah, keduanya sudah jarang sekali berkomunikasi apalagi bertemu karena kesibukan masing-masing. Freiya masih tinggal di Tokyo karena ia menikahi orang Jepang.

“Gue mau ke Jeju, Na. Ikut yuk!” aja Freiya tiba-tiba. “Sekalian temu kangen.”

“Lah kapan? Lo dimana sekarang?”

“Masih di Tokyo, nanti siangan jam 2 gue flight ke Seoul bareng suami sama anak-anak. Ketemuan dong ya.. please?”

“Lama nggak di Seoul?”

“Nggak lama, dua hari doang. Senin gue berangkat ke Jeju. Ayolah ikut yuk.”

“Yah nggak bisa lah gue, kan kerja. Nggak bisa cuti dadakan. Lo sih enak ngurus anak di rumah nggak mesti mikirin cuti, mau liburan tinggal cus.”

“Hehehe iya nih, laki gue masih tetep nggak bolehin gue kerja. Sia-sia deh ijazah gue. Bener lo nggak mau ikut? Sebenernya ini dalam rangka gathering kantornya suami, tapi gue agak-agak males mesti basa-basi sama Japanese.”

“Lo gimana sih, kawin sama Japanese ya resiko lah mesti ngadepin relasi laki lo.”

“Kawin beda kultur ribet juga ternyata loh, Na. Lo kalau bisa dapetin orang Indo lagi aja deh biar nggak pusing adaptasi.”

Deg.

Dada Luna serasa dihantam palu godam.

“Na? Kok diem?”

“Nggak papa hahaha. Kaget gue lo tiba-tiba ngomong gitu. Cowok gue Korean tulen soalnya.”

“Kyaaa sejak kapan? Eh ini bukan Seokjin kan?”

“Bukanlah. Seokjin udah kemana kali. Cowok baru, masih anget belum lama ini jadinya hehe. Ya udah ketemuan yuk, besok aja kalau hari ini lo capek.”

“Syukurlah, gue lega lo akhirnya mau membuka hati untuk yang baru. Yuk, nanti ketemuan ya. Eh Na, apa lo jemput gue gitu di Gimpo bisa nggak? Dari bandara kita langsung makan malam bareng aja. Nanti gue bilang ke Kei.”

“Boleh-boleh, gue juga bilang dulu ke cowok gue. Biar sekalian dikenalin ke lo ya haha. Kangen juga gue sama ponakan gue, apalagi sama si kecil belum pernah ketemu.”

“Lagi lucu-lucunya, Na. Sabar yaa, nanti sorean kita ketemu. Berkabar ya, Na. Gue jam 5an nyampe Gimpo, semoga nggak ada acara *delay flight-*nya.”

“Oke, can’t wait! See you, Sis.

Rasa kantuk Luna mendadak hilang. Sekarang masih jam 8 pagi, masih banyak waktu sebelum menjemput Freiya. Ah, kebetulan sekali Hyunjae menginap di apartemen hari ini. Dia bisa meminta Hyunjae menemaninya ke airport sekaligus mengenalkan pada Freiya. Dan lagi, Luna nggak sabar ingin ketemu Freiya dan anak-anaknya. Kangen sekali.

Setelah membereskan ranjangnya, Luna beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Tadinya mau sekalian mandi tapi akhirnya diurungkan niatnya. Luna memilih untuk mengecek keadaan Hyunjae dulu yang tidur di sofa ruang TV.

Luna keluar kamar dan menutup pintunya pelan-pelan. Dihampirinya Hyunjae yang masih terlelap di sofanya, dengan tubuh terbalut selimut. Setelah menaikkan suhu AC ruang TV karena dirasa terlalu dingin baginya, Luna menghampiri Hyunjae lalu duduk bersila di karpet dengan menghadap Hyunjae.

Jarinya bergerak menyisiri helai rambut Hyunjae dengan lembut, tidak ingin membangunkannya. Dielusnya kening Hyunjae sebentar, sebelum jarinya turun dan menyentuh ujung hidung Hyunjae.

Gemes, hidungnya dia sempurna banget sih.

Hyunjae tiba-tiba mengerang, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya matanya terbuka perlahan.

“Eh maaf, jadi bangun deh kamunya,” kata Luna sembari mengeluskan jarinya lagi di rambut Hyunjae. “Masih ngantuk, Yang? Tidur lagi kalau masih ngantuk.”

Hyunjae tidak menjawab. Matanya yang sayu karena baru bangun tidur menatap mata Luna lekat-lekat. Dengan sekali gerakan, tangannya meraih dagu Luna dan menariknya supaya mendekati wajahnya.

Morning kiss dulu,” sahutnya kalem.

Tubuh Luna menegang. Dia nggak siap.

Masih sambil satu tangan memegang dagu Luna, Hyunjae setengah bangun dari posisi tidurnya dan berusaha mendekatkan wajahnya ke wajah Luna.

Bibirnya mengecup pipi kanan Luna, lama.

Mata Luna otomatis terpejam. Tubuhnya tegang bukan main,.

“Good morning,” kata Hyunjae lagi. Setelah melepaskan bibirnya dari pipi Luna, Hyunjae kembali merebahkan dirinya di sofa.

Morning,” jawab Luna masih sambil mengatur jantungnya yang berdegup kelewat kencang akibat perlakuan Hyunjae barusan. “Mau sarapan apa? Aku siapin buah dulu mau? Minumnya teh apa susu anget?”

“Yang, kamu lagi latihan jadi istri ya?”

Wajah Luna memerah. “Nggak. Ada tamu ya ditawarin makan minum dong masa dicuekin.”

“Oh, jadi aku cuma tamu.”

“Hehe, bercanda,” kata Luna. Tangannya mencubit ujung hidung Hyunjae dan menariknya gemas. Yang punya hidung langsung memekik kesakitan.

“Yang, tadi Freiya sepupuku telpon. Dia kan tinggal di Tokyo, nanti siang mau ke Seoul flight jam dua. Mau nemenin jemput ke bandara nggak? Habis dari bandara, mau dinner sekalian ngobrol-ngobrol, aku udah lama nggak ketemu dia. Sekalian mau ngenalin kamu ke dia.”

“Nanti kalian ngobrol, aku ngapain?”

“Dia sama suami dan anak-anaknya kok. Suaminya orang Jepang, kamu bisa ngobrol sama dia. Kamu kan bisa bahasa Jepang dikit-dikit.”

“Ya udah aku temenin. Mau jam berapa kita jalan ke bandara?”

“Setengah empat dari sini cukup kali ya?”

“Boleh.”

Senyum mengembang di wajah Luna, senang karena Hyunjae mau menemaninya bertemu Freiya. “Makasih ya.”

Setelah mengelus sebelah pipi Hyunjae sekilas, Luna bangkit dari duduknya di karpet dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dalam hati Luna memikirkan juga kata-kata Hyunjae tadi soal latihan jadi istri. Tapi kemudian buru-buru dihilangkannya soal itu dari pikirannya. Dirinya belum ada kesiapan sama sekali.

Selagi Luna sibuk menyiapkan sarapan, Hyunjae akhirnya memutuskan untuk sepenuhnya bangun dari rebahannya karena aroma wangi masakan Luna mulai merasuk hidungnya. Setelah selesai merapikan selimut dan bantal-bantal sofa, Hyunjae mendekati Luna yang lagi membolak-balik daging bacon di atas pan.

“Masih lama nggak, Yang?” tanya Hyunjae sambil mengintip ke arah kompor dari balik bahu Luna. “Hmm wangi banget baconnya. Laper.”

“Masih, kentangnya juga masih dikukus tuh,” jawab Luna sambil mengangkat tutup panci tempat mengukus kentang. “Makan buah dulu gih, udah dipotongin ada di kulkas. Tupperware biru rak tengah.”

Hyunjae mendekati kulkas, membuka pintunya dan celingukan mencari wadah buah yang Luna maksud. Setelah ketemu, ditariknya keluar wadah itu dan dibawanya ke meja makan. Nggak perlu waktu lama bagi Hyunjae untuk menyantap potongan anggur black autumn tanpa biji, stroberi, kiwi dan jeruk yang sudah tersusun rapi di dalam wadah.

Daging bacon Luna sudah matang, kini tinggal menyiapkan sayuran mentah yang sudah dicuci bersih semalam. Sambil menunggu kentangnya matang untuk dibuat cheesy mashed potato, Luna menghampiri Hyunjae yang masih asyik mengunyah cemilan buahnya dan duduk di kursi samping Hyunjae.

“Tadi malam nggak lama sebelum kamu dateng, aku sama mama video call,” Luna mulai bercerita sembari mencomot sepotong anggur. “Sama ayah juga.”

“Oh ya? Sehat-sehat kan mama ayah?”

“Sehat. Pengen ketemu kamu katanya. Aneh, sama aku aja udah lama nggak ketemu tapi yang ditanyain malah kamu.”

“Kita samperin ke Singapore yuk? Aku juga pengen ketemu mama ayah, nggak enak anak cantiknya udah hampir sebulan dipacarin padahal aku belum izin.”

Bibir Luna yang kini lagi mengunyah potongan stroberi, mengulum senyum. “Tenang, kamu udah dapet restu kok. Mama kaya yang seneng dan sreg banget begitu aku lihatin foto kamu dan aku ceritain tentang kamu. Ayah juga.”

Gantian Hyunjae yang mengulum senyum sambil memandangi wajah cantik pacarnya. “Aku nggak bercanda ngomong-ngomong, ayo kita rencanain ke Singapore berdua. Soon.”

“Yang, aku belum cerita ke kamu lagian ini masih belum fix jadi juga sih. Tapi kemarin si Juyo nyebar gosip katanya timnya Yeonjun lagi ngajuin gathering kantor ke Singapore akhir tahun nanti. Kan tahun kemarin ke Bangkok, yang sekarang pengen Singapore katanya. Sekalian aja kali ya?”

Hyunjae terlihat tidak begitu senang mendengarnya, “Masih lama dong. Lagian bukan berdua namanya kalau bareng kantor kamu. Kita duluan aja yuk kesana, aku pengennya berdua dan quality time sama keluarga kamu di sana. Kalau dibarengin sama gathering kantor, nanti konsen kamu kepecah antara harus ngikut jadwal gathering atau family time sama mama ayah.”

“Iya deh nanti aku pikirin lagi.”

“Jangan kelamaan mikirnya, cepet tentuin mau kapan kesana. Kita kan harus urus cuti nggak bisa dadakan.”

“Iyaaa oke. Ngomong-ngomong kamu juga udah lama tuh nggak nemuin orangtua. Kamu lebih parah, tinggal sekota juga, wleee. Aku sih jelas tinggal beda negara, wajar jarang ketemu.”

“Mama papa lagi sibuk juga ngurusin rencana nikahnya nuna. Kalau kesana aku dianggurin, fokusnya ke nuna terus. Tapi besok aku ada rencana mau kesana sih mampir bentar. Ikut yuk? Kalau aku bawa kamu, aku nggak akan dianggurin sama mama papa. Eh atau malam ini aja ya? Kita nginep di rumah mama, besok sore pulang.”

Tubuh Luna menegang mendengar ajakan Hyunjae. Tenggorokannya mendadak kering. Luna sejujurnya masih trauma dengan pengalaman tidak mengenakkan yang dialaminya saat pertama kali bertemu dengan ibunya Seokjin dulu. Raut wajah dingin dan perlakuan tidak ramah yang selalu diterima Luna setiap bertemu ibunya Seokjin membuat Luna kini takut akan bertemu dengan orang tua Hyunjae.

“Yang…,” panggil Luna pelan. “Kalau aku bilang aku belum siap, kamu marah nggak?”

“Nggak siapnya kenapa?”

“Takut…”

“Takut apa? Takut nggak diterima karena kamu non Korean?”

Luna skakmat. Bagaimana Hyunjae bisa tahu, dia nggak pernah cerita apapun pada Hyunjae soal masa lalunya dengan Seokjin.

“Mereka udah tau kamu non Korean, nggak ada darah Korea sama sekali dan mereka nggak mempersalahkan itu. Kamu nggak usah takut.”

Luna mengangguk ragu-ragu, “Yakin kamu? Aku takut…”

“Aku udah bicara ke orangtuaku tentang kamu dari semenjak kita ketemu pertama kali di rooftop beli eskrim bareng. Percaya sama aku, Yang, kamu akan baik-baik aja setelah ketemu orangtuaku. Mau ya?”

Luna sungguh nggak tega menolak permintaan mendadak ini dari Hyunjae. Diam-diam dirinya agak menyesal telah membuka pembicaraan soal orangtua ini—Antusiasme Hyunjae sungguh di luar dugaan Luna. Pada akhirnya Luna berpikir, saling bertemu dengan orangtua masing-masing secepatnya mungkin bukan sesuatu yang salah. Umur hubungannya dengan Hyunjae masih cukup dini dan mungkin tidak akan mengakibatkan rasa sakit mendalam seperti saat dengan Seokjin dulu, jika saja rencana bertemu orangtua ini tidak berhasil baik.

Luna akhirnya mengiyakan ajakan Hyunjae dengan senyuman lebar di wajahnya. “Ayo, aku mau ketemu orangtua kamu, Yang. Nanti beres ketemuan Freiya, malamnya kita ke Songdo ya. Jangan lupa dikabarin dulu mamanya kalau kita mau kesana malam ini.”

Senyuman di wajah Hyunjae nggak kalah lebar, dia lega sekali Luna setuju untuk menemaninya pulang ke rumah orangtuanya malam ini. “Makasih ya, aku seneng.”

Luna berdiri lalu mendekati Hyunjae yang masih terduduk di sampingnya dan mendekap kepala Hyunjae sambil mengusapinya lembut. Hyunjae membalas dekapan Luna dengan melingkarkan tangan di pinggang ramping Luna, dia membenamkan wajahnya dalam-dalam ke perut Luna.

“Perut kamu rata banget,” Hyunjae berkomentar setelah Luna melepaskan dekapannya.

“Ya rata dong, kan nggak ada isinya baru buah doang.”

“Nanti ada saatnya perut kamu ada isi adek bayi,” kata Hyunjae sambil menutup wadah buah yang isinya sudah kosong. “Buatan aku.”

Luna yang sedang meneguk air putih dari gelas langsung tersedak dan terbatuk, sementara Hyunjae dengan lempengnya berjalan ke arah dapur menuju bak cuci piring dan mulai mencuci wadah buah serta gelas kotor bekasnya. Luna yang kesal menghampiri Hyunjae di dapur dan mencubit keras pinggangnya.

“Aduh! Sakit astaga, kenapa sih?” Hyunjae mengaduh sambil refleks berbalik menghadap Luna.

“Kamu sadar nggak barusan ngomong apa?” tanya Luna kesal.

“Soal adek bayi? Emang apanya yang salah? Lah bener kan suatu saat kamu bakal hamil, emangnya nggak pengen hamil?”

Luna memandangi Hyunjae sambil menggelengkan kepalanya. Tidak percaya pacarnya bisa sedatar itu seolah tidak ada apa-apa setelah membuat Luna tersedak karena omongannya. Hyunjae yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Luna akhirnya memutuskan untuk meninggalkan dapur menuju kamar Luna.

“Aku mau main game dulu ya, panggil aku kalau sarapannya udah jadi, Yang.”

Hyunjae ih bener-bener… udah bikin gue malu sendiri gara-gara omongan dia soal hamil, tapi dianya lempeng aja gitu malah mau main game. Luna mengomel ke dirinya sendiri sambil memeriksa kentangnya yang ternyata sudah matang. Sambil masih merasakan wajahnya yang panas karena malu, Luna memutuskan melupakan omongan Hyunjae tadi dan melanjutkan masaknya.

***

Sore hari akhirnya tiba.

Luna sudah lebih dulu siap. Dia mengenakan dress warna putih motif bunga-bunga kecil sedikit di atas lutut, dengan bagian bahu terbuka yang memperlihatkan tulang selangkanya. Rambutnya panjangnya yang tak berponi dibiarkan tergerai cantik, dengan dihiasi jepitan rambut hitam simpel di sisi kanan, menyisakan beberapa helai rambut terjuntai menutupi telinganya. Tak lupa dia menyiapkan cardigan berwarna senada dengan dress-nya, untuk dipakai ketika bertemu orangtua Hyunjae nanti.

Handbag berukuran sedang berisi baju dan segala perlengkapan menginapnya pun sudah disiapkan di atas sofa, bersebelahan dengan ransel hitam milik Hyunjae.

Luna sedang mengetikkan pesan di KakaoTalk-nya untuk Freiya, mengabarinya kalau dia dan Hyunjae sebentar lagi akan menuju bandara, ketika Hyunjae yang baru selesai bersiap keluar dari kamar Luna dan menutup pintunya. Luna menutup ponsel flip-nya dan menghampiri Hyunjae.

“Itu kasian banget kancing baju kamu jobless. Ada tapi nggak dipergunakan dengan semestinya,”

Hyunjae balik menatap Luna, bingung. “Ngomong apa sih, Yang?”

“Kamu nggak ada baju lain?”

“Emang kenapa bajuku yang ini? Jelek?”

Luna mendengus. Dia mendekatkan tubuhnya ke tubuh Hyunjae, tangannya menggapai kerah baju Hyunjae dengan dua kancing terbuka di bawahnya.

Sore itu Hyunjae memang terlihat ganteng—kelewat ganteng kalau menurut Luna—dengan atasan model kemeja informal dan bagian lengan digulung sampai siku, warna putih pula senada dengan dress Luna walaupun mereka nggak janjian pakai baju putih-putih. Bawahannya, Hyunjae mengenakan celana jeans biru gelap dengan belt hitam melingkar di pinggangnya. Baik kemeja dan celana jeans Hyunjae terlihat begitu pas—tidak kebesaran dan tidak kesempitan—sehingga badan atletis Hyunjae tercetak dengan jelas.

“Kancing satu ya? Jangan dua-duanya gini nggak dikancing,” tanya Luna. tangannya bergerak hendak mengancingkan kemeja Hyunjae.

No, jangan. Emang harus gini makenya, kalau dikancing jadi nggak bagus.” Tangan Hyunjae menghentikan gerakan tangan Luna tiba-tiba.

“Kamu ganti baju deh. Pake sweater kek apa kek gitu hoodie,” kata Luna sambil berbalik memunggungi Hyunjae, mengambil handbag dan kardigannya dan berjalan menuju rak sepatu. “Kamu terlalu ganteng pakai baju itu. Nanti digenitin cewek-cewek.”

Luna berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Dia sudah dua kali merasa terganggu saat sedang jalan dengan Hyunjae dan berpapasan dengan segerombol cewek-cewek kuliahan yang menatapi Hyunjae dengan ganas. Bahkan sekali waktu pernah ada yang berani berkata “Oppa ganteng sekali!” ke arah Hyunjae tanpa peduli ada Luna di sampingnya yang sedang menggandeng tangan Hyunjae.

Hyunjae berdecak mendengar penuturan Luna, “Biarin aja mereka yang genit, yang penting bukan aku yang genit.” Setelah mengambil ransel hitam dan menyampirkan di bahu kirinya, Hyunjae menyusul Luna mendekati rak sepatu dan mengambil sepasang sepatu kets Nike miliknya. “Nggak usah cemburu gitu.”

Luna akhirnya mengalah. Jam sudah menunjukkan hampir setengah 4 sore dan dia tidak ingin terlambat sampai di bandara. “Iya iya. Aku tau ini resiko punya pacar ganteng.”

Hyunjae terkekeh sambil mengacak pelan pucuk rambut Luna. “Ganteng apa sih, biasa aja kok. Yuk, pergi sekarang.”

Setelah memastikan pintu apartemen terkunci dengan benar, Luna dan Hyunjae berjalan berdampingan di lorong menuju lift. Jari-jari mereka saling bertautan erat.

***

“Frei, Freiyaaa!” Luna berseru menyebut nama sepupunya saat melihatnya dari kejauhan. Freiya dengan satu tangan mendorong stroller bayi, satu tangannya lagi menggandeng anak pertamanya yang masih toddler, berjalan berdampingan dengan suaminya yang juga sibuk mendorong troli berisi dua koper besar dan satu handbag milik mereka.

Luna melambaikan tangannya dan berjalan mendekati pintu kedatangan ketika sadar bahwa Freiya tidak mendengar seruannya tadi. Setelah jaraknya dengan Freiya semakin dekat, barulah Freiya menyadari kehadiran Luna.

“Naaa, astaga! Soriii nunggu lama ya?”

“Ih, gue panggil-panggil dari tadi, lo nggak denger juga? Apa kabar sayang? Kangeeen,” Luna langsung memeluk Freiya erat. “Hai, Kei. Sehat? Udah lama nggak ketemu.” Dari Freiya, Luna beralih menyapa Tanaka Kei, suami Freiya. Kei memeluk Luna sambil mengatakan kabarnya baik-baik saja.

“Anakkuuu, udah gede banget. Inget auntie nggak, Sayang? Lupa ya kayanya.” Luna berjongkok hingga tingginya sejajar dengan anak pertama Freiya yang bernama Kannika, yang kini berusia tiga tahun. Kannika tersenyum sambil menggeleng dan melepas pegangan tangan Freiya. Lalu tiba-tiba Kannika menyandarkan tubuhnya di tangan Luna—otomatis, Luna langsung menggendongnya.

“Frei, kenalin ini Jaehyun—Lee Jaehyun lengkapnya—pacar gue.” Dengan Kannika dalam gendongan, Luna mengenalkan Hyunjae pada Freiya. “Yang, ini Freiya sepupuku, sama ini Kei suaminya.”

Setelah Hyunjae saling berjabat tangan dan kenalan dengan Freiya dan Kei, mereka berempat berjalan menuju parkiran tempat Hyunjae memarkir mobilnya. Dengan Hyunjae membantu membawakan troli berisi koper, Kei bisa mengambil alih stroller dari tangan Freiya.

“Anak lo udah dua aja, Frei. Gimana rasanya?” tanya Luna sambil memandangi Kanaya, anak kedua Freiya yang masih berusia satu tahun tertidur di stroller.

“Repooot. Ini si Kana kan nggak sengaja dapetnya. Kebobolan. Padahal gue berencana anak kedua kalau Kannika udah di atas 5 tahun. Lo gimana, kapan nikah? Jae, kapan mau nikahin Luna?”

Luna kaget mendengar ocehan Freiya. Bisa-bisa sepupu slengeannya ini bertanya hal sensitif seperti itu dengan santai. “Heh apaan sih lo, pacaran aja baru—”

“Doain aja bisa secepetnya ya, Frei.” Omelan Luna disela kalem oleh Hyunjae. Luna yang masih menggendong Kannika, blushing.

“Jangan lama-lama, Jae. Kalian seumuran, kan? Lo-nya sih nggak masalah Jae, tapi Luna kasian kalau ketuaan pas lahiran nanti.”

“Iya, siap. Semoga Luna-nya mau gue nikahin.”

Luna tidak ingin terlibat pembicaraan ini lebih jauh lagi. Dia buru-buru mengajak Kannika bercanda dengan menggelitiki perutnya, yang disambut dengan gelak tawa Kannika yang kegelian. Percobaan pengalihan pembicaraan ini berhasil karena kini semuanya fokus memperhatikan Kannika sambil tertawa gemas.

Di mobil, Hyunjae menyetir dengan Kei duduk di sebelahnya. Mereka berdua terlihat sudah mulai nyaman saling berbicara satu sama lain. Sesekali dalam bahasa Jepang yang juga diselingi dengan bahasa Inggris. Di kursi tengah, Luna masih memangku Kannika dan Freiya menimang Kanaya yang masih juga tertidur lelap. Untung saja mobil SUV Hyunjae cukup besar dan lega untuk menampung semua barang bawaan Freiya dan Kei.

Rencana mereka untuk makan malam di salah satu restauran di mall mendadak buyar karena Kana tiba-tiba terbangun dan menangis rewel. Diubah dalam posisi apapun tangisnya nggak mereda malah semakin kencang. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat Freiya dan Kei menginap, dan makan malam di restauran hotel saja.

Begitu tiba di hotel, Kei langsung menuju resepsionis untuk check in diikuti Freiya dan Kana. Ternyata Kana menangis karena setelah dicek, popoknya sudah penuh dengan poop dan dia merasa tidak nyaman. Jadi Freiya harus segera ke kamar dan membersihkan Kana dulu. Sementara itu, Hyunjae dan Luna menunggu di restauran dengan Kannika yang masih anteng dalam gendongan Luna.

“Hasil gen Jepang-Indonesia ternyata bagus juga ya. Kannika Kanaya lucu-lucu banget.” Hyunjae berkomentar sambil memperhatikan Kannika yang sedang tertawa. “Aku penasaran hasil gen Korea-Indonesia dengan sedikit turunan Italia jadinya bakal gimana ya?”

“Heh!”

“Kok heh sih? Ya kan aku lagi ngebayangin—”

“Nggak usah dibayangin dari sekarang.”

“Hahaha lucu kamu tuh.”

“Nggak ada yang lucu, Yang.”

“Kamu lucu, jadi galak banget kalau salting.”

Sebelum Luna sempat membalas ledekan Hyunjae, tiba-tiba Kannika mencondongkan tubuhnya ke arah Hyunjae dan mengangkat tangannya minta digendong. Luna cukup kaget ketika Hyunjae mendekatinya dan mengambil Kannika pelan-pelan dari gendongannya. Setelah Kannika berpindah dalam gendongannya, Hyunjae langsung sibuk berceloteh riang ke Kannika dalam bahasa Jepang yang Luna nggak mengerti.

Diam-diam Luna memperhatikan Hyunjae yang sedang bermain-main bersama Kannika. Ada perasaan hangat yang mendadak menyentuh hatinya melihat pemandangan di hadapannya itu. Hyunjae telaten sekali dengan anak kecil, ketika Kannika haus dan menunjuk botol susunya, Hyunjae langsung memegangi botolnya sementara Kannika meminum susunya. Nggak lupa sebelumnya Hyunjae merogoh ransel kecil Kannika, mencari sesuatu yang ternyata slabber dan memasangkan di dada Kannika supaya tetesan susu dari botol tidak mengotori bajunya.

Selesai minum susu, Kannika meminta diturunkan dari gendongan dan mulai berlarian kesana kemari. Hyunjae dengan sabar mengikuti langkah kaki Kannika, memastikan anak kecil itu aman tidak terjatuh karena larinya yang kencang. Luna juga menyadari Hyunjae yang selalu merunduk atau berjongkok setiap Kannika berbicara, demi mensejajarkan kepalanya dengan kepala Kannika. Setelah puas dan lelah berlarian ke tiap sudut restauran, Kannika akhirnya minta digendong lagi ke Hyunjae.

Dari jauh, Luna bisa melihat bulir keringat di pelipis Hyunjae karena mengikuti Kannika yang berlarian. Ketika akhirnya Hyunjae sudah berada di sisinya lagi, Luna langsung merogoh tasnya dan mengambil tisu dari pouch kecil andalannya. Dilapnya bulir keringat di pelipis Hyunjae.

“Capek ya? Baru berapa menit doang padahal loh ini,” kata Luna.

Hyunjae mengiyakan, “Capek tapi aku seneng sih. Anak ini aktif banget, walaupun lari-larian tapi dia nurut kalau aku bilang nggak boleh ngoprek ini itu.”

Luna dan Hyunjae duduk berhadapan dengan posisi Kannika masih di pangkuan Hyunjae dan bersandar di dadanya. Luna mengambil tisu lagi dan melap keringat di dahi Kannika juga. “Haus nggak, Nak? Mau susu lagi?”

Kannika menggeleng, dia memutar tubuhnya menatap Hyunjae. Lalu tangannya menunjuk ke arah balkon restauran. Minta diajak kesana.

Luna yang nggak tega kalau Hyunjae harus berdiri lagi membawa Kannika ke balkon, mencoba membujuk Kannika, “Disini aja ya, Sayang? Di luar dingin, nanti masuk angin.”

Kannika merengut.

Hyunjae langsung bangkit lagi dari duduknya sambil mengeratkan tangannya yang menggendong Kannika. “Nggak papa, Yang. Aku kesana bentar ya? Kamu tunggu sini.”

Lima menit setelah Hyunjae membawa Kannika ke balkon, Freiya dan Kei menghampiri Luna di meja dengan Kanaya yang sudah terlelap lagi di stroller.

“Maaf lama ya, Na. Tadi abis bersihin Kana dia minta nyusu. Baru sebentar nyusu eh dimuntahin nggak tau kenapa, udahnya minta nyusu lagi. Beres nyusu gue tinggal di stroller tau-tau tidur lagi. Eh ya ampun, anak gue satu laginya kemana ya?”

“Hehe gapapa, Frei. Kasian Kana kecapean kayanya habis perjalanan jauh. Itu Kannika lagi digendong Hyunjae di balkon.”

Kei memanggil pelayan minta dibawakan menu restauran. Setelah semua pesanan tercatat, obrolan dilanjutkan.

“Na, gue sreg sama Hyunjae. Gue saranin lo jaga baik-baik ya hubungan lo sama Hyunjae, paket komplit sih gue liat. Kalau dia ngajak nikah, lo jangan sok jual mahal, langsung iyain aja.”

“Yelah, pacaran juga baru mau sebulanan, Frei. Belum ada kepikiran nikah gue. Masih takut.”

“Ya tujuan akhir lo pacaran apa sih kalau bukan untuk nikah, ya nggak? Inget umur heh. Lagian takut apa?”

“Takut nggak jadi lagi. Makanya sekarang gue nggak mau dulu bahas-bahas nikah deh, nanti aja sambil jalan. Ini gue mikirin mau ketemu orangtua Hyunjae aja mules banget rasanya, takut ditolak lagi.”

“Gue kasih tau ya, Kannika itu anaknya sensitif kaya gue. Nggak bisa sembarangan deket sama orang asing. Ini gue kaget banget liat anak gue nempel banget sama Hyunja—eh, Jaehyun? Siapa sih namanya?”

Luna terkekeh, “Jaehyun. Gue aja iseng manggil dia Hyunjae.”

“Ya, Jaehyun. Ini langka banget dia mau senempel itu sama orang baru. Berarti Kannika nyaman sama Jaehyun, Na. Udah nilai plus banget itu cowok lo bisa ditempelin sama anak kecil. Jadi, lo mesti kuat ya apapun itu cobaan dalam hubungan kalian, harus sama-sama mau berjuang. Jaehyun cowok baik, Na. Jangan disia-siain.”

“Frei, selama lo tau kisah cinta gue, kapan gue pernah sia-siain mantan-mantan gue? Yang ada juga gue selalu jadi pihak yang dicampakkan, ya kan?”

“Tapi lihat sekarang, Tuhan ngegantinya dengan cowok baik kaya Jaehyun. Lo jangan jadiin masa lalu lo trauma ya. Jangan banyak takutnya, lo nggak sendirian di hubungan ini. Lo berdua Jaehyun yang menjalani. Kasian Jaehyun kalau lo banyak takut dan ragu, takutnya dia bingung gimana mau melangkah maju kalau lo-nya meragu terus.”

Obrolan mereka berlanjut sampai akhirnya Hyunjae masuk kembali dari balkon dengan Kannika yang sudah terlelap tidur di pangkuannya. Dengan hati-hati Hyunjae menyerahkan Kannika kembali ke Freiya, yang masih tetap takjub melihat anaknya yang terkenal susah dekat ke orang baru bisa senempel ini dengan Hyunjae. Dari mulai lari-larian sampai ketiduran.

Nggak berapa lama dari situ, makanan mulai tersaji dan mereka berempat yang sudah kelaparan langsung menikmati makanannya. Masih sambil diselingi obrolan dan candaan, kali ini lebih leluasa karena kedua anak Freiya sudah tertidur pulas.

Ketika akhirnya makan malam selesai, Freiya dan Kei pamit untuk beristirahat di kamar. Perjalanan udara selama hampir 3 jam dari Tokyo ke Seoul terasa dua kali lipat lebih melelahkan ketika bepergian dengan satu bayi dan satu balita.

Sudah hampir jam setengah sembilan malam ketika mobil Hyunjae berhenti di perempatan lampu merah, sekitar tujuh kilometer lagi mereka akan sampai di rumah orangtua Hyunjae.

“Capek sayang?” tanya Luna saat Hyunjae meregangkan otot tangan dengan menariknya ke atas. “Pegel ya berjam-jam gendongin Kannika?”

Hyunjae mengangguk pelan, kepalanya bersandar pada headrest kursi dengan mata terpejam.

“Sayang, hei jangan merem. Sepuluh detik lagi hijau lampunya,” kata Luna sambil menepuk pelan pipi Hyunjae. Hyunjae refleks membuka matanya lagi tepat saat lampu berganti dari kuning ke hijau. Mobilnya melaju lagi meninggalkan perempatan.

Lima belas menit kemudian, mobil Hyunjae memasuki kawasan kompleks perumahan pribadi di daerah Songdo, rumah orangtuanya. Dalam hati Luna mendecak kagum, tadinya dia pikir orangtua Hyunjae tinggal di apartemen juga mengingat ini hal yang lumrah sekali di sini, tapi ternyata dugaan Luna salah. Kompleks perumahan ini tidak begitu besar tapi Luna tahu hunian ini termasuk hunian cukup elit dan terpandang melihat dari jajaran rumah-rumah besar di pinggir-pinggir jalan utamanya.

Satu belokan terakhir, dan mobil Hyunjae berhenti di depan sebuah rumah dua lantai berpagar cokelat.

“Sampai akhirnya. Yuk, turun.”

Luna mengatur napasnya yang sedari tadi menderu nggak karuan karena tegang. Setelah dirasa siap, Luna turun dari mobil sambil menyambut gandengan tangan Hyunjae. Berdampingan, mereka berjalan memasuki halaman depan.

***

Alarm ponsel Luna berbunyi.

Sambil membuka matanya perlahan, Luna meraih ponselnya, mematikan alarm dan melihat jam. Masih jam setengah enam pagi. Kalau ini di rumahnya sendiri, sudah pasti Luna akan melanjutkan tidurnya dan bangun agak siangan mengingat ini hari Minggu. Tapi karena dia sedang berada di rumah orang tua Hyunjae, tidak mungkin Luna kembali tidur dan bangun siang. Tidak sopan rasanya.

Luna mengerjapkan matanya sambil menatapi langit-langit kamar yang masih terasa asing baginya tapi sudah mulai familiar karena kamar ini sudah ia tempati selama beberapa jam. Senyum kecil terbentuk di bibirnya mengingat kejadian semalam ketika orang tua Hyunjae menyambutnya dengan sangat ramah—terlebih mamanya Hyunjae yang terlihat begitu antusias dan senang dengan kedatangan Luna. Kakak perempuan Hyunjae dan calon suaminya pun memperlakukan Luna dengan ramah, bahkan Luna masih tidak percaya dengan perkataan kakaknya Hyunjae semalam, “Akhirnya aku punya saudara perempuan beneran. Langgeng ya sama Jaehyun.”

Ketegangan Luna langsung sirna seketika. Respon yang ia terima dari mamanya Hyunjae sungguh berbeda 180 derajat dari respon yang ia terima dari mamanya Seokjin dulu ketika pertama kali bertemu. Ironisnya, seingat Luna ia rasanya tidak pernah menerima senyuman hangat dari mamanya Seokjin selama ia berhubungan dengan Seokjin. Berbeda dengan mamanya Hyunjae yang memperlakukan Luna dengan sayang, membuat Luna jadi teringat akan mamanya sendiri.

Drrrt drrrt.

Luna membuka ponselnya yang bergetar. Keningnya berkerut melihat pesan masuk dari Hyunjae.

“Udah bangun?”

Udah sayang.

Ngapain chat? Tinggal jalan kesini.

“Takut kamu belum bangun.”

“Aku kesana ya.”

Tidak sampai semenit, pintu kamar diketuk dari luar dan Hyunjae menghambur masuk ke dalam. Dibiarkannya pintu kamar agak terbuka.

“Ih kok cepet banget? Aku belum rapiin rambut,” kata Luna yang masih terduduk di kasur. Panik karena sadar dirinya belum enak dilihat karena baru banget bangun tidur.

Hyunjae duduk di tepi kasur. Tangannya meraih tangan Luna yang masih sibuk merapikan rambutnya, lalu dikecupnya punggung tangan Luna sekilas. “Morning. Gimana rasanya tidur di kamarku? Aku nempatin kamar ini dari jaman masih bocil sampai lulus kuliah, cuma kamu satu-satunya perempuan selain keluargaku yang pernah tidur di kasur ini. Tidurnya nyenyak?”

Luna mengangguk. Dia menyingkap selimut dan menggeser tubuhnya agar menjadi bersebelahan dengan tubuh Hyunjae di tepi kasur. “Nyenyak banget tidurnya, ditemenin robot-robot dan pajangan Iron Man kamu.” Luna menyandarkan kepalanya di bahu Hyunjae, membuat Hyunjae terdorong untuk mengecup pucuk kepala Luna yang wangi.

“Udah nggak tegang lagi kan? Sekarang percaya kan sama aku, kalau papa dan mama menerima kamu dengan baik.”

“Iya, aku bersyukur sekali rasanya. Nggak nyangka diterima dengan sebaik ini sama keluargamu, Jae. Makasih ya?” Mata Luna menyendu ketika bertemu dengan mata Hyunjae. Lama, mereka berkomunikasi tanpa bicara, saling mengungkapkan perasaan sayangnya satu sama lain melalui tatapan.

Luna selalu menyukai wajah tampan Hyunjae dalam kondisi apapun, tapi kini ia menyadari favoritnya adalah wajah baru bangun tidur Hyunjae dengan rambut tebal hitamnya yang sedikit teracak. Luna menyadari keberuntungan dirinya bisa mendapatkan Hyunjae sebagai kekasihnya. Benar kata Freiya semalam, Tuhan begitu baik memberikan Hyunjae sebagai pengganti Seokjin.

“Na,”

“Ya?”

“Cintai aku selamanya seperti ini ya? Will you?”

Mata Luna membulat mendengar permintaan Hyunjae yang tiba-tiba. Ini masih pagi dan Hyunjae sudah membuatnya terkejut dengan permintaannya ini.

“Aku tau segalanya yang terjadi di antara kita terhitung cepat, dari mulai kita pertama kali ketemu dan kenalan, sampai sekarang ini. Maaf ya, aku terbiasa ungkapin segala hal straight to the point. Walaupun kita baru resmi jalan sebulan, tapi aku ingin kamu tau bahwa tujuan akhirku adalah hidup bersama kamu. Dari awal kita ketemu pas dinner bareng anak-anak, aku sadar aku suka sama kamu.”

Luna bisa merasakan matanya tiba-tiba memanas, seperti ada yang ingin menyeruak berhamburan keluar dari matanya. Ditahannya mati-matian. Tidak, dia tidak ingin menangis di depan Hyunjae.

“Aku tadinya punya target untuk deketin kamu minimal tiga minggu sebelum akhirnya ajak jadian. Tapi aku sadar, kamu dikelilingi banyak laki-laki baik di sekitarmu dan ya, mereka semua mostly good looking. Aku ajak kamu jadian pas aku ulang tahun, itu sama sekali di luar rencana. Nggak tau kenapa tiba-tiba aja aku ngerasa malam itu tepat untuk ajak kamu jadian. Aku cuma takut terlambat kalau ditunda lagi.”

Dada Luna sudah terlalu sesak untuk menahan tangisnya. Dengan tergesa Luna menundukkan kepalanya tepat ketika bulir pertama airmatanya jatuh tidak tertahan, menetes menuruni pipinya, melewati dagu dan akhirnya membasahi selimut Hyunjae.

“Yah, kok nangis? Aku nggak niat bikin kamu nangis padahal. Yang, jangan nangis dong nanti aku dimarahin mama,” Hyunjae berkata lucu sambil mengangkat wajah Luna yang kini sudah memerah.

“Abisnya kamu gitu omongannya. Ini masih pagi, tapi omongan kamu manis banget begitu, gimana aku nggak terharu. Ternyata cowok tsundere bisa juga bikin terharu ya,” jawab Luna dengan tawa tertahan. “Aku malu nangis depan kamu. Pertama kalinya nih.”

“Maaf ya, aku tiba-tiba ngomong gini. Sebenernya udah dari kemarin-kemarin pengen ngomong ini ke kamu tapi waktunya nggak pas terus. Aku takut kamu bingung dengan hubungan kita yang prosesnya serba cepat. Sekalian pengen mastiin aja, perasaanku ini berbalas kan?”

“Aku nggak akan ada di sini kalau nggak suka sama kamu. Nggak akan juga aku iyain waktu kamu ajak jadian. Ya, Lee Jaehyun, aku akan mencintai kamu selamanya seperti ini. Kita berjuang sama-sama ya?”

Hyunjae mengangguk dan menghela nafas lega. Selama ini seperti ada yang mengganjal hatinya karena hal ini belum ia ungkapkan ke Luna. Keinginan hatinya untuk menjalani hidup bersama Luna. Dan kini setelah tahu Luna menginginkan hal yang sama, Hyunjae merasakan kelegaan dan ketenangan dalam hati. Demi Tuhan ia bersumpah untuk menjaga baik-baik hubungannya dengan Luna, satu-satunya perempuan yang ia sayangi selain mama dan kakaknya.

Selagi Luna dan Hyunjae melanjutkan mengobrol ringan, tiba-tiba pintu kamar diketuk dan wajah mamanya Hyunjae menyembul dari balik pintu. “Selamat pagi, anak-anak. Udah pada bangun rupanya. Tumben banget kamu, Jae, bangun pagi.”

“Selamat pagi, Tante,” Luna buru-buru berdiri dan menyapa mamanya Hyunjae sambil membungkukkan badannya.

“Pagi, Ma,” kata Hyunjae, mengikuti Luna berdiri. Menghampiri mamanya dan mencium pipi kiri mamanya. “Sarapan apa kita?”

“Luna mau sarapan apa? Mau dibikinin apa?” mamanya Hyunjae bertanya sambil menatapi Luna.

“Kok Luna doang yang ditanyain? Anaknya sendiri nggak ditanya mau apa?” Hyunjae protes.

“Jadi, anak cantik ini mau makan apa? Bilang aja, tante bikinin,” tanpa menghiraukan protes anaknya, mamanya Hyunjae berjalan mendekati Luna dan mengusapi punggungnya.

“Apa aja, Tante. Aku pemakan segala kok hehe,” jawab Luna sambil tertunduk malu. “Luna boleh bantu masaknya ya?”

“Eh beneran mau bantu masaknya? Tante sih seneng-seneng aja dibantuin. Luna terbiasa dengan alat dapur kan?”

“Ma, Luna pinter masak. Sering masakin buat aku, enak-enak lagi masakannya,” Hyunjae menyela sebelum Luna sempat menjawab.

“Halah kamu tuh, ngerepotin aja bisanya.”

“Ih, Mama. Kenapa aku jadi dianaktirikan gini sih?”

“Abisnya kamu sombong, jarang banget pulang. Marahin nih, Na, anak ini padahal tinggal sekota tapi nggak ada inget-ingetnya ke orang tua.”

Luna tertawa melihat Hyunjae yang cemberut dimarahin mamanya karena jarang pulang. Baru kali ini dia melihat aura tsundere Hyunjae luntur lenyap tak berbekas.

“Jangan khawatir, Tante. Luna bakal ingetin Jaehyun biar sering pulang ya.”

Mamanya Hyunjae mengangguk sambil tersenyum senang. “Yuk, kita ke dapur? Makasih mau bantu tante masak ya, Nak.”

“Yuk, Tante. Sama-sama.”

Chapter 8.

“Cie, foto siapa tuh?”

“Ih, Nuna! Bukan siapa-siapa.”

“Hahaha nggak usah kaget gitu, Ric. Nyantai kali ah. Foto siapa sih emangnya? Kelihatan sepintas sih cantik itu cewek.”

Eric dan Luna sedang duduk berdua di kafe hotel yang sedang mereka inapi sampai 2 hari ke depan. Sejak dua hari lalu, Luna, Eric, dan Yeonjun berada di provinsi Gwangju untuk perjalanan dinas. Mereka bertiga ini mewakili timnya masing-masing—Luna yang satu tim dengan Nara dan Sarah, Eric dengan Younghoon dan Juyeon, Yeonjun dengan Jake dan Hongseok—pergi mengurusi klien di Gwangju. Tadinya yang akan berangkat hanya timnya Eric lengkap dengan Younghoon dan Juyeon tapi karena satu dan lain hal akhirnya diputuskan yang dikirim ke Gwangju adalah perwakilan dari tiga tim berbeda.

“Siapa sih, Ric? Cerita dong,” Yeonjun yang baru bergabung dengan Luna dan Eric, menyahuti. Mereka bertiga baru pulang dari kantor klien dan sedang makan malam di kafe hotel.

“Anak magang di kantornya Sunwoo. Cantik banget katanya sih, si Sunwoo langsung gatel pengen ngegebet,” cerita Eric sambil menyeruput minuman ice chocolate-nya. Sama seperti Luna, Eric bukan tipe penyuka kopi seperti kebanyakan anak-anak muda seusianya. “Nuna emang nggak tau? Kak Jae pasti cerita, kan?”

“Iya, cerita dia katanya ada anak magang baru semingguan ya? Tapi nggak detail sih ceritanya, lo taulah Jae simpel banget. Mana pernah dia cerita detail yang gituan,” jawab Luna. “Ternyata itu ya anak magangnya. Cantik. Siapa namanya?”

“Jisoo. Kim Jisoo,” kata Eric. “Kak, lo nggak ngeri Kak Jae dikecengin si anak magang? Udah terkenal tuh kata Sunwoo, anak-anak magang atau anak baru cewek di kantornya udah pasti langsung oleng kalau nggak ke Kak Jae, ya ke Kak Sangyeon.”

“Nggak, ngapain ngeri. Jarang cewek kuat lama ngecengin Jae saking dinginnya dia hahaha,” kata Luna santai.

“Nah, lo kok tahan, Kak?”

“Orang dia duluan yang ngeceng gue, jadinya nggak dingin-dingin amat dia ke gue. Tapi ya emang sih dia bukan tipe romantis lembek gitu. Manggil gue sayang aja jarang, seringnya manggil nama.”

“Iya juga sih, Kak Jae itu dingin banget ke cewek. Tapi ke lo dia nggak sedingin itu ya, Kak. Beda banget dia ke Kak Sarah dulu sama ke lo, Kak.”

“Ya orang Jaehyunnya suka sama Luna, Ric. Nggak mungkin dia dingin ke cewek yang disuka. Gimana sih lo,” Yeonjun menyela sambil memotong daging steak wagyu-nya.

“Kalian berdua gimana nih, masih betah sendirian? Nggak masalah sih, daripada pacaran tapi nggak bener. Lo gimana sama Hyuna, Ric?”

“Nyanteilah gue sama Hyuna sih. Udah keenakan sahabatan, takutnya malah jadi rusak kalau dijadiin.”

“Tapi mendingan dijadiin aja nggak sih? Biar jelas gitu statusnya?”

“Belum siap gue hehehe. Nanti deh, nyantai.”

“Lo gimana, Yeon? Diem aja dari tadi nih.”

Yeonjun yang lagi asyik mengunyah steak-nya hanya tersenyum menanggapi Luna. “Kecolongan gue. Cewek yang gue suka keburu taken.”

“Hah, siapa? Sumpah lo selama ini punya kecengan? Gue kira lo adem aja sendirian, Yeon. Sumpah lo nggak kelihatan lagi deketin cewek soalnya. Siapa? Anak kantor bukan?”

“Ada lah, pokoknya. Salah gue juga sih, nggak nunjukkin kalau gue suka. Udah ah, nggak usah dibahas ya.”

“Ihh liat dong, mereka lagi di bar ternyata,” Eric tiba-tiba berseru sambil memperlihatkan ponselnya ke Luna dan Yeonjun. Tampilan Instagram Story dari akun Younghoon terpampang di layar ponsel Eric, memperlihatkan video pendek berisi selfie Younghoon dan Nara yang sedang toast dengan tangan masing-masing memegang sloki berisi alkohol—entah minuman jenis apa.

Eric menekan layar dengan jarinya, mempercepat tampilan IG Story yang di*-post* Younghoon—ternyata mereka sedang berada di bar bersama dengan Juyeon, Sarah dan anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya terpampang satu foto yang membuat Luna membulatkan matanya kaget.

“Loh, ada anak-anak kantor Sunwoo juga? Kak, ini ada Kak Jae—eh, Kak Jae bukan sih? Fotonya gelap. Loh ada si Jisoo juga. Buset ini anak, baru magang semingguan udah ngikut maen ke bar aja,” Eric berkomentar sambil memperbesar tampilan foto di layar ponselnya.

Luna tidak menanggapi. Tangannya meletakkan pisau dan garpu di piring dan merogoh ponsel dari dalam tasnya, mengecek kalau-kalau ada pesan masuk dari Hyunjae.

Nihil. Tidak ada pesan apa-apa.

Luna mencoba menelepon Hyunjae. Hingga dering ke delapan dan tidak ada jawaban dari Hyunjae, akhirnya Luna membuka aplikasi KTalk dan mengetikkan pesan untuk Hyunjae.

Jae, kamu lagi di bar sama anak-anak? Kok nggak bilang?

Aku lihat dari IG-nya Hoon.

Jangan kemalaman pulangnya ya. Kabarin aku.

Aku lagi dinner di kafe hotel. Nanti malam telpon ya.

Luna menyimpan ponselnya lagi di atas meja makan. Dirinya mendadak kenyang. Dia tidak suka Hyunjae berada di bar tanpa mengabarinya. Terakhir dia teleponan dengan Hyunjae siang tadi dan Hyunjae tidak menyebut apa-apa soal pergi ke bar.

Yeonjun yang makanannya sudah habis, menyadari perubahan raut wajah Luna. “Udah, jangan dipikirin. Mungkin acara dadakan.” Seolah bisa membaca pikiran Luna, Yeonjun berkata seperti itu.

“Nggak biasanya sih dia keluyuran pulang kantor nggak bilang gue.”

“Yang penting sama anak-anak kantor kan? Sama orang-orang yang lo kenal juga. Jadi, nggak usah khawatir ya, Na.”

Luna hanya mengedikkan bahunya. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi Yeonjun.


Esok harinya, Luna sedang berada di dalan lift menuju lobi hotel tempatnya janjian dengan Yeonjun dan Eric. Luna terlambat lima menit dari waktu janjian mereka yang seharusnya. Syukurlah ini hari terakhir kunjungan ke kantor klien karena Luna sedang tidak berada dalam mood yang bagus. Dia begitu ingin segera menyelesaikan urusannya di kantor klien.

You good?” tanya Yeonjun ketika mereka memasuki mobil yang disewa kantor untuk akomodasi selama di Gwangju. Yeonjun menyetir, Luna duduk di depan dan Eric di belakang. Eric tidak terlibat dalam pembicaraan karena masih asyik mendengarkan lagu dari Airpods-nya.

“Dia nggak nelepon gue. Chat gue dari kemarin sore juga nggak dibalas.”

“Sabar ya, kecapekan mungkin.”

“Secapek-capeknya sih, apa susahnya cek HP dan ngabarin gue?”

“Cewek kan gitu. Cowok lain lagi, kalau lagicapek ya capek, nyampe rumah bisa tuh nggak peduli sama HP dan langsung tidur. Udah ya, jangan negative thinking.”

Luna tidak menjawab. Yeonjun mulai menjalankan mobilnya keluar dari parkiran dan kemacetan kota Gwangju langsung menyapa ketika mereka sudah berada di jalanan utama.

Sesekali Yeonjun memperhatikan Luna yang tidak bisa menyembunyikan raut wajah *bad mood-*nya. Bibirnya mengerucut, keningnya berkerut hampir membuat alis hitamnya bertautan.

Seandainya gue dulu lebih gesit…, ucap Yeonjun dalam hati.


“Na, maaf.”

“Semalam HP-ku mati habis baterai. Sambil charge HP aku ketiduran.”

“Pagi tadi telat bangun jadi rusuh ke kantor. Maaf baru ngabarin ya.”

Luna membaca serentetan pesan masuk dari Hyunjae yang baru diterimanya. Walaupun akhirnya lega karena Hyunjae sudah membalas *chat-*nya, tapi Luna masih belum puas dengan jawaban Hyunjae.

“Jaehyun?” tanya Yeonjun.

“Iya,”

“Tuh kan, ngabarin juga akhirnya.”

“Iya ngabarin, setelah 24 jam lebih.”

“Udahan dong ngambeknya, kan udah dikabarin. Nih, eomuk-nya.”

Sepulang dari kantor klien sore tadi, sebetulnya Luna, Yeonjun dan Eric langsung kembali ke hotel dengan niatan mau makan malam dari room service saja supaya mereka bisa segera istirahat dan membereskan barang untuk pulang besok.

Tapi pada akhirnya hanya Eric yang berdiam di kamar dan memesan makan malam dari room service, sementara Luna dan Yeonjun yang bosan dengan makanan hotel memutuskan untuk keluar hotel dan berjalan kaki menyusuri kedai-kedai makanan yang berhimpitan ramai nggak jauh dari lokasi hotel.

Suhu udara di pertengahan bulan Oktober yang sudah mulai menurun, membuat Luna menginginkan makan makanan hangat yang mengeyangkan. Beruntung tidak jauh dari hotel, mereka menemukan kedai makanan bersih dan sedang tidak terlalu ramai pengunjung yang menyediakan menu makanan yang dicari Luna.

Jadilah Luna dan Yeonjun menyantap tteokpokki, eomuk dan samgyetang sebagai makan malam di malam terakhir mereka di Gwangju ini.

Damn, this is so good. Eomuk-nya enak banget astaga,” Luna berseru setelah menyuapkan sepotong eomuk atau fish cake ke dalam mulutnya. “Thanks udah mau nemenin gue makan di luar, Yeon.”

No probs, gue juga bosen banget makan di hotel terus.”

Di saat Luna lagi menikmati makan malamnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Luna melihat ponselnya dan melihat nama Hyunjae tertera di layar.

“Ya?” Akhirnya Luna memutuskan untuk menjawab telepon Hyunjae.

“Hei, lagi apa? *Chat-*ku nggak dibalas?”

“Aku belum balas chat setengah jam doang kamu protes. Aku kemarin sore chat kamu dianggurin seharian.”

“Maaf, kan aku udah jelasin kenapa telat balasnya. Kamu lagi apa? Udah makan?”

“Ini lagi makan.”

“Makan dimana? Di hotel lagi?”

“Nggak, makan di luar. Eric yang makan di hotel, aku sama Yeonjun bosen sama makanan hotel.”

“Oh, ya udah. Kamu makan dulu gih, salam buat Yeonjun ya. Kabarin aku kalau udah di hotel, nanti aku telepon lagi. Bye, Na.”

“Iya, oke.”

Dan panggilan teleponnya dengan Hyunjae pun terputus.

“Salam dari Hyunjae.”

“Eh, buat aku?”

“Iya. Nyantai banget dia malah titip salam buat kamu. Mantanku dulu kalau tau aku makan berdua doang sama temen cowok pasti udah galak banget ngomongnya. Boro-boro titip salam.”

“Haha, bagus dong pacar kamu nggak cemburuan berarti.”

“Dia tuh aneh, padahal alesan kenapa dia buru-buru ngajak jadian karena takut guenya keburu diambil orang katanya. Tapi selama gue pacaran sama dia kayanya ga pernah sekalipun gue dicemburuin. Yang ada malah gue yang sering cemburu karena ada aja yang godain dia tiap kita lagi jalan bareng.”

“Buat gue ya, Na, nggak dicemburuin sama pacar itu adalah sebuah privilege tau nggak. Gue pernah ngalamin pacaran sama cewek yang cemburuannya ampun banget, pusing gue, Na. Cemburuan dan nggak percayaan ke gue.”

“Lo kapan sih terakhir pacaran, Yeon? Udah lama?”

“Lumayan, mau setaunan rasanya sih.”

“Gue juga sama, hampir setaunan putus dari mantan gue sebelum ketemu Jaehyun.”

Dan obrolan Luna dan Yeonjun pun terus berjalan sambil mereka menghabiskan makan malamnya. Baru kali ini Luna mengobrol banyak dengan Yeonjun, karena sebelumnya dia jarang ada kesempatan berdua dengan Yeonjun. Biasanya, antara Younghoon atau Juyeon yang memang sudah lama dekat dengannya yang menemani Luna mengobrol. Kali ini aneh rasanya Luna bertukar cerita dengan Yeonjun yang notabene tidak terlalu dekat dengannya sebenarnya.

Baru malam ini juga Luna menyadari, dia merasa klop dan nyaman bercerita banyak hal dengan Yeonjun. Luna itu tipe yang ingin didengar dan diberi feedback jika sedang bercerita, dan dia mendapatkan itu dari Yeonjun. Hal itu membuat Luna tidak perlu berlama-lama menyadari bahwa dirinya bisa berteman dekat dengan Yeonjun berkat perjalanan dinas kali ini.

Setelah mereka kembali ke hotel, Yeonjun mengantar Luna sampai ke depan kamarnya karena kebetulan kamar Luna berbeda satu lantai dengan kamar Yeonjun dan Eric. Yeonjun hanya ingin memastikan Luna aman sampai kamar, karena sudah larut malam saat mereka sampai di hotel. Sehabis dari kedai tadi, mereka tidak langsung pulang tapi melanjutkan jalan-jalan sebentar sekalian mampir ke toko grocery untuk membeli cemilan buat di jalan pulang menuju Seoul besok.

Aku udah di kamar ya.

Luna mengetikkan pesan untuk Hyunjae. Dalam hitungan detik, ponselnya langsung menderingkan telepon dari Hyunjae.

“Kok malam banget baru di kamar?” tanya Hyunjae begitu Luna menjawab teleponnya.

“Aku mandi dulu tadi baru ngabarin kamu.”

“Oh, oke. Kukira kamu baru banget nyampe kamar.”

“Jae.”

“Ya?”

“Kamu sayang nggak sih sama aku sebenernya?”

“Hah? Kok pertanyaannya ajaib gitu sih, Yang?”

“Jawab aja, cepet.”

“Aku nggak suka kamu nanya aneh begini. Kamu tau aku sayang sama kamu.”

“Tapi kamu kok nyantai aja reaksinya pas aku bilang malam ini aku jalan berdua doang sama Yeonjun? Rasanya kamu juga nggak pernah cemburu tiap-tiap aku cerita lagi jalan sama Juyeon atau Younghoon. Aku terus yang seringnya cemburuin kamu. Aku jadi insecure, apa yang bisa yakinin aku kalau kamu sayang sama aku.”

Hyunjae menghela nafas berat di ujung sana. Tidak menyangka dia akan mendapat serangan tiba-tiba begini dari Luna.

“Mereka teman-teman kamu jauh sebelum kamu kenal aku. Nggak ada alasan aku untuk cemburu. Sebelum kita jadian, iya aku insecure lihat kamu deket sama mereka dan teman cowok kamu yang lain. Tapi setelah kita jadian, aku nggak lihat alasan kenapa harus cemburu. Aku percaya kamu.”

“Hmm.. Gitu, ya?”

“Kamu lagi kenapa sih?”

“Nggak papa.”

Hening.

Luna dan Hyunjae hanya saling menempelkan ponsel di telinga masing-masing tanpa bersuara. Baru kali ini mereka seperti kehabisan topik, padahal sebetulnya masing-masing banyak yang ingin diceritakan mengingat mereka sudah satu minggu belum bertemu karena terhalang urusan pekerjaan. Keduanya yang lagi sibuk sudah beberapa hari lembur dan pulang kantor di atas jam 8 malam. Lalu dilanjut dengan Hyunjae yang sempat ada urusan menemui kontraktor di luar kota selama dua hari, dan ketika Hyunjae sedang dalam perjalanan pulang ke Seoul giliran Luna yang harus berangkat ke Gwangju.

Besok, hari Jumat, satu-satunya hari mereka bisa bertemu karena hari Sabtu paginya Hyunjae ada jadwal terbang ke Pulau Jeju untuk acara gathering kantor tahunan. Berbeda dengan kantor Luna yang rutin mengadakan acara gathering setiap akhir tahun, kantor Hyunjae selalu mengadakannya di bulan Oktober sekalian acara ulang tahun kantor.

“Jae,” akhirnya Luna angkat bicara. “Kamu belum cerita ngapain kemarin ke bar sama anak-anak? Padahal siangnya kita teleponan tapi kamu nggak bilang mau ke bar.”

“Aku tadinya nggak mau ikut, tapi dipaksa Sangyeon.”

“Dalam rangka apa? Kenapa mesti ke bar di hari kerja, sih?”

“Ada salah satu proyek kita yang akhirnya seratus persen kelar. Sangyeon pengen ngerayain itu.”

“Proyek kamu ada yang selesai aja kamu nggak cerita.”

“Bukan nggak mau cerita, belum sempat aja. Maafin aku juga ya karena nggak bilang ke kamu soal ke bar. Aku nggak banyak minum kok, kan aku nyetir. Mana harus nganterin Jisoo pulang—”

“Kamu nganter Jisoo? Pantesan malam banget kamu baru pulang sampe besoknya telat bangun segala, sampe chat aku dianggurin berjam-jam nggak dibalas.”

“Yang lain semuanya pada mabuk, Na. Mereka pada pulang naik taksi. Cuma aku satu-satunya yang sepenuhnya sadar, dan Jisoo anak magang di divisiku otomatis dia jadi tanggung jawab aku juga.”

“Lagian anak magang ngapain diajak—”

“Sekali lagi aku bilang, bukan aku yang ngajak. Semuanya Sangyeon yang ngajak dan ngatur acara dadakan itu di bar.”

Luna terdiam. Kepalanya mendadak terasa pening dan pusing. Bukan percakapan seperti ini yang ia harapkan setelah beberapa hari ini lelah dengan urusan klien. Biasanya mendengar suara Hyunjae saja sudah cukup mengembalikan energinya, tapi kali ini justru dia menyesal berbicara di telepon dengan Hyunjae. Energinya yang sudah nyaris habis malah dibuat tambah habis dengan perdebatan ini.

“Kamu kayanya udah capek banget malam ini, istirahat aja ya? Besok jadi naik kereta jam 10 pagi?” kata Hyunjae akhirnya, ketika Luna tidak melanjutkan bicaranya.

“Iya jam 10 pagi,” Luna menjawab pelan, benar-benar sudah kehilangan seluruh energinya.

“Aku jemput ya di stasiun, sekalian makan siang bareng. Aku udah diizinin manajerku pulang setengah hari.”

“Kamu lagi sibuk, nggak usah maksain jemput apalagi sampe izin setengah hari segala. Aku bisa pulang sendiri dari stasiun. Malam aja ketemunya.”

“Besok aku jemput kamu, end of discussion. Kabarin kalau udah berangkat ya.”

“Iya, oke.”

“Habis tutup telepon langsung tidur ya, nggak main HP.”

“Iyaaa sayangku yang bawel.”

Sweet dreams.”


Hyunjae menatapi jam di laptopnya dengan gelisah, sudah pukul 11.35 siang. Dia seharusnya sudah berada di perjalanan saat ini juga kalau tidak mau terlambat menjemput Luna. Sebetulnya Hyunjae sudah bersiap untuk pulang dari dua puluh menit yang lalu tapi telepon dari salah satu vendor proyeknya membuyarkan rencananya.

Hyunjae diminta mengirimkan segera revisi konstruksi bangunan via e-mail, dimana sebetulnya Hyunjae sudah meminta Jisoo untuk melakukan hal ini dari jam 11 siang. Tetapi menjelang jam 11.30 orang vendornya melaporkan bahwa data yang dikirim Jisoo salah, bukan data revisi melainkan data original yang sebelumnya pernah dikirimkan. Akhirnya Hyunjae terpaksa membuka laptopnya lagi dan memutuskan untuk mengirimkannya langsung dari e-mailnya.

“Maaf ya, Kak. Data yang aku kirim salah,” Jisoo yang merasa tidak enak menghampiri meja Hyunjae sambil menunduk.

“Iya nggak papa, lain kali lebih teliti ya.”

Jisoo mengangguk. “Kak Jaehyun ada meeting di luar?”

“Nggak, saya ada urusan pribadi jadi siang ini izin pulang cepet. Saya nggak balik lagi ke kantor jadi kamu kalau ada apa-apa minta tolong Kevin atau Jacob dulu ya.”

“Jae! Kok masih disini? bukannya udah beres-beres tadi?” Jacob yang baru selesai meeting kaget melihat Hyunjae yang masih ada di mejanya. “Ini udah mau jam 12 lo gimana sih? Kasian Luna lama nunggunya loh.”

Jisoo yang masih ada disitu terdiam mendengar nama perempuan yang disebut Jacob. Dia tahu ini bukan kapasitasnya untuk tahu siapa orang yang Jacob maksud, tapi Jisoo sungguh penasaran.

“Gue udah bilang kok bakal agak telat. Gapapa dia ngerti.”

“Lo ngapain sih? Urgent banget emang? Udah sini sama gue.”

“Kirim file, tapi karena large size jadi lama upload-nya. Nah, baru beres nih akhirnya. Jac, cabut ya gue. Titip Jisoo tolong dibantu dulu.”

“Iya siap. Hati-hati, salam buat Luna.”

Thanks. Jisoo, saya tinggal dulu ya.”

Jisoo mengangguk menanggapi seniornya. Hatinya berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang ketika Hyunjae berjalan melewatinya sambil menyampirkan tas laptop di bahu kanan dengan terburu-buru. Ternyata apa yang Jisoo dengar dari temannya yang sudah lebih dulu magang disini beberapa bulan sebelum dirinya, bahwa ada satu senior yang terkenal sangat tampan di divisi ini benar adanya.

***

Di stasiun, sudah hampir setengah jam Luna menunggu Hyunjae yang nggak kunjung sampai. Perutnya sudah berbunyi minta diisi, Luna lapar.

Yeonjun yang bersikeras mau menemani Luna sampai Hyunjae datang, berdiri di sampingnya sambil memegang sebungkus roti yang ia sempat beli di bakery hotel sebelum pulang tadi.

“Nih, ganjel roti dulu. Rame amat itu perut bunyinya,” kata Yeonjun sambil memegang roti dengan kedua tangan dan mendekatkannya ke wajah Luna.

Sebelah tangan Luna memegangi tangan Yeonjun. Luna mendekatkan wajahnya dan menggigit roti yang masih dipegangi Yeonjun. Masih dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Luna melihat Hyunjae yang berlari kecil mendekat ke arahnya.

Luna melepaskan tangannya dari tangan Yeonjun tepat ketika Hyunjae sudah benar-benar berada di dekatnya. “Kenapa mesti lari-lari gitu?”

“Maaf ya, aku telat. Mendadak ada urusan sebentar tadi,” setelah berhasil mengatur nafasnya, Hyunjae mengalihkan pandangan ke Yeonjun. “Yeon, makasih udah nemenin Luna. Sorry ya, jadi repotin.”

“Nggak papa. Yaudah, gue pulang duluan ya,” kata Yeonjun.

Thank you, Yeonjun. Hati-hati di jalan,” balas Luna.

Setelah Yeonjun berjalan meninggalkan mereka berdua, Hyunjae langsung menggamit lengan Luna dan menautkan jari-jari mereka. Tangan satunya meraih koper Luna. “Maafin aku ya, kamu jadi nunggu lama.”

“Nggak papa. Aku jadi nggak enak ngerepotin kamu.”

“Nggak repot. Aku yang mau jemput kamu.”

Setibanya di parkiran, Hyunjae membuka bagasi mobilnya dan menyimpan koper Luna.

Tangan Hyunjae menyalakan mesin mobil, tapi dia tidak langsung menjalankan mobilnya. Hyunjae menoleh ke arah kirinya, menatapi Luna yang ternyata sedang menatapnya dengan bingung. Dalam satu gerakan cepat, Hyunjae menyentuh punggung Luna dan menariknya ke dalam pelukan. Diusapinya punggung Luna sambil mengeratkan pelukannya.

“Aku kangen banget,” kata Hyunjae. “Seminggu lebih nggak ketemu kamu, nggak enak.” Hyunjae melepaskan pelukannya perlahan. Tangannya ganti menangkup wajah Luna, mengusapi pipi Luna lembut dengan buku-buku jarinya.

“Aku kangen banget juga, Yang. Nginep di aku ya malam ini? Besok aku anterin kamu ke bandara. Ya?”

“Tapi aku belum beres-beres baju buat besok.”

“Yaudah, sekarang ke apartemen kamu dulu aja, gimana? Sekalian aku ikut mandi dulu, masih ada sisa baju bersih kok di koperku. Nanti aku bantu siapin bawaan kamu buat besok.”

“Oke. Terus, sekarang kamu mau makan apa?”

“Nggak usah makan di luar, kita order delivery aja pas udah di apartemen kamu, ya?”

“Boleh, gimana kamu aja.”

***

Luna mematikan hairdryer setelah memastikan rambutnya telah benar-benar kering. Setelah mengoleskan vitamin rambut, Luna menyisiri rambut yang panjangnya sudah melebihi bahunya itu, lalu menguncirnya tinggi. Luna berdiri dan melihat sekali lagi pantulan dirinya di cermin—dia mengenakan celana pendek di atas lutut berwarna cokelat muda dan oversize tshirt putih dengan embroidery motif unicorn kecil di ujung bawah kiri. Ini adalah setelan terakhirnya yang masih bersih yang ia bawa di dalam kopernya.

Setelah selesai merapikan dirinya, Luna meninggalkan koridor kecil yang disulap dijadikan walk-in closet oleh Hyunjae, yang menghubungkan antara kamar mandi dengan kamar tidur Hyunjae.

“Nonton apa sayang?” Luna bertanya pada Hyunjae yang sedang selonjoran di sofa di ruang TV. Matanya menatap lurus ke arah TV. Melihat Luna yang sudah selesai mandi, Hyunjae menggeser duduknya mendekati kursi sofa dan meminta Luna duduk di sampingnya.

“Nggak ada yang rame sih, itu-itu aja filmnya. Mau nonton Netflix tapi bingung film apa.” Hyunjae merentangkan tangannya ketika Luna merebahkan dirinya di sisi Hyunjae, dan menjatuhkan kepalanya di dada Hyunjae. Wangi strawberry dari sampo Luna langsung memanjakan hidung Hyunjae. Diciumnya dalam-dalam pucuk kepala Luna.

“Yang, kangen. Baru ketemu hari ini, besok kamu udah pergi lagi. Lama pula lima hari.”

“Apa aku batal ikut gathering aja ya? Gitu-gitu juga sih acaranya dari tahun ke tahun. Aku belum pernah absen juga lagian.”

Luna mencubit perut Hyunjae sambil mengangkat kepalanya dan menatap pacarnya itu dengan judes, “Ya jangan gitu juga dong. Nggak enak lah sama orang kantor kalau tiba-tiba kamu batalin ikut. Suka aneh-aneh aja kamu tuh.”

“Sayang.”

“Apa? Tumben manggil sayang.”

“Duh, galak banget sih kamu.”

“Hehe, iya maaf. Apa sayang?”

“Kamu kelihatan akrab banget sama Yeonjun, sejak kapan? Perasaan dari dulu kamu nempelnya cuma sama Hoon dan Juy aja.”

“Baru mulai akrab sih lebih tepatnya, ya semenjak business trip kemarin ini.”

“Yeonjun ganteng. Nggak naksir dia kan kamu?”

“Sekarang nggak naksir, tapi kalau kamu nyebelin dan macem-macem, aku mau naksir Yeonjun aja.”

Tubuh Hyunjae menegang mendengarnya. “Hey! Don’t you ever—”

“Bercanda sayang, bercanda.” Luna menegakkan tubuhnya, mengalungkan sebelah tangannya di leher Hyunjae dan menarik wajah Hyunjae supaya mendekati wajahnya. Terlalu dekat, hingga Luna bisa merasakan deru nafas Hyunjae di wajahnya.

Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa detik. Saling mengagumi keindahan wajah yang dihadapinya. “Na, may I…?” Hyunjae bertanya ragu-ragu. Luna yang paham konteks subjek pertanyaan Hyunjae, memberi isyarat iya dengan anggukan kepala.

Karena sama-sama mancung, hidung Luna dan hidung Hyunjae saling bersentuhan ketika Hyunjae—atas seizin Luna—sedikit memiringkan wajahnya sebelum akhirnya bibirnya bertemu dengan bibir Luna dalam satu pagutan lembut. Ciuman pertama mereka.

Hyunjae lebih dulu melepaskan pagutannya. Matanya yang tadinya terpejam perlahan terbuka kembali dan langsung disuguhi tatapan mengerling dari mata Luna yang berjarak begitu dekat dengan wajahnya. Luna mendekatkan wajahnya, kali ini ia memberanikan diri untuk memagut bibir Hyunjae lebih dulu. Luna menyukai sensasi menggelitik yang ia rasakan di perutnya ketika Hyunjae menggerakkan bibirnya, memagutnya lebih dalam.

“Nggh, Yang,” Luna berusaha berbicara di tengah ciumannya.

Hyunjae melepaskan bibirnya pelan, “Kenapa?”

“Bentar, mau nafas dulu.”

Hyunjae tertawa. “Kenapa juga kamu nahan nafas? Ada-ada aja.”

“Ih, aku nggak nahan nafas. Tapi nafasnya susah karena hidungku kehalang hidung kamu. Tinggi banget sih hidungnya.”

Hyunjae tertawa sekali lagi. Diciumnya bibir Luna untuk yang terakhir kalinya dan diakhiri dengan ciuman lama di kening.

“Udahan?” tanya Luna polos.

“Masih mau emangnya?” Hyunjae bertanya balik. Wajah Luna memerah, malu.

“Nggak deh, nanti lagi,” jawab Luna sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar Hyunjae. “Aku mau siapin baju kamu dulu buat besok. Mau bawa apa aja?”

“Tolong pilihin aja deh sama kamu bajunya ya? Buat 5 hari 4 malam. Baju pergi, baju santai sama baju tidur.”

“Ayo temenin dong, Sayang. Nanti aku salah pilihin baju kamunya protes lagi. Mending kamu yang pilih bajunya, nanti aku yang rapiin.”

“Nggak, aku percaya pilihan kamu.”

Luna yang tadinya sudah berada di kamar Hyunjae, beranjak keluar lagi saat menyadari Hyunjae tidak mengikuti langkahnya ke kamar. Pacarnya itu malah melanjutkan selonjoran di sofa sambil memilih-milih tontonan dari Netflix.

“Ayo ih, beresin baju. Udah sore ini.”

“Nggak mau.”

“Kenapa sih, nggak semangat gitu?”

Mata Hyunjae terpejam nyaman saat dia merasakan jari-jari Luna menyisiri rambutnya dengan lembut. “Aku nggak mau pergi.”

“Nggak boleh gitu, ya? Nggak enak sama orang kantor apalagi atasan-atasan kamu. Yuk, beresin baju.” Luna berdiri dan menarik tangan Hyunjae supaya bangun dari selonjorannya. Yang ditarik tidak bergeming.

“Aku iri sama Yeonjun,” keluh Hyunjae tiba-tiba.

“Hah? Apaan tiba-tiba jadi Yeonjun?” tanya Luna kebingungan.

“Dia kenyang dari kemarin business trip bareng kamu, ketemu kamu tiap hari.”

“Ya namanya juga sekantor. Kamu pindah ke kantorku kalau mau ketemu aku tiap hari,” kata Luna sambil tertawa.

“Bukan itu solusinya.”

“Terus apa?”

“Kita harus cepet nikah biar tinggal serumah, ketemu tiap hari. Bareng-bareng terus.”

Glek.

Luna menelan ludah susah payah. Apa-apaan ini kenapa jadi bahas nikah?

“Yang udah ah, jangan bercanda terus. Ayo bangun, beresin baju biar cepet selesai. Udah mau sore banget ini.”

“Kan, ngehindar terus kan tiap bahas nikah.”

“Bukan gitu, harus banget bahas nikah sekarang? Nanti lagi kan bisa, Yang. Ayo ah, aku ngambek nih kalau kamu nggak mau beresin baju.”

Hyunjae akhirnya mengalah. Dia akhirnya mengangkat tubuhnya dari sofa dengan malas dan berat hati. Sungguh dia jadi tidak berselera ikut acara gathering kantor selama 5 hari ke depan.

“Nah, gitu dong gantengku. Kamu pilih baju apa aja yang mau dibawa, ya? Nanti aku rapiin.”

Hyunjae hanya tersimpul simpul dan mengangguk. Mengikuti langkah kecil Luna memasuki kamar tidurnya.

Chapter 9.

Tetesan hujan yang semula hanya berupa rintik-rintik ringan kini berangsur semakin deras diiringi sambaran kilat dan petir bergantian. Langit jam 8 malam yang sudah gelap terasa semakin gelap karena hujan besar. Bunyi tetesan air hujan yang beradu dengan kaca jendela kamarnya menemani Luna malam ini yang sedang beristirahat di atas kasur di apartemennya.

Hujan besar banget disini.

Kamu baik-baik kan? Hari ini belum ada kabar.

Selesai mengetik pesan untuk Hyunjae, Luna memfokuskan lagi pandangannya ke layar laptop yang sedang menayangkan serial detektif favoritnya di Netflix.

Ponselnya bergetar.

“Na, lagi apa? Hujannya gede banget ya.”

“Berani sendiri kan disana? Kalau butuh ditemenin kasih tau, gue kesana.”

Luna memandangi ponselnya dengan dahi mengernyit. Bukan balasan dari Hyunjae ternyata yang barusan masuk, tapi pesan baru dari Yeonjun.

Iya, gede banget hujannya, serem.

Thanks, Yeon. Gue berani dong sendirian hehe.

Lagi nonton Netflix.

“Untungnya nggak jadi lembur ya tadi.”

“Kalau lembur, kita kejebak di kantor nggak bisa pulang.”

Iya, feeling so good banget tadi tiba-tiba batalin lembur.

Lo lagi apa, Yeon?

“Sama gue juga lagi nge-Netflix.”

“Jangan lupa makan.”

Oke deh, lo juga jangan lupa makan.

Gue lanjut nonton ya.

“Oke, see you!

See you!

Setelah obrolannya dengan Yeonjun selesai, Luna kembali membuka chatroom-nya dengan Hyunjae. Masih belum ada balasan. Sekarang hari Senin, sudah hari ketiga sejak Hyunjae tiba di Jeju. Dari cerita-cerita Hyunjae lewat telepon dan video call, dan dari foto-foto yang Hyunjae kirim ke Luna, sepertinya memang Hyunjae yang tadinya malas-malasan berangkat ke Jeju ternyata jadi menikmatinya.

Iseng, Luna membuka akun Instagramnya dan langsung menelusuri akun Hyunjae. Seperti yang sudah Luna duga, tidak ada postingan apa-apa di akun pacarnya itu. Foto terakhir yang di*-post* Hyunjae di IG feeds-nya adalah foto mereka berdua yang diambil di hari ulang tahun Hyunjae, sesaat setelah mereka jadian.

Akhirnya Luna meninggalkan laman akun Hyunjae dan beralih ke akun milik Sunwoo. Karena hari ini belum ada kabar sama sekali dari Hyunjae, Luna memutuskan untuk mengecek situasi disana dari akun IG Sunwoo yang hampir selalu update semenjak hari pertama mereka tiba di Jeju.

Benar saja, IG story Sunwoo hari ini sudah penuh. Luna melihatnya satu-satu. Dari unggahan Sunwoo, terlihat mereka siang tadi saat hari masih cerah, berada di dalam bus entah menuju kemana. Luna bisa tahu Sunwoo di dalam bus duduk sederet dengan Sangyeon, Jacob dengan Kevin. Dia tidak bisa menemukan Hyunjae di dalam foto-foto itu. Sampai akhirnya di foto kelima, dia bisa melihat Hyunjae rupanya duduk di bagian depan, satu baris di belakang sopir dan hati Luna mencelos ketika sadar yang duduk di sebelah Hyunjae adalah Jisoo.

Foto berikutnya, mereka sedang makan siang di restoran. Grup mereka dibagi menjadi tiga meja besar dan lagi, Jisoo berada di meja yang sama dengan Hyunjae. Duduk berhadapan.

Begitu terus yang Luna lihat dari semua yang diunggah Sunwoo, dimana ada Hyunjae pasti ada Jisoo. Luna tidak nyaman melihatnya. Dan ketika akhirnya sampai di video terakhir yang rupanya baru diunggah Sunwoo 20 menit lalu, perasaan Luna semakin tidak nyaman. Mereka seperti sedang makan malam di area terbuka, dengan latar belakang city light kota Jeju. Dalam video itu tertangkap Hyunjae yang sedang berdiri memunggungi Sunwoo, menghadap ke arah city light dengan lagi-lagi, Jisoo di sebelahnya. Mereka seperti sedang berbicara intens.

Luna yang geram baru saja mau menutup ponsel flip-nya ketika getaran ponselnya menandakan pesan masuk. Dari Hyunjae.

[photo received]

[photo received]

[video received]

“Disini nggak hujan, langit lagi bagus banget.”

“Aku lagi dinner, tapi sebentar lagi selesai mau langsung pulang ke vila.”

“Kamu udah makan?”

Udah makan kok, lagi nonton Netflix.

Ya udah kamu have fun ya.

Sebetulnya Luna sungguh ingin mencecar Hyunjae untuk menjelaskan apa yang tadi ia lihat dari unggahan Sunwoo, tapi Luna memutuskan untuk menahannya dan menanyakannya langsung saja ketika Hyunjae sudah pulang. Ia penasaran tapi takut memancing pertengkaran jika ia tanyakan sekarang pada Hyunjae.

Akhirnya untuk mengikis rasa penasarannya, Luna mencoba menghubungi Sunwoo lewat direct message Instagram.

Sunwoo, boleh tanya nggak?

Jangan bilang Jae ya aku chat kamu.

“Hai, Nuna! Ada apa, tumben?”

Luna kaget sendiri melihat balasan Sunwoo secepat itu. Anak ini 24 jam online terus apa ya…

Aku abis lihat postingan kamu di story.

Aku perhatiin kok kayanya Jisoo nempelin Jae terus ya? Bener begitu? Atau kebetulan pas di foto aja keliatannya begitu?”

“Apa nggak sebaiknya tanya langsung ke Kak Jae aja, Kak?”

“Takut salah ngomong, hehe.”

Mau sih, tapi nanti aja kalau udah pulang.

Kalau tanya di chat takut malah jadi berantem sama Jae.

“Jisoo nggak selalu bareng Kak Jae, kok. Dia kan ada temen sesama anak magang juga, jadi mereka bareng-bareng.”

“Kebeneran aja pas di foto, pas lagi deketan posisinya sama Kak Jae.”

Nuna tenang aja, ya. Kak Jae aman kok.”

Oh gitu ya..

Oke deh, makasih ya, Sunwoo.

Sorry aku ganggu. Have fun disana.

No probs. Glad to help, Kak.”

Selesai berbicara dengan Sunwoo, seharusnya Luna merasa lega tapi ternyata belum. Luna tahu saat ini dirinya tidak bisa berbuat banyak selain mengandalkan kepercayaannya pada Hyunjae. Luna mematikan laptopnya—sudah tidak bernafsu untuk melanjutkan tontonannya—lalu beranjak dari tempat tidur untuk mematikan lampu kamarnya.

Luna memutuskan untuk tidur cepat malam ini.


“…And I said yes!!!”

Hari itu saat istirahat makan siang, Luna, Nara dan Sarah memutuskan untuk makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih restauran sushi kali ini, dan makan siang hari ini ditraktir penuh oleh Sarah.

Luna dan Nara berseru tertahan ketika Sarah mengakhiri ceritanya sambil memamerkan jari manis di tangan kanannya. Tersemat sebuah cincin emas putih bermatakan berlian kecil yang simpel, tapi sungguh indah dan sarat makna. Sarah sendiri sambil berkaca-kaca matanya ketika memamerkan cincin itu kepada dua sahabatnya.

“Sarah… gue ikut bahagia banget denger kabar ini. Ga nyangka gue, Juyeon seberani itu. Kalian hebat, gue salut banget!” Luna berkata sambil memeluk Sarah erat-erat.

“Gue juga nggak nyangka, Na. Gue kira Juyeon mau ngajak jadian taunya malah langsung ngelamar. Gue nggak pernah sebahagia ini rasanya,” kata Sarah.

“Terus, udah kebayang kapan mau nikahnya?” Kali ini pertanyaan terlontar dari Nara. Jarinya mengelus cincin yang tersemat di jari manis Sarah.

“Belum lah, nanti mau diomongin dulu lebih lanjut sama keluarga kita masing-masing juga. Yang jelas cincin ini sebagai tanda aja sih, bahwa gue udah sepenuhnya milik Juyeon dan Juyeon milik gue.”

“Lo beruntung banget sih. Gue udah tahunan pacaran sama Younghoon belum dilamar-lamar. Lo sama Jae gimana, Na? Udah ada omongan kesana?”

“Eh? Ng—udah sih. Jaehyun udah declare memang tujuan dia macarin gue ya untuk nikah. Tapi guenya belum mau bahas lebih lanjut,” Luna berkata gugup sambil meneguk teh ocha hangatnya. “Lo juga sabar aja ya, Ra. Pasti banyak yang jadi pertimbangan Younghoon sebelum akhirnya dia ngelamar lo suatu saat.”

“Ih, kok lo aneh sih, Na? Kenapa nggak mau bahas nikah lebih lanjut sama Jae? Kurang apalagi dia, Na?” tanya Nara gemas.

“Nikah bukan perkara gampang, Ra. Gue belum siap aja. Iya gue tau harusnya inget umur dan memang nggak ada yang kurang lagi dari Jaehyun, tapi gue belum mantep aja ngomongin nikah. Makanya tadi gue bilang salut sama Sarah dan Juyeon, udah bisa semantep itu untuk nikah.”

“Nggak papa, Sayang. Take it slow, no need to rush it. Semua yang dipaksakan dan terburu-buru itu nggak pernah berakhir baik. Jadi, kalau lo belum sreg urusan nikah ya nggak papa. Cuma… jangan kelamaan, ya? Takutnya malah jadi nggak baik buat hubungan lo sama Jaehyun,” ujar Sarah. “Lo juga, Nara. Sabar yaa, gue yakin Younghoon sooner or later akan ngelamar lo. Kalian udah kurang langgeng apa coba, ya kan?”

“Iya, gue sama Younghoon udah setahu itu satu sama lain. Gue udah menyerahkan diri gue seutuhnya buat Younghoon,” kata Nara.

Same here,” Sarah mengangguk setuju.

“Lo sama Jaehyun… udah?” Nara bertanya lagi pada Luna.

“Udah apa maksudnya?” Luna balik bertanya, nggak paham.

“Yelah, lo nggak ngerti? Gemes ih anak ini.”

“Apa sih, Sar? Udah apa maksudnya?”

Nara memelankan suaranya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Luna dan berbisik, “Had sex.”

Luna terbatuk saking kaget dengan apa yang ia dengar dari Nara. “YA NGGAKLAH, GILA AP—”

“Sssh! Kenceng amat sih? Pelanin suaranya woy.”

“Nggak! Gue nggak ngapa-ngapain sama Jaehyun, ciuman pertama aja baru kok. Kalian emangnya udah..? OMG.”

“Udah, nggak tau berapa kali udah nggak kehitung, gue pacaran sama Hoon aja udah lama banget.”

“Gue sama Juyeon juga rutin sih, at least once a week. Na, lo beneran never had sex with Jaehyun? Tapi dia kan suka nginep di tempat lo, Na? Lah itu kalian ngapain semaleman?”

“Ya tidur lah, gila! Tidur as in literal meaning. Gue di kasur gue, dia di sofa ruang TV. Selama Jaehyun nginep gue nggak pernah tidur seranjang sama dia. Dari pertama kali nginep, dia yang minta tidur di sofa dan sama sekali dia belum pernah nyentuh bagian private gue, kalau kalian mau tau.”

And you’re okay with that?” tanya Nara hati-hati.

I agree with that,” sahut Luna. “Lo tau nggak, bahkan sebelum cium bibir untuk pertama kalinya aja dia izin dulu ke gue. Nggak langsung nyosor.”

“Ya ampun, Luna… Dimana hari gini nemuin cowok kaya Jaehyun? Dia seganteng itu mau dapetin cewek manapun dia bisa, diajak one night stand juga kayanya cewek-cewek pada antri kalau sama Jaehyun sih. Tapi dia sesopan itu ke lo. Ini gila sih, nggak nyangka gue.”

“Na, beneran deh kalian mesti langgeng, ya? Jaga banget hubungan kalian berdua ya.”

“Ih ini kenapa jadi bahas gue sama Jaehyun deh? Kita disini kan buat rayain tunangannya lo sama Juyeon, Sar.”

“Iya sih tapi gue gemes sama cerita lo dan Jaehyun, Na. Lucu banget kalian tuh.”

“Doain aja gue langgeng ya. Gue… sayang banget sama Jaehyun. Orangtuanya dia juga udah nerima gue dengan baik banget. Jadi yaa mestinya nggak ada halangan yang berarti sih untuk gue dan Jaehyun.”

“Kita aminin paling kenceng pokoknya buat lo dan Jaehyun yaa.”

Obrolan mereka terhenti oleh beberapa piring sushi yang kini disajikan oleh pelayan restauran. Belum semua pesanan keluar, tapi masing-masing dari mereka yang sudah lapar langsung mulai menyantap sushi yang sudah tersaji.

Baru menghabiskan suapan keduanya, ponsel Luna berdering dan ternyata mamanya yang menelepon.

“Lagi makan, Ma. Makan sushi, ini sama Sarah, Nara.”

“Hai, Tanteee…” Sarah dan Nara berseru berbarengan ke arah ponsel Luna supaya sapaannya terdengar oleh mamanya Luna.

“Salam buat Sarah, Nara,” kata Mama di ujung sana, yang langsung disampaikan oleh Luna ke kedua sahabatnya itu.

“Na,” kata Mama lagi. “Mama sama ayah mau kesana ya. Udah beli tiket, rencananya Jumat malam berangkat dari Changi, Sabtu pagi sampai Incheon. Nanti jemput ya?”

“Ehh beneran, Ma? Nggak hoax, kan?” tanya Luna antusias.

“Nggak dong, tiketnya juga udah dibeli. Emangnya kamu, hoax terus katanya mau kesini tapi nggak jadi terus.”

“Hehe maafin ya, Ma. Sibuk aku disini. Maaf ya?”

“Iya nggak papa, Sayang. Tapi nanti Sabtu beneran jemput, ya? Kamu libur kan? Ayah udah sengaja tuh ambil cuti demi ketemu anak tunggalnya.”

“Siap, aku pasti jemput. Boleh sekalian ajak Jaehyun nggak, Ma?”

“Eh iya dong, ajakin Jaehyunnya, ya. Ayah juga mau ketemu, mau ngobrol katanya sama Jaehyun.”

“Ma, tapi bilang Ayah ya. Jangan ngobrolin nikah. Ayahnya mana coba, aku pengen ngomong.”

“Ayah kan di kantor, ini Mama di rumah. Ya nggak tau nanti Ayah mau ngobrol apa, terserah Ayah. Mungkin cuma mau tau aja hubungan kalian mau dibawa kemana.”

“Jaehyun sih udah ngomong. Dia serius sama aku, Ma.”

“Oh, ya udah bagus. Tinggal kamunya nih jangan plin plan. Giliran dapet yang baik begini kamunya ragu, gimana sih? Padahal orangtua Jaehyun udah sebaik itu ke kamu.”

“Iya, ini Nara sama Sarah juga barusan persis ngomong gitu ke aku.”

“Tuh kan. Tapi ya Mama sih nggak maksa, ya. Toh kalian yang ngejalanin. Mama, Ayah, dan orangtuanya Jaehyun juga Mama yakin, cuma bisa mendukung aja apapun itu keputusan kalian. Dan mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

“Iya, Ma. Makasih ya. Ma, nanti ngobrol lagi, ya? Aku mau lanjut makan dulu boleh ya, Ma? Laper banget.”

“Oke, Sayang. Nanti telepon Ayah jangan lupa, kangen dia sama kamu.”

“Iya, Ma. Nanti Luna telepon Ayah. Daaah, Ma. Love you.

“Kyaaa orangtua gue mau kesini nanti weekend. Duh, tegang banget. Doain lancar ya, Ayah mau ngobrol-ngobrol katanya sama Jae,” Luna berkata setelah menyudahi obrolannya dengan Mama.

“Ya bagus dong, jadi sama-sama enak, lo udah pernah ketemu orangtua Jae dan Jae bakalan ketemu orangtua lo secepetnya,” Nara menanggapi yang diikuti anggukan setuju dari Sarah.

Sebelum melanjutkan makan, Luna menyempatkan untuk mengabari Hyunjae dulu tentang rencana kedatangan mama dan ayah.

Yang, mama barusan telpon. Mau kesini sama ayah, sabtu nanti.

Ikut jemput ya, Yang? Ayah mau ngobrol juga katanya sama kamu.

Ayah yang mau ngobrol, aku yang mules.

Karena Luna tahu Hyunjae tidak akan memberikannya balasan yang cepat, Luna memasukkan lagi ponselnya ke dalam tas dan melanjutkan makan siangnya yang tertunda.


Akhirnya hari Rabu yang ditunggu tiba, Hyunjae hari ini kembali ke Seoul setelah menghabiskan lima harinya di Jeju. Luna sudah menunggu di bandara sejak jam 6 sore, masih lengkap dengan setelan kerjanya—rok span di atas lutut warna baby pink dan atasan blouse lengan pendek warna putih dengan ornamen manik-manik kecil bertabur disekeliling bagian leher blouse-nya. Karena cuaca musim gugur yang mulai dingin, nggak lupa Luna membalut tubuhnya dengan outer coat yang tidak terlalu tebal, berwarna baby pink senada dengan rok spannya.

Sekitar dua puluh menit setelah pengumuman mendaratnya pesawat yang ditumpangi kantor Hyunjae, pintu gerbang kedatangan terbuka dan satu-satu penumpang mulai berhamburan keluar.

Luna memicingkan matanya mencari sosok yang sangat dirindukannya itu dan senyumnya mengembang ketika matanya beradu dengan mata kekasihnya. Senyuman Luna dibalas oleh Hyunjae yang terlihat berjalan tergesa menghampiri Luna. Ketika jarak diantara keduanya akhirnya terkikis, Hyunjae memeluk Luna erat. Dia lupa, adegannya ini menjadi tontonan segar bagi rekan-rekan kerjanya.

“Yang, kenalan dulu ya sama temen kantorku yang lain? Mumpung ketemu. Sekalian ada atasanku.”

Luna mengangguk. Tangannya digenggam oleh Hyunjae ketika berjalan mendekati rombongan anak-anak kantor Hyunjae.

Setelah Luna dikenalkan pada atasan-atasannya, Hyunjae juga mengenalkannya pada teman-teman di luar divisinya—selain Sangyeon, Jacob, Kevin dan Sunwoo—termasuk pada Jisoo dan teman magangnya.

Ini aslinya yang namanya Jisoo, kata Luna dalam hati. Setelah berkenalan, Luna dan Hyunjae pun pamit untuk berpisah dari rombongan.

“Makasih udah jemput aku. Gantian aku yang nyetir, ya? Capek kamu pasti pulang kerja,” kata Hyunjae sesampainya mereka di parkiran. “Sini kunci mobilnya.”

Mobil yang dipakai Luna untuk menjemput di bandara adalah mobil Hyunjae, yang memang disimpan di basement apartemen Luna selama Hyunjae tidak ada.

“Beneran kamu mau nyetir? Aku nggak capek, kok. Malah lebih capek kamu kayanya.”

“Nggak papa sayang, aku tadi di pesawat tidur.”

“Jadi, Sabtu nanti kita ketemu Mama sama Ayah, ya? Aku nggak sabar,” lanjut Hyunjae lagi ketika mobilnya sudah meninggalkan lahan parkir bandara. Bersiap menembus jalanan besar kota.

“Iya, aku juga nggak sabar. Kangen mereka.”

“Kamu sih, aku ajakin ke Singapore tapi nunda-nunda terus. Nggak enak jadinya Mama-Ayah deh yang nyamperin kesini.”

“Hehe iya, Mama juga tadi protes gitu. Mmh, Yang, aku boleh tanya sesuatu nggak?”

“Boleh, tanya apa?”

Lalu Luna pun yang sudah nggak kuat kepalang penasaran langsung menanyakan perihal Jisoo yang dilihatnya nyaris selalu berdekatan dengan Hyunjae di postingan Sunwoo beberapa waktu lalu.

“Jisoo memang belum terlalu dekat banget sama anak-anak kantor selain divisiku. Dia cuma punya satu temennya yang sesama anak magang. Jadi selama gathering kemarin memang dia mau nggak mau ngintilin tim aku terus. Temennya juga sesekali sih ikutan gabung di tim aku. Tapi kayanya temennya dia lebih supel, jadi temennya itu udah bisa gabung kemana-mana sebenernya. Jisoo-nya nih pemalu banget.”

“Oh gitu. Yaa, nggak papa sih, aku nggak gimana-gimana cuma agak kaget aja jujur, pas lihat tiap ada kamu pasti ada Jisoo di foto-fotonya Sunwoo.”

“Maklumin ya, Yang? Namanya juga satu tim.”

“Kamu ngerasa ada gelagat aneh nggak dari Jisoo? Ngerasa dia genit nggak ke kamu?”

“Nggak, genit gimana dia pemalu banget gitu.”

“Soalnya dia cantik banget—”

“Terus kenapa, cemburu lagi kamunya? Yang, kurang-kurangin deh cemburu nggak berdasar kaya gitu. Kesannya kamu jadi nggak yakin sama aku kalau kamu masih aja ada curiga atau ketakutan.”

“Maaf sayang. Nggak bermaksud curigaan ke kamu. Makasih ya, udah jelasin soal Jisoo. Maafin aku salah paham.”

“Jangan tanya yang aneh lagi kaya gitu ya? Janji?”

“Iya, janji.”

Mobil Hyunjae berhenti ketika lampu merah menyala. Hyunjae yang belum menyalurkan rasa rindunya pada Luna, menoleh ke samping kanannya. Dia menikmati menatap wajah mungil dan cantik milik Luna, yang sedang menatap lurus jalanan di depannya. Luna yang merasa sedang diperhatikan, menoleh ke arah Hyunjae.

Luna mencondongkan tubuhnya mendekati Hyunjae saat sebelah pipinya dielus halus oleh jari-jari Hyunjae. Ketika ibu jari Hyunjae menyentuh bibirnya, Hyunjae bertanya pelan padanya, “Cium, ya? Boleh?”

Luna mengangguk. “Lain kali, nggak usah nanya lagi. Kamu selalu boleh.”

Hyunjae mendaratkan ciumannya di bibir perempuan terkasihnya itu dengan hati-hati. Ketika akhirnya bibir mereka bersentuhan, Hyunjae merasa seperti ingin meluruhkan rasa rindunya yang terpendam dan belum sepenuhnya tercurah. Hyunjae sangat ingin Luna merasakan betapa ia menyayanginya dengan sepenuh hati. Dan pesannya itu tersampaikan. Luna tahu Hyunjae bersungguh-sungguh dengan perasaannya, dan Luna juga sadar bahwa dirinya pun sungguh amat menyayangi Hyunjae.

Tepat ketika lampu merah berganti menjadi kuning, Hyunjae melepaskan ciumannya perlahan, mengecup kening Luna dan kembali memusatkan konsentrasinya untuk menyetir.


Hari Jumat pagi, tubuh Hyunjae yang masih terbalut selimut perlahan bergerak ketika ia terbangun dari tidurnya. Rasanya semalam Hyunjae sudah tidur cepat, bahkan tidak kuat menuruti permintaan Luna yang minta ditemani mengerjakan laporan sambil video call, tapi rasanya pagi ini Hyunjae terbangun dengan badan yang luar biasa lelah. Bukannya segar, bangun tidur pagi ini Hyunjae merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia merasakan pegal menjalar hampir di tiap sendinya, kepalanya berat dan pening, matanya terasa panas dan saat ia mencoba berdeham, tenggorokannya terasa luar biasa kering, perih.

Sepulang dari gathering kantor di Jeju hari Rabu malam, Hyunjae memang mulai merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi ia hanya mengira dirinya kelelahan dan kurang istirahat. Nyatanya hari Kamis pagi—beruntung kantornya diliburkan pasca acara *gathering—*Hyunjae terbangun dengan tubuh meriang, tapi setelah mengkonsumsi paracetamol dan istirahat seharian, Hyunjae merasa baikan. Ia juga tidak bercerita apa-apa pada Luna soal kondisinya karena dirasa sudah baikan.

Kamis malam, mendadak tubuhnya kembali meriang kali ini ditambah dengan kepalanya yang terasa begitu berat, pening. Hyunjae memutuskan untuk tidur cepat, dengan masih tidak memberitahukan Luna kondisinya. Selain tidak ingin membuat Luna khawatir, Hyunjae masih berharap ini hanya efek kelelahan dan kurang tidur karena acara gathering. Tapi ternyata sampai Jumat pagi ini tubuhnya malah semakin drop dan Hyunjae sadar, dia sepertinya bukan hanya kelelahan. Hyunjae sakit.

Susah payah Hyunjae berusaha meraih laci meja di samping kasurnya, ingin mengambil thermogun untuk mengecek suhu tubuhnya. Setelah berhasil, Hyunjae tertegun melihat angka digital di layar thermogun-nya. Tiga puluh sembilan koma lima derajat celcius. Pantas matanya terasa begitu panas. Hyunjae merapatkan lagi selimut di tubuhnya dan memejamkan matanya, mencoba menghilangkan rasa pening di kepalanya. Ia harus bisa bangun untuk sekedar membuat sarapan agar dirinya bisa makan dan minum obat.

Akhirnya setelah memaksakan diri untuk bangun, Hyunjae berjalan keluar kamarnya menuju dapur. Ia hanya mampu mengambil selembar roti tawar dan sekotak biskuit, dan kembali ke kamarnya dengan tertatih. Selesai sarapan seadanya, Hyunjae minum obatnya lagi dan merebahkan dirinya di kasur. Kali ini ia menyerah, ia butuh Luna.

Yang, aku sakit.

Kalau kamu nggak capek, pulang kerja ke tempatku ya? I need you.

Tidak lama setelah mengetikkan pesannya untuk Luna, Hyunjae tertidur.

***

“Sayang, hei ini aku. Bangun dulu yuk, makan dulu. Kamu tidur dari jam berapa?”

Hyunjae mengerjapkan matanya saat ia merasakan sapuan lembut menjalar di keningnya. “Na? Kapan nyampe?”

“Setengah jam lalu deh kayanya. Badan kamu panas banget, Yang. Aku udah dua kali ganti kompres tapi kamu masih belum bangun. Maaf ya, aku bangunin. Kamu pasti belum makan yang bener, ya?”

“Na, ini masih jam 4 sore kok kamu udah disini?”

“Aku izin pulang cepet. Maaf ya, Jae, chat kamu baru aku baca pas mau makan siang tapi aku nggak bisa langsung kesini, aku ada meeting dulu tadi. Baru selesai jam 3 dan aku langsung izin pulang. Terus kesini.”

Mata Hyunjae menyendu, ia merasa tidak enak sudah membuat Luna meninggalkan kantor sebelum waktunya. “Maafin aku, kamu jadi repot begini. Maaf kamu jadi harus pulang cep—”

“Ssssh,” Luna memotong kalimat Hyunjae sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir Hyunjae yang kini terasa hangat di jarinya. “No need to be sorry, Sayang. Yuk, bangun sebentar ya? Senderan aja di kasur, aku udah bikinin chicken soup sama teh ginseng merah.”

Hyunjae menurut. Dengan dibantu Luna, ia mengerahkan semua sisa tenaganya untuk menegakkan tubuhnya dan bersandar di sandaran kasur.

Luna duduk di tepi kasur Hyunjae dengan semangkuk chicken soup buatannya di tangan. Ia menyendokkan supnya, setelah sebelumnya meniupinya pelan agar supnya tidak terlalu panas di mulut Hyunjae.

“Ih malu banget, masa disuapin gini. Kaya anak kecil.”

“Hilangin dulu coba gengsinya, kamu lagi lemes gitu. Bisa emang makan sendiri?”

“Galak banget sih, pacar lagi sakit juga.”

“Kamunya gemesin sih, lagi sakit masih aja tetep tsundere-nya nggak ilang.”

Satu suap, tiga suap, lima suap.

Nggak butuh waktu lama, mangkuk di tangan Luna kini kosong. Isinya habis tidak bersisa.

“Supnya enak banget.”

“Masa? Enak atau kamu terpaksa makan karena kelaperan?”

“Yang, ih!”

Luna tertawa. Dalam hati ia senang juga sup buatannya dihabiskan oleh Hyunjae dalam sekejap.

“Sekarang tehnya diminum ya.”

Hyunjae meraih cangkir dari tangan Luna dan menyesap tehnya sedikit-sedikit. Ia memejamkan matanya sejenak dengan kepala bersandar di sandaran kasur. Teh ginseng merah ini memang enak sekali dikonsumsi apalagi ketika tubuh dalam keadaan meriang seperti ini.

Hyunjae membuka matanya lagi dan melihat Luna beranjak dari duduknya, berjalan ke arah lorong walk-in closet sebelum akhirnya berhenti di depan lemari baju Hyunjae, membukanya dan mengambil handuk kecil dan satu set baju tidur dari dalam lemari.

“Seka ya badannya? Biar segeran kamunya. Aku siapin air hangatnya dulu,” kata Luna setelah melihat Hyunjae menghabiskan tehnya.

“Aku lemes, nggak kuat di kamar mandi lama-lama.”

“Nggak usah di kamar mandi, kamu di kasur aja. Aku sekain.”

Hyunjae baru akan melanjutkan argumennya ketika Luna keburu menghilang ke dalam kamar mandi, dan muncul kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.

Dengan telaten, Luna melepaskan kaos Hyunjae yang sudah basah dan lembab terkena keringat dingin. Dengan tangan kanan terbalut washcloth yang sudah dibasahi dengan air hangat, disekanya mulai dari wajah Hyunjae hingga seluruh tubuh bagian atas, termasuk kedua lengan Hyunjae. Selesai seka, Luna mengeringkan dengan handuk kecil yang tadi sudah disiapkan, membalurkan eucalyptus oil di bagian dada, perut dan punggung Hyunjae, lalu memakaikan kaos ganti yang diambilnya di lemari baju tadi.

Selesai bagian atas, kini Luna menyingkap selimut yang menutupi area pinggang Hyunjae ke bawah, dan menyeka bagian lutut hingga ujung jari-jari kaki Hyunjae. Setelah dikeringkan dengan handuk, Luna menyerahkan celana pendek ganti berikut dengan underwear-nya pada Hyunjae.

“Ganti sendiri ya celananya, bisa kan? Aku beresin air bekas seka sama cuci piring dulu. Panggil aku kalau ada apa-apa, ya.” Selesai berkata begitu, Luna mencium pucuk kepala Hyunjae sekilas, dan dengan gesit segera mengangkat baskom berisi air bekas seka di tangan kanan dan mangkuk serta cangkir bekas di tangan kiri.

Setelah Luna meninggalkan kamarnya, Hyunjae mengganti underwear dan celana pendeknya dengan setelan baru yang tadi disiapkan Luna. Walaupun masih lemas, tapi Hyunjae bisa merasakan tubuhnya agak enakan dan sedikit segar setelah seka dan ganti baju. Sebelum merebahkan tubuhnya lagi di kasur, Hyunjae meminum obat yang juga sudah disiapkan Luna di meja samping kasurnya.

Luna yang sudah kembali ke kamar, memunguti baju kotor Hyunjae di lantai dekat kasur dan membawanya ke keranjang cucian. Kebiasaan Luna dan Hyunjae yang tinggal sendirian adalah mencuci baju satu minggu sekali, di hari Sabtu. Tapi ketika dilihatnya keranjang cucian Hyunjae sudah penuh karena banyak baju kotor dari acara gathering kemarin, Luna memutuskan untuk mencucikannya malam ini karena tahu Hyunjae pasti masih terlalu lemas untuk sekedar mengurus cucian baju.

Setelah mesin cuci mulai bekerja, Luna kembali menghampiri Hyunjae di kamar. Tangannya menyentuh dahi dan leher Hyunjae, masih agak panas. Luna mengarahkan thermogun ke dahi Hyunjae, kali ini angka tiga puluh delapan tertera di layar. Masih agak panas. Luna memutuskan untuk mengompres dahi Hyunjae lagi.

“Kalau besok masih belum baikan, kita ke dokter, ya?” Luna berkata lembut. Buku jarinya mengusapi kepala Hyunjae.

Masih dengan mata terpejam, Hyunjae mengangguk. Tangannya lalu bergerak meraba kasur, mencari tangan Luna untuk digenggam. “Maafin aku besok batal jemput mama dan ayah kamu di bandara. Aku nggak enak banget, Na.”

“Udah, jangan dipikirin. Mama ayah bakal agak lama kok di sini, kamu masih bisa ketemu kalau udah sehat. Yang penting sekarang kamu sehat dulu, ya?”

“Na…”

“Ya sayang?”

“Tidur sini ya malam ini? Temenin aku, ya?”

“Iya, aku nginep malam ini. Besok pagi aku tinggal dulu tapinya ya? Mama jam 1 malam ini take off, besok jam 8 pagi mendarat. Aku jemput dulu ke bandara. Aku udah minta tolong temen-temen kamu besok kesini, yang bisa pagi Kevin sama Jacob. Mereka jam 9 kesininya. Nanti siangan gantian antara Sangyeon atau Sunwoo yang nemenin. Katanya sih Eric juga mau ikut, panik dia kakak kesayangannya tiba-tiba sakit.”

Hyunjae kaget mendengar penuturan Luna. Dia nggak menyangka Luna sampai menghubungi teman-temannya. “Na, kamu segitunya sampe hubungin mereka buat nemenin aku?”

“Iya, aku bingung soalnya. Nggak tega ninggalin kamu sendiri, tapi aku harus pergi jemput mama ayah. Akhirnya tadi aku coba tanya deh barangkali temen-temen kamu pada bisa nemenin, untungnya bisa.”

“Makasih, Sayang. Nggak ada yang sebaik kamu memang.”

“Aku pengen sayangku cepet sembuh. Sedih lihat kamu yang biasanya bawel sekarang lemes gini.”

Hyunjae terkekeh pelan, menampilkan jajaran gigi-gigi putihnya yang berderet rapi. Luna berdecak dalam hati, bahkan dalam kondisi sakit dan tidak mandi seharian pun Hyunjae masih tetap terlihat tampan.

“Aku mau mandi dulu ya. Kamu masih laper nggak? Kalau mau makan lagi habis mandi aku bikinin bubur ikan.”

“Nggak, Yang, makasih ya. Aku mau tidur aja. Selesai mandi kamu jangan lupa makan malam. Nanti tidur di samping aku, ya? Jangan di sofa. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, lemes gini akunya juga.”

“Hahaha iya iya. Kamu sehat aja nggak pernah ngapa-ngapain aku, apalagi kamu lagi lemes.”

Setelah membantu Hyunjae menyamankan posisi tidurnya, Luna membenahi selimut supaya menutupi tubuh Hyunjae dengan sempurna. Selesai dengan Hyunjae, Luna mengambil emergency handbag-nya—beruntung di mobilnya Luna selalu sedia tas darurat yang berisi satu set dalaman, baju tidur, dan baju pergi bersih sekaligus toiletries travel-sizedan membawanya ke kamar mandi. Luna ingin segera membersihkan dirinya dan beristirahat di kasur. Menyadari betapa lelahnya ia hari ini, Luna berencana ingin mengandalkan food delivery saja untuk makan malamnya.

Chapter 10.

“Oke, Mama. Aku sama Jaehyun udah sampe. Kita di teras ya, nanti bilang aja atas nama Jaehyun Lee. Telepon aku kalau susah nemu tempatnya.”

Klik!

Luna melipat kembali ponsel flip-nya setelah teleponnya dengan Mama selesai. Ia merapatkan outer-nya sambil mengalihkan pandangan menatap hamparan kota Seoul—distrik Gangnam lebih tepatnya—dari teras atas steak house bernama Outback di mall COEX.

Hyunjae duduk di sebelahnya dengan mata terfokus pada ponselnya. Keduanya sama-sama masih mengenakan setelan kerja karena memang habis dari kantor langsung menuju ke restoran ini. Hyunjae dari kantornya menjemput Luna dulu tadi, sedangkan orangtua Luna dari hotel langsung menuju kesini. Hyunjae yang beberapa hari lalu sempat sakit, kini sudah sehat lagi dan akhirnya siap untuk bertemu orangtua Luna.

“Main HP aja, aku dianggurin,” protes Luna ketika menit demi menit berlalu dan Hyunjae masih terlihat fokus pada ponselnya. Tidak ada tanda-tanda Hyunjae akan beralih dari ponselnya.

“Sebentar, Yang. Ini ada email dari vendor, aku balas dulu bentar ya.” Hyunjae menjawab, namun matanya tidak lepas dari layar ponsel. Jari-jarinya sibuk mengetik.

“Ini udah lewat office hour, besok lagi bisa nggak sih?”

Kali ini Hyunjae tidak menjawab. Keningnya sesekali berkerut dengan jari yang masih sibuk mengetik.

Luna menunggu.

Detik ke detik, hingga akhirnya berubah menjadi menit.

“Lee Jaehyun! Aku ngambek nih ya.”

Tepat setelah email-nya terkirim, Hyunjae menekan tombol back hingga ponselnya kembali menampilkan home screen, membuatnya berada dalam silent mode, lalu mengunci ponselnya. Disimpannya ponselnya di saku celananya.

“Iya ini udah, maaf ya? Dua hari absen kerja bikin to-do list-ku kacau, banyak yang kelewat.”

“Apa gunanya di tim kamu banyak orang gitu kalau kamu nggak masuk dua hari aja langsung jadi kacau?”

“Sayang jangan gitu ngomongnya, timku kan masing-masing ada kerjaannya sendiri. Tanpa ditambahin kerjaanku, kerjaan mereka juga udah ribet. Maaf ya, nggak maksud anggurin kamu tadi.”

Wajah Luna melunak. Dia jadi merasa bersalah atas ucapannya tadi. Ini hari pertama Hyunjae kerja setelah dua hari absen karena sakit, seharusnya Luna mengerti hal itu pasti membuat Hyunjae yang perfeksionis menjadi terganggu karena banyak kerjaannya yang menjadi agak keteteran.

“Maafin aku, Yang. Nggak seharusnya aku ngomong gitu soal tim kamu.”

Hyunjae tersenyum lembut sambil mengelus rambut panjang Luna yang tergerai. Diselipkannya beberapa helai rambut Luna di balik telinga. “Iya, nggak apa-apa. Mama udah sampe mana?”

“Sebentar lagi sih harusnya, tadi di telepon bilangnya udah deket.”

“Aku tegang nih.”

“Nggak usah tegang, kata Mama kamu calon menantu idaman.”

“Hahaha masa? Padahal belum juga ketemu Mama.”

“Muka kamu tipe-tipe muka yang bakal disukain sama para mama-mama kayanya sih, Yang. Muka ganteng anak baik-baik gitu.”

Hyunjae tertawa lagi mendengarnya. “Ada-ada aja sih kamu, Na.”

“Ih, aku serius. Ayah juga komentar kok, kamu gagah katanya. Aku kasih tau ya, Ayah itu jarang hampir nggak pernah muji penampilan pacar-pacar aku. Lempeng aja dia biasanya.”

“Berarti emang mantan kamu dulu nggak gagah kali, makanya nggak dipuji sama Ayah.”

“Hei sembarangan. Kamu meragukan selera aku ya?”

“Hehehe bercanda.”

Obrolan ringan Luna dan Hyunjae terus mengalir hingga akhirnya dari kejauhan, Luna mengenali orangtuanya yang sedang berjalan menghampiri meja mereka ditemani seorang pelayan restoran.

Ketika akhirnya orangtua Luna sampai di meja, Hyunjae berdiri dari duduknya, memasang wajah ramah sambil tersenyum—mati-matian berusaha menghilangkan rasa gugupnya—lalu membungkukkan setengah badannya.

“Selamat malam, Om dan Tante. Saya Jaehyun.” Hyunjae memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan orangtua Luna satu-satu.

“Malam, Jaehyun. Yuk, duduk lagi. Jangan tegang ya, santai aja.” Ayah berkata ramah sambil menepuk pelan pundak Hyunjae. “Ini bukan acara lamaran lho, kamu udah tegang begitu.”

Hyunjae tersipu. Tidak menyangka ketegangannya terbaca dengan mudah oleh ayahnya Luna.

“Nggak apa-apa, Om ngerti kok. Om juga dulu tegang waktu pertama kali ketemu sama orang tua mamanya Luna,” lanjut Ayah lagi sambil tertawa.

“Om, Tante, Jaehyun minta maaf ya sebelumnya karena kemarin nggak jadi ikut jemput di bandara.”

“Oh ya, Luna cerita kamu kemarin sempat sakit ya? Sekarang udah sehat lagi kan, Nak? Kalian berdua ini tinggal sendiri nggak sama orangtua, mesti pinter-pinter jaga kesehatan ya.”

“Sekarang udah sehat lagi kok, Tante. Makasih udah diingetin ya, Tante. Kemarin kayanya terlalu capek karena kerjaan lagi sibuk dilanjut ada acara gathering kantor di Jeju.”

“Jaehyun, kamu kok tante lihat nggak seperti di foto ya.”

“Eh—maksudnya gimana, Tante?”

“Kalau di foto kamu ganteng, aslinya kamu ganteng banget. Kenapa mau sama Luna?”

“Mamaaa ih!”

Mamanya Luna tertawa melihat anak semata wayangnya mencebikkan bibir karena kesal. Sementara Hyunjae hanya bisa tersenyum sambil meraih tangan Luna di bawah meja, mengelus telapak tangannya.

“Malahan saya yang takut nggak pantas untuk Luna, apalagi Luna anak satu-satunya. Om dan Tante tentu mau yang terbaik yang jadi pendamping Luna. Mungkin saat ini saya belum jadi yang terbaik, tapi saya nggak akan lelah berusaha untuk jadi yang terbaik buat Luna.”

Jawaban Hyunjae membuat orangtua Luna agak kaget, tidak menyangka pemuda tampan dan santun di hadapan mereka ini bisa mengalirkan jawaban yang jujur tidak dibuat-buat, namun juga tulus. Luna, sama kagetnya seperti orangtuanya. Dia tahu Hyunjae serius dengan perasaannya, tapi tidak menyangka Hyunjae seserius itu dengannya.

“Jaehyun, terima kasih ya? Tolong bantu Om dan Tante untuk jagain Luna. Om percayakan kebahagiaan Luna sama kamu.”

Mata Luna terasa panas, dia sungguh terharu ayahnya bisa sepercaya itu pada Hyunjae dalam hitungan menit di pertemuan pertama mereka. Tangan kanan Luna menggenggam erat tangan Hyunjae—meremasnya kuat-kuat—sambil menahan airmatanya supaya tidak menetes. Hyunjae yang paham situasi, menoleh ke arah Luna dan menggelengkan kepalanya sekilas. Mengisyaratkan supaya Luna jangan menangis.

“Udahan ah sesi wawancaranya. Ayo kita pesen makan, aku laper banget nih.” Akhirnya Luna berusaha mencairkan suasana haru dengan mengangkat tangannya memanggil pelayan.

Setelah menghabiskan beberapa menit meneliti menu yang disajikan, akhirnya Luna melisankan makanan pilihan mereka pada pelayan yang dengan sigap mencatatnya—roasted prime rib untuk Luna dan Ayah, garlic butter grilled shrimp untuk Mama dan classic Australian beef tenderloin untuk Hyunjae. Setelah pelayan meninggalkan meja, Mama melanjutkan obrolan dengan Hyunjae.

“Jaehyun, gimana kerjaannya? Lagi ngerjain proyek apa?” tanya Mama. Ayah ikut menyimak tentu saja, sementara Luna hanya ikut mendengarkan sambil menumpu dagunya dengan telapak tangan. Ia sudah diceritakan duluan oleh Hyunjae di mobil saat perjalanan dari kantor tadi, mengenai proyek baru yang didapat timnya hari ini.

“Kemarin ini ada satu proyek yang baru selesai, Tan. Hari ini kebetulan dapet proyek baru lagi dan lumayan besar. Minta doanya supaya lancar ya, Om, Tante.”

“Wah, proyek apa, Jae?” kali ini Ayah yang bertanya antusias. “Tentu akan Om dan Tante doakan.”

“Perumahan, Om. Di Busan. Jadi lagi ada proyek pembangunan semacam kota mandiri di Jung-gu, saat ini udah ada empat kompleks perumahan siap huni, dan mau dibuat yang kelima. Proyek kelima ini yang saya dan tim bakal kerjain, Om. Akan ada sekitar 60 rumah yang mau dibangun di kompleks kelima ini.”

“Jae, itu proyek luar biasa lho bukan proyek kecil-kecilan. Berarti tim kamu dinilai baik sampe dikasih proyek besar seperti itu. Ada berapa orang di tim kamu, Jae?”

“Lima orang termasuk saya, ditambah satu anak magang. Kasian juga sih sebetulnya Om, anak magangnya belum ada satu bulan tapi tiba-tiba udah dikasih proyek besar.”

“Tapi sejauh ini dia bisa beradaptasi kan? Harus banyak-banyak sabar ya, Jae, kalau ngajarin anak magang.”

“Iya saya setuju, Om, memang butuh kesabaran ekstra ngajarin anak magang. Tapi sejauh ini dia kerjanya baik, adaptasinya juga baik.”

“Udah sih kenapa jadi bahas anak magang deh? Kan intinya lagi bahas proyeknya Jaehyun kenapa jadi ke anak magang?” Luna yang dari tadi hanya mendengarkan, mendadak berceloteh gusar.

Hyunjae tersenyum geli menahan tawa melihat Luna yang langsung bereaksi seperti itu. Mama dan Ayah bingung. “Kenapa sih, Na? Kok sewot sama anak magang? Kamu juga kan dulu sempet magang sebelum jadi staff tetap di kantor kamu,” kata Mama.

Luna tidak menjawab, hanya memutarkan bola matanya sambil melengos. Akhirnya Hyunjae yang memutuskan menjawab pertanyaan Mama, “Soalnya anak magangnya perempuan, Tante. Satu-satunya perempuan di tim saya. Luna suka cemburu padahal saya nggak macem-macem, saya bersikap profesional selayaknya hubungan antara senior dan anak magang.”

Mama dan Ayah langsung tertawa terbahak mendengar penjelasan Hyunjae. Sementara Luna, hanya terdiam sambil memanyunkan bibirnya.

“Sayang, jangan cemburuan gitu dong ah. Mama nggak pernah ajarin kamu untuk jadi cemburuan ke pasangan ya. Kasian Jaehyun kalau kamu cemburuin gitu padahal nggak ada apa-apa.”

“Abisnya anak itu kayanya naksir sama Jaehyun, Ma. Cantik juga lagi anaknya, jadi aku insecure.”

“Naksir aku kata siapa? Kamu gosip darimana coba, ngarang banget,” Hyunjae berkata gemas sambil mengacak pelan rambut Luna.

“Lagian kalau iya dia naksir Jaehyun ya biarin aja, orang kamu pacarnya Jaehyun kenapa kamu yang mesti insecure,” balas Mama.

“Iya nih, Tante. Jaehyun udah berkali-kali bilang gitu tapi Luna nggak percaya.”

“Udah ya udah, jangan bahas itu lagi, please…,” setengah merajuk, Luna menatap ayahnya seperti meminta bantuan.

Ayah hanya berbalik menatap anak satu-satunya itu sambil menahan senyum. Dalam hati Ayah merasa tenang karena Luna sudah berhasil sembuh dari sakit hatinya atas kandasnya hubungan sekaligus pertunangannya dengan Seokjin dulu. Ayah hanya bisa berharap semoga hubungan putri kesayangannya kali ini bisa berjalan lancar dan langgeng.

Ayah berdeham. Sebentar lagi akan melontarkan pertanyaan yang memang menjadi inti dari alasan ingin bertemunya Ayah dengan Hyunjae.

“Nak Jaehyun, kamu benar serius sama Luna ya?” tanya Ayah.

Hyunjae menjawab mantap tanpa ragu, sambil menganggukan kepalanya. “Iya, Om. Saya serius menjalani ini dengan Luna. Walaupun proses dari awal kenal sampai akhirnya resmi pacaran terhitung cepat, tapi hati saya sudah yakin memilih Luna… untuk jadi pendamping hidup saya.”

“Kamu kapan berencana melamar Luna?”

Hyunjae baru akan membuka mulut untuk menjawab ketika Luna lebih dulu menyela dengan nada sedikit panik. “Masih nanti, Yah. Nggak buru-buru yang jelas. Aku sama Jaehyun masih sibuk banget kerja, apalagi Jae baru dapet proyek baru. Dan sekarang keluarga Jae juga lagi fokus ngurus pernikahan kakaknya dulu. Jadi, Jaehyun nggak dalam waktu dekat ini ngelamar aku.” Luna lalu beralih menatap Hyunjae, “Ya kan, Jae?”

Hyunjae mengerjapkan matanya, “Ya sebetulnya aku—”

“Aku belum siap.” Tiga kata yang barusan meluncur dari bibir Luna sukses membuat pacar dan orangtuanya kaget. Luna memutuskan mengulangi lagi kalimatnya, “Aku belum siap. Bukan nggak mau, tapi belum siap.”

Luna menunduk. Jarinya sibuk memainkan sedotan di gelas orange juice-nya. Yang ditakutkan Luna ternyata kejadian, ayahnya betulan menanyakan hal itu pada Hyunjae.

Untuk menenangkan Luna, Hyunjae memberanikan diri menyentuh tangan Luna, menjauhkannya dari sedotan. Digenggamnya telapak tangan Luna sambil berkata pada Ayah dan Mama, “Jaehyun akan melamar kalau Luna udah siap, Om, Tante. Nggak apa-apa, Jaehyun ngerti Luna pasti butuh waktu buat yakinin dirinya.”

“Nggak, bukan itu. Bukan aku nggak yakin sama kamu,” kata Luna.

Sejujurnya, Luna bingung bagaimana menyampaikannya pada Hyunjae karena memang ia nggak pernah bercerita soal trauma dan sakit hati atas hubungannya dengan Seokjin dulu. Luna nggak pernah sekali pun menyinggung soal Seokjin di hadapan Hyunjae. Luna paham, Hyunjae pasti akan menyangka alasan Luna tidak ingin buru-buru bicara masalah nikah adalah karena Luna belum yakin dengan dirinya, padahal bukan itu. Luna takut. Takut mengalami kegagalan seperti yang dialaminya dengan Seokjin.

“Luna sebetulnya udah yakin sama kamu, Jae,” kata Mama, mencoba menjelaskan. “Tapi memang ada trauma agak dalam soal nikah. Luna belum pernah cerita ke kamu, ya?”

Hyunjae kaget—ada terbesit rasa kesal juga yang timbul tiba-tiba—karena merasa tidak pernah tahu sama sekali soal Luna yang pernah punya trauma soal pernikahan. Banyak pertanyaan mendadak muncul di otak Hyunjae, termasuk mengapa Luna sampai detik ini masih tidak memberitahukannya perihal trauma itu—yang sepertinya terdengar serius.

Luna mendekatkan bibirnya ke telinga Hyunjae dan berbisik, “Maaf ya, nanti aku cerita.”

Hyunjae yang tahu dirinya tidak punya banyak pilihan saat ini, hanya mengangguk mengiyakan tanpa suara.

***

“Om, Tante, terima kasih banyak untuk makan malamnya hari ini. Lain kali, izinin Jaehyun yang traktir ya, Om.”

Saat ini Mama, Ayah, Luna dan Hyunjae sudah berada di tempat parkir yang terletak di basement mall. Kebetulan parkir mobil Hyunjae dan orangtua Luna ternyata tidak terlalu jauh, jadi setelah keluar restoran tadi mereka berempat bisa berjalan bersama menuju tempat parkir.

Karena Ayah ada acara lanjutan bertemu dengan koleganya semasa masih menjabat di kedutaan Korea dulu, Luna yang tadinya mau ikut orangtuanya pulang ke hotel, tidak jadi. Akhirnya Luna tetap pulang bersama Hyunjae.

“Sama-sama, Om titip Luna ya, Nak. Kalau dia nakal marahin aja nggak apa-apa. Makasih udah meluangkan waktu ketemu Om dan Tante.”

“Kalian berdua harus akur ya, saling sayang saling jaga. Ingat, komunikasi itu penting. Kalau ada apa-apa sebaiknya diselesaikan secepatnya jangan ditunda.”

“Iya Mama, Ayah. Makasih udah diingetin. Kita berdua bakal baik-baik aja, kok.”

“Terima kasih juga untuk kepercayaan Om dan Tante. Saya akan bertanggung jawab atas hidup Luna.”

Luna memeluk erat Mama dan Ayah bergantian sebelum berpamitan. Setelahnya, giliran Hyunjae yang dipeluk oleh Mama, dan berjabat tangan dengan Ayah sambil bahunya ditepuk-tepuk oleh Ayah.

“Besok pulang kerja aku nginep di hotel ya,” Luna berkata sambil merunduk setelah Mama masuk mobil dan membuka kaca jendelanya.

Tidak lama kemudian, mobil sedan hitam yang disewa Ayah menderu meninggalkan lahan parkir. Luna menarik nafas dan menghembuskannya, lega akhirnya pertemuan antara orangtuanya dan Hyunjae selesai dan berjalan lancar. Hanya tinggal satu urusan lagi yang harus Luna selesaikan dengan Hyunjae.

Di mobil setelah mengencangkan sabuk pengaman, Luna baru akan memulai bicara namun sudah didului oleh Hyunjae.

“Kenapa, Na? Kenapa nggak pernah cerita soal trauma?”

Mendengar nada bicara Hyunjae yang walaupun tidak meninggi tapi menyiratkan kegusaran, membuat Luna jadi sedikit gugup. “Maaf, aku salah nggak cerita ke kamu. Aku takut kamu nggak nyaman untuk dengar cerita soal hubunganku sama mantanku dulu.”

“Soal trauma ini… memang nggak ada yang tau atau cuma aku aja yang nggak tau?”

Entah karena AC mobil atau memang dirinya yang semakin gugup, Luna bisa merasakan jari-jarinya mendadak terasa dingin.

“K-kamu yang nggak tau,” Luna menjawab lirih. “Teman-temanku tau karena Seokjin—mantanku itu—temen kakaknya Juyeon. Juyeon yang ngenalin aku ke Seokjin. Otomatis dia dan Younghoon tau ceritaku sama Seokjin bahkan dari awal kenal sampai kita udahan. Nara, Sarah, Yeonjun dan Eric juga tau.”

Hyunjae mendesah berat. Dia tidak suka dengan kenyataan bahwa dia satu-satunya yang tidak tahu masalah ini. “Aku kecewa kamu nutupin hal ini dari aku. Kamu tau nggak, malu banget aku rasanya pas tadi Mama bilang kamu ada trauma soal nikah. Aku malu karena nggak tau apa-apa soal itu. Tega banget kamu, Na.”

“Yang, maafin aku…”

“Sebetulnya apa yang terjadi antara kamu dan Seokjin?”

“Proses pacarannya aku dan Seokjin mirip sama kita, nggak lama setelah kenal langsung jadian. Bedanya, setelah hampir 5 bulan pacaran aku baru dikenalin ke orangtuanya yang tinggal di Daegu. Ayah dan adik-adiknya baik, tapi mamanya nggak suka sama aku… karena aku bukan orang Korea.”

“Aku tau harusnya dari pertemuan pertama dan udah ditolak sama mamanya, udah jelas hubunganku sama Seokjin nggak akan berhasil. Tapi dia minta kita untuk ngejalanin dulu dan berjuang untuk dapetin restu mamanya. Nggak kerasa, udah jalan dua tahun tapi restu mamanya masih nggak turun juga. Akhirnya Seokjin nekat lamar aku tanpa sepengetahuan orangtuanya dan begonya aku iyain. Berharap dengan cara itu mamanya bisa luluh.”

“Tapi ternyata aku dan Seokjin terlalu naif. Mamanya tetap nggak setuju. Akhirnya nggak ada pilihan selain aku dan Seokjin harus pisah dan batalin pertunangan kita.”

“Itulah kenapa aku sempet takut banget pas diajak ketemu orangtua kamu, Yang. Aku takut ditolak lagi. Walaupun sekarang aku tenang karena orangtua kamu menerima aku dengan baik, tapi tetap ada rasa khawatir. Aku masih inget betapa terpuruknya hidup aku ketika harus pisah dari Seokjin. Rasanya menyakitkan banget.”

“Sekarang Seokjin udah nikah akhirnya, sama perempuan pilihan mamanya. Cepet banget, jarak setahun aja setelah putus dari aku. Dan nggak lama itu pula kamu datang di hidupku, Jae. Lukaku pelan-pelan sembuh berkat kehadiran kamu. Tapi aku nggak bisa bohong, rasa traumanya masih ada.”

Hyunjae menggigiti bibir bawahnya menahan emosi mendengar cerita Luna. Tangannya mengeratkan pegangannya pada setir mobil. Rahangnya mengeras. Hyunjae sadar ia sedang dalam keadaan marah.

“Hyunjae… say something. Please?” Luna menatap Hyunjae takut-takut. Pertengkaran pertamanya dengan Hyunjae akhirnya terjadi juga.

Hyunjae masih belum mengeluarkan kata-kata. Dirinya masih sibuk berkonsentrasi menyetir sambil mengatur emosinya supaya tidak semakin naik. Walaupun sedang marah tapi Hyunjae tidak ingin sembarangan bicara. Ia tidak ingin membuat situasi semakin runyam.

“Aku tau kamu marah. Tapi please kamu harus percaya aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi ke Seokjin. Aku udah sepenuhnya move o—

“Bukan itu, Deluna.”

Luna tertunduk, tidak berani menatap ke arah Hyunjae lagi setelah didengarnya Hyunjae memanggilnya dengan sebutan lengkap. Ia paham, marahnya Hyunjae serius.

“Aku nggak marah karena kamu pernah mencintai laki-laki lain. Salah kalau aku marah karena itu. Nggak cuma kamu, aku juga pernah punya masa lalu, pernah mencintai perempuan lain sebelum kamu.”

“Aku marah karena menurutku, masalah trauma kamu ini hal serius yang kuharap kamu cerita ke aku dari awal. Aku marah karena teman-teman kamu tau, sementara aku yang katanya pacar kamu, nggak tau apa-apa soal itu.”

“Kalau aku tau, Na, aku nggak akan terus-terusan ngebahas soal lamaran lah, nikah lah. Karena aku nggak tau soal trauma kamu, aku salah paham, aku kira kamu selalu menghindar bahas lamaran atau nikah karena kamu belum yakin sama aku.”

“Kamu tau, nggak jarang aku overthinking tengah malam mikirin gimana caranya aku bisa bikin kamu yakin sama aku. Aku sering juga kepikiran, apa semua ini terlalu cepat buat kamu, apa harusnya aku nggak secepat itu ngajak kamu pacaran.”

Hyunjae menghentikan bicaranya bersamaan dengan melambatnya laju mobilnya karena bangunan apartemen Luna sudah mulai terlihat. Setelah memasuki area apartemen, Hyunjae yang biasanya langsung menuju parkiran di basement, kini melewatinya dan menghentikan mobilnya di lobi apartemen.

“Kita lanjut besok ya, Na?”

Luna menatap Hyunjae dengan sedih. “Kamu nggak mau turun dulu? Kita beresin malam ini, biar besok udah nggak ada pikiran lagi. Ya?”

Gelengan kepala Hyunjae membuat Luna semakin sedih. “Aku capek. Besok lagi aja, oke?”

“Aku maunya selesai malam ini. Aku nggak akan bisa tidur sebelum yakin kita baik-baik aja.”

Hyunjae menghela nafas beratnya. Sebetulnya ia sungguh ingin menyudahi obrolan malam ini karena dirinya sudah terlalu lelah. Ia butuh segera istirahat dan menenangkan diri di apartemennya sendiri. Tapi mungkin Luna ada benarnya, semakin cepat diselesaikan, semakin baik.

Akhirnya Hyunjae memajukan mobilnya, beruntung ada satu space kosong untuk memarkir mobilnya di halaman lobi apartemen.

“Di lobi aja ngobrolnya ya,” sahut Hyunjae sambil melepas sabuk pengamannya setelah selesai memarkir mobil.

Karena sudah agak malam, lobi apartemen Luna saat itu kosong. Hanya ada dua security yang berjaga di depan pintu masuk. Luna dan Hyunjae memilih duduk di sofa tidak jauh dari pintu masuk. Mereka duduk berhadapan.

Hyunjae menautkan kesepuluh jari tangannya sambil menatap Luna. “Ngerti kan sekarang, alasan kenapa aku marah?”

“Iya, aku ngerti dan wajar kamu marah karena hal itu. Maafin aku ya, Jae? Aku menyepelekan trauma ini karena aku merasa udah bahagia sama kamu, aku cuma nggak ingin trauma ini ngerusak semua yang udah kita bangun. Aku minta maaf sekali lagi, aku salah, nggak seharusnya aku sembunyiin hal ini dari kamu.”

Hyunjae bangkit dari duduknya, tangannya terulur ke arah Luna, mengajaknya berdiri juga. “Yuk, aku anter kamu sampai depan unit.”

Luna menyambut uluran tangan Hyunjae dan mengikutinya berjalan mendekati lift.

“Jadi, aku dimaafin nggak?” tanya Luna lagi ketika mereka sudah berada di dalam lift. Hanya mereka berdua, tidak ada siapa-siapa lagi.

Hyunjae tidak menjawab.

Luna menatap pantulan dirinya dan Hyunjae yang sedang berpegangan tangan, dari pintu lift di depannya. Dari pantulan itu ia bisa melihat raut wajah Hyunjae yang kelelahan. Dialihkannya pandangan dari pintu lift, ke arah Hyunjae yang berdiri di samping kanannya.

“Hyunjae, I love you,” Luna berbisik. Tinggi badannya yang “hanya” 168 cm—lebih pendek 13 cm dari tinggi badan Hyunjae—membuat kepala Luna hanya sejajar dengan bahu Hyunjae dan ia tidak bisa menjangkau pipi Hyunjae yang tadinya ingin ia kecup. Akhirnya Luna hanya bisa mendaratkan kecupannya di tepi bahu Hyunjae.

Pintu lift terbuka. Mereka berdua berjalan menuju unit apartemen Luna masih dengan bergandengan tangan, namun Hyunjae masih belum juga berkata apa-apa.

Sesampainya di depan unit, Hyunjae melepaskan genggaman tangannya. Ia menyandarkan tubuh Luna hingga menempel pada pintu unit.

Tangan kirinya menangkup pipi kiri Luna, tangan kanannya mendekap pinggang Luna.

“Jangan diulangi lagi, ya? Jangan nggak cerita ke aku untuk hal sepenting itu. Aku menghargai privasi, nggak semua tentang hidup kamu harus diceritain ke aku. Tapi untuk segala sesuatu yang menyangkut hubungan kita, aku harap kamu terbuka untuk cerita ke aku. I’ll do the same.”

“Makasih udah maafin aku. Janji, aku nggak akan gitu lagi. I’ll share everything with you.”

Now, say it again.

Say… what?”

What you said to me in the elevator earlier.

Luna tersipu, wajahnya memerah tapi ia tidak begitu pedulikan. “Hyunjae, I love you.

Hyunjae mengeratkan dekapan tangannya di pinggang Luna. “I love you too.”

Mata Luna terpejam ketika Hyunjae mencium kening, hidung, dan kemudian bibirnya. Seperti biasanya, ciuman bibir Hyunjae selalu lembut dan penuh sayang. Bukan ciuman terburu-buru dan bernafsu.

“Tumben nggak ijin,” kata Luna setelah Hyunjae melepaskan bibirnya.

“Kan kata kamu waktu itu nggak usah ijin lagi. Ya udah aku nggak ijin.”

“Iya sayang iya…”

“Aku pamit ya?”

“Nggak mau nginep aja? Udah malam.”

“Nanti aja hari Sabtu aku nginep, ya. Setelah nganterin Mama sama Ayah ke bandara.”

“Kamu harus sering nginep, pasti bentar lagi kamu bakal sibuk sering ke Busan ngurusin proyek baru. Sebelum kamu sibuk dan susah diajak ketemu, sering-sering bareng aku ya?”

“Iya, kan nanti Sabtu nginep. Kita jalan-jalan habis dari bandara, ya? Mau kemana?”

“Main yuk, Lotte World. How? Kemarin-kemarin Nara sempet ngajakin kita main bareng, triple date gitu ceritanya. Kita, Nara sama Hoon, Sarah sama Juyeon. Kamu mau?”

“Boleh, yuk. Kabarin aja mereka bisa atau nggak.”

“Oke sayang. Kamu hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabarin aku kalau udah di rumah.”

“Kamu masuk dulu. Jangan main HP, langsung mandi, tidur. Nggak usah nungguin aku kalau kamu keburu ngantuk. Aku pulang ya?”

Setelah mengecup pucuk kepala Luna dan membiarkan Luna masuk, Hyunjae berjalan meninggalkan unit apartemen Luna.


Tok tok!

Luna mendongak ke arah pintu ruang kerjanya yang setengah dibiarkan terbuka. Jari-jarinya yang sedang mengetik di atas wireless keyboard terhenti sejenak. Senyum mengembang di wajahnya menyambut Yeonjun yang melangkah masuk ke ruangannya.

“Ya, Yeon?” tanya Luna.

“Tinggal kita berdua sekarang. Jake dan Eric barusan banget pulang. Lo mau sampe jam berapa?”

Luna menghela nafasnya saat melihat angka 18.30 tertera di bagian pojok kanan bawah layar komputernya.

“Lo udah beres? Kalau mau duluan pulang nggak papa. Gue juga sebetulnya udah beres tapi biarin deh sambilan nyiapin draft laporan buat lusa.”

“Ya udah sih besok lagi aja kalau nggak urgent. Pulang yuk? Kayak yang berani aja lo sendirian di kantor.”

“Jaehyun baru bisa jemput jam delapanan soalnya. Ada late meeting dadakan dia, penting nggak bisa ditinggal. Nggak papa gue sendiri, nyalain lagu aja paling.”

“Minta izin aja ke Jaehyun lo pulang bareng gue. Jam delapan masih lama lho, Na. Belum lagi di jalan dari kantor dia kesini. Inget ini Jumat malem, jalanan macet.”

Luna meraih ponselnya sambil memikirkan usulan Yeonjun. Sebetulnya takut juga dia kalau harus sendirian di kantornya terlalu larut.

Hari ini memang sudah direncanakan Luna akan dijemput Hyunjae sepulang kantor karena Hyunjae akan menginap di tempat Luna. Besok pagi mereka sudah harus berangkat ke hotel menjemput orangtua Luna untuk diantarkan ke bandara.

Memang manusia hanya bisa berencana, tiba-tiba menjelang jam 5 sore tadi mendadak banyak hal urgent di kantor Hyunjae sehubungan dengan proyek barunya di Busan. Hal ini membuat Hyunjae dan timnya harus lembur demi mengurusi proyeknya itu. Bahkan sampai CEO kantornya Hyunjae pun ikut lembur.

Sayang, aku udah beres.

Boleh kalau aku pulang duluan dianter Yeonjun?

Aku takut sendirian di kantor kalau terlalu malam.

Di ujung sana, Hyunjae yang sedang berdiskusi dengan atasannya merasakan ponselnya yang disimpan di saku celananya bergetar, tapi ia tidak mungkin mengecek ponselnya dalam posisi itu. Akhirnya Hyunjae memilih untuk mengabaikan dulu ponselnya.

Hampir sepuluh menit tidak ada balasan, Luna memutuskan untuk mematikan komputernya dan merapikan mejanya. Ia tidak enak membuat Yeonjun menunggu lebih lama lagi. Ia juga jelas-jelas tidak ingin di kantor sendirian selarut ini. Luna pernah pulang kantor jauh lebih malam dari ini tapi ia tidak sendirian kala itu. Luna tidak pernah lembur terlalu malam sendirian.

“Jaehyunnya nggak balas-balas.”

“Jadi gimana? Nggak papa lo bareng gue?”

“Justru gue yang nggak enak sama lo jadi mesti nganterin gue dulu. Beneran nggak papa, Yeon? Maaf ya ngerepotin.”

“Dih, repot apanya. Nggak apa-apa lah. Eh, mampir makan dulu yuk. Lagi pengen makan burger nih gue. Zorka, how?”

“Yuuuk! Laper gue juga.”

Sambil menunggu pintu lift terbuka, Luna mengecek ponselnya sekali lagi dan memasukkannya kembali ke dalam tas ketika dilihatnya masih belum ada balasan dari Hyunjae.

***

Setelah menghabiskan empat puluh lima menit menerjang kemacetan Ibu Kota di hari Jumat malam, akhirnya Luna dan Yeonjun tiba di Zorka—burger diner bergaya food truck dengan meja dan kursi minimalis berjajaran di lahan terbuka—yang menyediakan hand-crafted burger dengan beragam isian. Awalnya Eric yang merekomendasikan burger diner ini setelah sebelumnya ia diajak kesini oleh sepupunya yang memang doyan berburu makanan enak.

Jadilah Zorka ini salah satu tempat makan andalan anak-anak kantor Luna kalau sedang lapar tapi malas makan makanan berat.

“Lo mau apa?” tanya Yeonjun ketika antrian di depan mereka semakin menipis, hanya menyisakan tiga orang lagi.

“Hmm apa ya.. Pengen burger tapi gue pengen ngemil ayam juga. Berdua yuk ayamnya, mau nggak?”

Buttermilk chicken drumsticks?”

“Iya… berdua yuk? Burgernya gue mau lamb kofta burger.”

“Oke, yukberdua. Buat Jaehyun nggak sekalian dibungkusin?”

“Nanti aja, takutnya dia udah makan. Biasanya kalau lembur sampe malam gini dia suka pesen delivery ke kantornya.”

Akhirnya, tiba giliran Luna dan Yeonjun.

Lamb kofta burger, buttermilk chicken drumsticks medium, sama sloppy burger. Minumnya coke dua kaleng.” Yeonjun menyebutkan pesanan mereka sambil mengeluarkan dompetnya. Setelah membayar semuanya, Yeonjun dan Luna meninggalkan konter dan berkeliling mencari tempat duduk yang masih kosong.

Akhirnya mereka menemukan satu meja dan dua kursi kosong dengan posisi saling berhadapan—agak di sudut.

“Yang gue berapa jadinya?” Luna bertanya sambil merogoh tasnya, mencari dompet.

“Apaan sih, Na. Udah nggak usah, dinner’s on me tonight.”

“Jangan gitu dong, Yeon, nggak enak nih gue.”

“Ih gue marah nih ya. Lo kayak ke siapa aja.”

“Hehe, ya udah iya, makasih ya traktirannya. Nanti lagi gantian gue yang traktir. Harus mau.”

“Iya, gampang.”

Angin malam yang berhembus malam itu tidak kencang, tapi cukup untuk membuat helaian rambut Yeonjun tersibak, mengekspos keningnya sesaat. Tangan Yeonjun menyisiri rambutnya ke belakang dengan asal, membuat helaian rambut miliknya menjadi sedikit teracak—namun terlihat natural, tidak berantakan.

Tanpa sadar Luna tersenyum sendiri melihat Yeonjun. Mati-matian ia berusaha menghentikan eksplorasinya terhadap wajah Yeonjun yang duduk berhadapan dengannya.

“Kenapa ngeliatin?” Ternyata Yeonjun sadar sedang diperhatikan Luna.

“Nggak, nggak papa,” Luna menyahuti dan langsung membuka ponselnya demi menyembunyikan raut wajahnya yang memerah karena malu ketahuan sedang memperhatikan Yeonjun.

Kebetulan, ternyata ada pesan masuk dari Hyunjae beberapa menit lalu.

“Aku sebentar lagi pulang, kalau nggak jadi nginep nggak papa? Capek banget.”

Begitu isi pesan Hyunjae yang diterima Luna.

Luna mencelos, ia sungguh ingin Hyunjae jadi menginap di apartemennya tapi ia juga tidak mau memaksa jika Hyunjae tidak mau. Diketikkannya balasan untuk Hyunjae.

Ya udah nggak papa.

Hati-hati di jalan pulang, kabarin kalau udah di rumah.

Ketika Luna akan melanjutkan obrolan dengan Yeonjun, ponselnya berdering. Menampilkan foto Jaehyun di layarnya.

“Ya sayang?” jawab Luna setelah menekan tombol hijau ponselnya.

“Beneran nggak papa? Maaf ya, Na,” sahut Hyunjae disana. Luna bisa mendengar suara debam pintu mobil yang ditutup yang disusul suara starter mesin mobil.

“Nggak papa. Besok aja ketemunya ya, sekalian di hotel? Atau kamu mau jemput aku dulu?”

“Jemput kamu dulu lah, baru ke hotel bareng.”

“Oke, Yang.”

“Kamu lagi apa? Udah mandi?”

“Mandi? Nyampe apartemen juga belum. Lagi mau makan, di Zorka.”

“Zorka?”

“Iya, dijajanin Yeonjun disini.”

Lalu hening.

Hyunjae disana, tanpa sadar meremas setir mobilnya kuat-kuat. Geram dengan jawaban yang meluncur ringan dari mulut kekasihnya. Seingat Hyunjae, Luna hanya meminta izin untuk diantar pulang oleh Yeonjun. Kenapa sekarang jadi acara makan berdua?

“Dikirain kamu udah di apartemen dari tadi, taunya masih di luar. Tadi izinnya apa? Dianter pulang kan? Kenapa jadi di Zorka sekarang?”

“Aku laper, Yang. Dan kenapa masih disini soalnya tadi macet, jadinya telat nyampe sininya juga. Aku makan dulu sebentar ya, habis itu langsung pulang.”

“Ya udah, cepetan jangan lama-lama.”

“Iyaaa. Udah dulu, ya? Mau makan, biar cepet pulang.”

“Oke. Selamat makan.”

Bye!”

“Eh—Yang. Aku jadi deh.”

“Ha? Jadi apa?”

“Nginep. Aku jadi nginep.”

“Loh katanya capek?”

“Ih, kok kamu kayak yang nggak suka aku jadi nginep?”

“Bukan gitu, Sayang. Boleh banget ayo kalau jadi mau nginep. Mau aku bungkusin burger?”

“Nggak usah, aku udah makan.”

“Ya udah, hati-hati nyetirnya. Tungguin aku kalau kamu nyampe duluan.”

“Oke.”

Pesanan dua porsi burger dan satu porsi ayam buttermilk ukuran medium sudah tersaji di meja mereka sekarang. Yeonjun mulai membuka kertas pembungkus burgernya pelan-pelan. Aroma daging sapi burger segar dan juicy seketika memanjakan hidung Yeonjun dan Luna.

“Jaehyun marah lo makan sama gue?” Setelah gigitan pertamanya pada burger, Yeonjun bertanya pada Luna.

“Nggak sih, cuma protes aja dia karena dikiranya gue udah di apartemen padahal masih makan disini.”

“Tumben protes dia, dulu waktu kita makan berdua di Gwangju nyantei aja perasaan.”

“Iya, nggak tau tuh lagi sensitif kayaknya.” Tangan Luna mencomot ayam drumstick yang diidamkannya dari tadi. “Lucu deh pacaran sama Jaehyun tuh. Baru kali ini gue pacaran sama cowok tsundere. Rasanya kayak pacaran tapi nggak pacaran.”

And you okay with that? Pacar-pacar lo sebelumnya pasti kebanyakan tipe-tipe romantis gitu ya?”

I’m perfectly okay with that. Dari awal Jaehyun udah bilang dia nggak bisa romantis sama sekali. Awal-awal gue juga agak kaget sih, bener kata lo, pacar-pacar gue sebelumnya pada romantis banget. Jadi pas jadian sama Jaehyun gue kaget gitu. Tapi lama-lama gue sadar, Jae itu tipe penyayang banget sebetulnya, cuma caranya beda. Dia sayangin gue dengan caranya sendiri.”

“Gimana sih emangnya, tipe pacarannya orang tsundere?”

“Pacaran sama tsundere, lo jangan harap dihujani kata-kata manis. Cara Jaehyun ngomong ke temennya, sama ngomong ke gue itu sama. Cuma yaa occasionally suka manggil ‘sayang’ ke gue. They don’t talk much, their action speaks louder.”

“Misalnya?”

“Hmm.. Dia bukan tipe yang selalu ngecek gue udah makan apa belum, tapi kalau kita lagi nggak bisa ketemu, suka tiba-tiba dia pesenin food delivery buat gue, sering banget. Pernah juga tuh gue malem-malem lagi kesakitan banget karena haid hari pertama, gue chat dia cuma bilang nggak bisa tidur karena terlalu sakit perutnya. Chat gue nggak dia bales, tapi tiba-tiba dia nongol di apartemen gue, bawain obat dan bantal listrik buat kompresin perut gue. Lucu banget dia sampe sibuk cek Naver sama YouTube nyari cara-cara buat hilangin sakit haid. Terus yang waktu kita pulang dari Gwangju, dia belain izin pulang setengah hari dari kantornya cuma buat jemput gue di stasiun.”

“Wow, salut sih gue sama Jaehyun. Kebanyakan cowok kalau tau ceweknya lagi haid yang ada malah pada kabur takut kena omel. Dan belain izin setengah hari dari kantor buat jemput lo, that sounds romantic.”

“Iya, romantisnya Jaehyun itu beda dari cowok lain. Lo sendiri tipe yang gimana? Dari tadi bahas Jae mulu perasaan.”

“Gue penasaran abisnya, lo bisa singkat banget gitu proses kenal sampai akhirnya jadian. Jadi pengen tau, emangnya Jaehyun gimana ke lo sampai lo-nya bucin banget gini hahaha.”

“Dianya duluan yang bucin ke gue, please note. Sekarang gue yang pengen tau, lo tipe gimana? Dari tadi nanya nggak dijawab ih.”

“Hehehe sorry. Agak canggung gue bahas diri gue sendiri ke orang lain.”

“Jadi gue orang lain buat lo?”

“Nggak gitu, Na. Maksudnya, yaa lo kan jauh lebih deket sama Hoon, Juyeon, Eric ketimbang sama gue.”

“Ya makanya sekarang kita ngobrol biar bisa lebih deket juga. Gue seneng punya banyak temen deket. Ayo dong, cerita soal lo juga. Sambil makan nih gue dengerin.”

“Umm.. yang jelas gue bukan tipe tsundere sih, tapi romantis banget juga nggak. Biasa aja sih gue rasa. Yang pasti, gue tipe pengalah, males ribut sama pasangan. Jadi hampir selalu gue yang maju duluan buat minta maaf kalau lagi ada masalah sama cewek gue dulu. Nggak peduli siapa yang sebetulnya salah, gue pasti minta maaf duluan.”

“Lo nggak capek selalu yang minta maaf duluan? It doesn’t sound fair to me. Positifnya, lo sama cewek lo akan jarang ribut. Minusnya, cewek lo keenakan nantinya, nggak terlatih untuk tanggung jawab sama kesalahan karena tau pasti lo yang bakal minta maaf duluan. Jangan kayak gitu kalau kata gue sih.”

“Abisnya gue males berantem, Na. Buang waktu.”

“Namanya juga dua insan, dua perasaan, dua logika, dua pemikiran. Nggak mungkin kalian sejalan terus, pasti ada beda pendapat, ada berantemnya. Nikmatin aja proses itu, dengan begitu lo jadi bisa paham sifat asli pasangan lo kayak gimana. Kalau terus-terusan lo yang ngalah, capek sendiri nggak sih? Nggak sehat buat hubungan lo.”

“Ya sih, lo ada benernya. Akibatnya gue jadi gampang hilang spark sama cewek gue, cepet banget hambarnya tiap pacaran. Makanya gue nggak pernah pacaran lama.”

“Berapa lama paling tahan?”

“Delapan bulan, mantan yang kemarin.”

“Putus karena?”

“Ya itu, hilang spark guenya ke dia. Bosen. Dianya ninggalin gue deh.”

“Tuh kan, makanya jangan selalu ngalah gitu, nggak baik. Lo tuh kayanya tipe yang males berantem, tapi sekalinya berantem langsung putus.”

Kind of, hahaha. Abisnya malesin gue ngadepin cewek moody kalau lagi berantem. Nggak paham harus digimanain.”

“Dasar. Nanti lagi jangan gitu ya, yang namanya berantem selama tanpa kekerasan verbal dan fisik itu masih wajar kok. Lo belajar gih sama Hoon atau Juyeon, jagonya urusan cewek tuh mereka. Cewek itu unik. Kadang gue juga suka heran sama diri gue sendiri, bisa-bisanya mood berubah secepet itu. Untung aja Jaehyun sabar banget ngadepin gue.”

“Hehehe iya. Thank you ya, Na, udah mau dengerin cerita gue. Hebat lo, bisa bikin gue mau cerita, jarang-jarang gue bisa gini ke orang bahkan ke temen sendiri.”

“Salah satu kelebihan gue kayaknya. Gue itu ekstrovert sejati, tapi hidup gue selalu dikelilingi orang-orang introvert. Ayah gue introvert, sepupu deket gue Freiya namanya, introvert juga. Juyeon, Sarah, Nara, Younghoon, semua introvert. Jadi gue udah semacam terbiasa ngatasin orang-orang introvert, sekarang ditambahin lo juga.”

“Gue tuh suka takut deket sama orang ekstrovert. Kayak si Eric tuh, ekstrovert super berisik dia kan. Gue suka kehabisan energi kalau lagi deket-deket Eric. Tapi gue anehnya nggak gitu ke lo, Na. Lo ekstrovert yang bisa bikin introvert nyaman di dekat lo.”

As I said, it’s my specialty.”

Agree.

“Oh ya, Na. Bahas Jaehyun lagi boleh, ya? Pengen tau aja sih, lo sayang banget sama dia ya?”

“Lo suka sama cowok gue apa gimana sih? Nanya-nanya Jae mulu.”

“Hahaha sialan, gue normal ya doyan cewek. Dibilangin cuma pengen tau aja.”

“Iya, Yeon, jelaslah gue sayang banget sama Jae. Doain gue langgeng sama dia ya. Lo juga, gue doain banget biar cepet dapet gebetan baru, pacar baru. Buat dibawa ke nikahan Sarah-Juyeon nanti. Lo tuh ya, kalau suka sama cewek mesti ditunjukkin dong. Kalau lo ga nunjukkin gimana bisa sadar itu ceweknya kalau lo suka. Lo tuh nggak jelek lagi, Yeon. Lo oke kok. Cuma perlu lebih pede lagi aja urusan deketin cewek. Jangan sampe kecolongan lagi kayak gebetan lo kemarin ini.”

“Gue nggak jelek, tapi tetep bukan kategori ganteng sih ya? Nggak kayak Jaehyun yang gue aja cowok tapi mengakui dia ganteng.”

“Hahaha apa sih, Yeon. Ganteng kok lo tuh, seriusan deh nggak bohong. Lo tuh ganteng. Lo harus percaya diri, kalau lo aja nggak percaya diri, gimana caranya orang lain bisa percaya sama lo?”

“Na, nanya nih ya gue ke lo sebagai cewek. Misalnya lo belum sama Jaehyun, kira-kira lo bakal mau nggak sama gue?”

“Eh—gimana?”

Obrolan panjang mereka terinterupsi oleh notifikasi KakaoTalk ponsel Luna.

Aku udah di apt kamu.

Pulang, cepet.

Nggak pulang dalam setengah jam, aku pergi lagi nggak jadi nginep.

“Duh, Jaehyun udah di tempat gue. Kok cepet banget ya dia? Yeon, makannya cepetan, yuk. Eh atau gue pulang duluan deh ya pake taksi, kalau lo masih mau nyantai disini.”

“Yaah, lagi asyik ngobrol padahal nih. Nggak, nggak—pake taksi apaan. Ya udah habisin dulu itu ayamnya, baru kita cabut ke apartemen lo. Oke? Makannya jangan buru-buru banget, nanti malah keselek.”

“Hehe, oke. Maaf ya jadi ngeburu-buru. Lain kali kita ceritaan lagi.”

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, makanan di meja mereka berdua sudah habis, hanya menyisakan tulang belulang ayam yang sudah tak berdaging. Setelah menghabiskan coke-nya, Luna dan Yeonjun membersihkan meja, membuang sisa sampah ke tempat pembuangan sampah yang tersedia di sudut seberang meja mereka.

Dengan perasaan senang karena perut sudah kenyang dan puas bertukar cerita, Luna dan Yeonjun melangkahkan kaki menjauhi area food truck.

***

Sesampainya di apartemen, Luna tersenyum melihat sepasang sepatu formal hitam mengkilat milik Hyunjae tersimpan rapi di deretan paling atas rak sepatunya. Luna melepas sepasang heels lima senti-nya, dan menyimpannya di sebelah sepatu Hyunjae.

Dilihatnya ruang TV dan dapurnya sepi. Berarti Hyunjae ada di kamar Luna.

Setelah cuci tangan dan meminum secangkir teh chamomile hangat favoritnya, Luna berjalan mendekati pintu kamarnya yang tertutup.

Benar saja, Luna mendapati Hyunjae sedang menonton tayangan dari Netflix di sofa dusty pink miliknya—masih lengkap dengan setelan kerjanya.

“Hai, Cintaku.”

Luna menyapa sambil berjalan mendekati Jaehyun. Setelah Hyunjae berada dalam jangkauannya, Luna melungsurkan tas laptop yang tersampir di bahunya, begitu saja ke lantai yang beralaskan karpet bulu halus berwarna senada dengan sofanya.

Yang disapa masih diam, matanya menatap lurus ke arah layar TV.

Luna mendudukkan diri di samping Jaehyun, menciumi pucuk kepala dan pipinya. “Disapa kok diem aja? Gimana kerjaan hari ini? Capek ya?”

“Seneng kamu, ditraktir makan sama Yeonjun?” Hyunjae membalas sapaan lembut Luna dengan dingin.

Luna tahu pacarnya ini lagi ngambek. Alih-alih menghiburnya, Luna memutuskan untuk menggoda Jaehyun sedikit.

“Yang, kamu nyium bau sesuatu nggak, sih?”

“Bau apa? Nggak.”

“Bau api. Kentara banget.”

“Api? Apa sih, Na, ngaco banget. Nggak kecium apa-apa.”

“Kentara banget nih bau apinya.”

“Na—”

“Api cemburu.”

Hyunjae terdiam, bibirnya semakin mencebik. Luna tertawa terbahak-bahak melihat raut kesal Hyunjae.

“Sayang tsundere-ku bisa cemburu juga ternyata.”

I’m not jealous. Why would I?”

Luna akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Hyunjae. Ia paham, kekasihnya ini selain sedang cemburu, mood-nya juga sepertinya sedang tidak bagus. Mungkin karena terlalu lelah dengan ritme kerjanya hari ini.

Luna mengusap rambut halus Hyunjae. Ia lalu memindahkan tubuhnya, menaiki Hyunjae dan duduk di pangkuannya dengan posisi saling berhadapan. Kedua kaki Luna terlipat di sisi kanan dan kirinya, membuat rok span-nya menjadi sedikit terangkat.

Ditatapnya wajah Hyunjae lekat-lekat, tangannya mengusapi helaian rambut yang menutupi kening Hyunjae. Disibakkannya helaian rambut yang menutupi keningnya, dan Luna memberikan ciuman-ciuman kecil di kening Hyunjae.

“Maaf ya, aku nggak izin dulu mau makan sama Yeonjun. Kukira kamu bakal santai aja kayak biasa.”

“Nggak bisa santai kalau sama Yeonjun. Beda ya, kalau kamu sama Hoon atau Juyeon atau Eric, aku santai.”

“Yeonjun sama aja kayak mereka, nggak beda.”

Hyunjae menggeleng. “Nggak, Na. Yeonjun beda, I can feel it. Insting sesama cowok.”

“Waktu aku makan berdua Yeonjun di Gwangju, kamu nggak papa tuh.”

“Instingku belum jalan waktu itu. Lama-lama, kerasa.”

“Ngaku dulu coba, aku pengen denger.”

“Ngaku apa?”

“Kamu cemburu sama Yeonjun?”

“Iya, aku cemburu sama Yeonjun.”

Wow.

Luna terkejut dalam hati. Nggak disangka Hyunjae melisankan pengakuannya dengan gamblang.

“Kenapa kok diem? Kaget aku bilang cemburu?”

“Iya, aku nggak sangka. Aku pikir kamu akan selalu santai mau aku jalan sama siapa pun juga. Karena yang udah-udah, kamu santai, nggak pernah protes. Aku yang sering ngeluh cemburuin kamu.”

“Dibilangin, kalau sama Hoon, Juyeon, Eric, aku nggak akan pernah cemburu. Kukira ke Yeonjun juga bakal sama, tapi pas aku lihat dia nyuapin kamu roti di stasiun waktu itu, aku sadar, Yeonjun beda dari Hoon, Juyeon dan Eric. Aku nggak bisa lengah dan santai ke Yeonjun. Maaf.”

Perasaan bersalah menjalari tiap sel dalam tubuh Luna. Sungguh ia tidak sadar Hyunjae ada perasaan seperti itu pada Yeonjun.

“Maaf ya sayang. Nggak maksud bikin kamu cemburu dengan sengaja.”

I know, it’s OK. Now that you know, would you please stay a bit away from him? Bukan menjauhi gimana, dia teman kamu, aku nggak mau bikin kamu nggak berteman lagi sama dia. Cuma.. hindari berduaan sama dia di luar urusan kantor dan formal ya, Yang? Bisa?”

Luna mengangguk. “Nggak ada alasan untuk nggak bisa. Maaf sekali lagi, Sayang.”

“Nggak apa-apa, aku tau kamu nggak sengaja.”

Luna tidak menjawab lagi. Dia memajukan duduknya, merapatkan tubuhnya pada tubuh Hyunjae. Dengan kedua tangan melingkari leher Hyunjae, Luna memagutkan bibirnya pada bibir Hyunjae. Duluan. Baru kali ini Luna yang memulai ciumannya.

Detik yang berjalan Luna habiskan untuk memandangi wajah Hyunjae, ketika ia melepaskan bibirnya sesaat. Lalu, dipagutnya kembali bibir Hyunjae, kali ini lebih dalam dari yang sebelumnya. Luna memutuskan untuk melakukan hal yang belum pernah dicobanya dengan Hyunjae; memainkan lidahnya di langit-langit mulut Hyunjae.

Terasa seperti ada yang menggelitiki perut Luna ketika Hyunjae membalas permainan lidahnya. Luna menyukai perasaan ini.

Kali ini Hyunjae yang menghentikan ciumannya.

Tangannya menyibak rambut panjang Luna ke belakang bahu Luna, sambil menyisipkan sejumput helai di belakang telinga. Lalu Hyunjae menangkup tubuh Luna, diangkatnya perlahan dari pangkuannya dan ia menidurkan kepala Luna di tangan sofa.

Posisi Luna kini berada di bawah kungkungan tubuh Hyunjae yang atletis, dan jelas berukuran lebih besar dari tubuh Luna. Dengan lengan kiri dipakai untuk menumpu tubuhnya, tangan kanan Hyunjae mengelusi wajah Luna.

“Nggh, Yang..”

Luna mengeluarkan erangan kecil ketika bibir Hyunjae kembali menyentuhi bibirnya. Entah Luna sadar atau tidak, yang pasti erangan kedua yang kini terlontar dari mulutnya terdengar agak lebih keras dari yang pertama, karena Hyunjae sedang melanjutkan permainan lidahnya setelah tadi sempat terhenti karena Hyunjae ingin berganti posisi.

Hyunjae tahu ia menginginkan lebih dari yang sedang mereka lakukan sekarang—mereka berdua menginginkan lebih—tapi tidak ada yang berani untuk memulai lebih jauh dari yang sudah terjadi kini. Sudah menuju sepuluh menit, keduanya masih dalam posisi seperti tadi. Lengan kiri Hyunjae sudah terlalu pegal dan nyaris mati rasa karena terlalu lama menopang beban tubuhnya pada posisi konstan seperti itu untuk waktu yang cukup lama.

Akhirnya Hyunjae melepaskan ciumannya lagi, perlahan, dan berganti menciumi kening dan hidung Luna. Setelahnya, Hyunjae bangkit dari posisinya sambil mengibaskan lengan kirinya yang ternyata benar-benar mati rasa. Engselnya serasa kaku.

Melihat kekasihnya berjalan mondar mandir sambil mengibaskan tangan, kini Luna yang bangkit dari posisi tidurannya.

“Pegel ya?” tanya Luna iba. Wajah Hyunjae merautkan ekspresi tidak nyaman sambil memijiti lengan kirinya.

Luna berdiri, ia menciumi sepanjang lengan kiri Hyunjae. “Mandi ya, rendeman aja biar berkurang pegelnya. Aku siapin air hangatnya dulu sambil aku mandi duluan ya. Sebentar kok, aku nggak akan rendeman.”

“Luna,” panggil Hyunjae, sebelum Luna menghilang di balik pintu kamar mandi. “How was itthe kiss?”

Luna terlalu malu rasanya untuk menjawab.

Tapi dari kerlingan mata Luna yang berbinar dan semburat rona merah di pipinya, Hyunjae tahu Luna menyukainya.

***

Hyunjae dan Luna baru saja selesai video call dengan Mama dan Ayah, membicarakan soal besok pagi dimana mereka berencana menjemput Mama dan Ayah di hotel jam tujuh untuk mengejar jadwal keberangkatan pesawat jam sepuluh pagi. Tidak terasa, delapan harinya Mama dan Ayah di Seoul sudah selesai dan kini harus kembali ke Singapore.

“Yah, jauhan lagi deh sama Mama Ayah. Delapan hari bener-bener nggak kerasa,” keluh Luna sambil menutup layar laptopnya. Ia dan Hyunjae sedang di ruang TV, duduk selonjoran di karpet dengan laptop terletak di atas coffee table, dan TV menyala—seperti biasa, menayangkan tontonan Netflix yang berujung diabaikan karena Luna dan Hyunjae memilih untuk saling mengobrol ketimbang menonton TV.

“Nanti kita ke Singapore, gantian kita yang kesana ya,” hibur Hyunjae. Dia masih tetap ingin mewujudkan keinginannya menemui orang tua Luna di Singapore.

“Yang, kamu pulang Senin aja, ya? Kan Senin libur, tanggal merah. Temenin aku disini sampai Senin mau ya?”

Hyunjae baru akan menjawab ketika notifikasi KakaoTalk Luna mendadak berbunyi terus-terusan, menandakan banyak pesan yang masuk sekaligus.

Luna melihat ponselnya dan ternyata group chat dengan gengnya di kantor yang menimbulkan rentetan notifikasi itu.

Younghoon: Pasti kalian nggak ada yang cek web Lotte World besok, kan? Temporarily closed ternyata, tiga hari. Under regular maintenance.

Juyeon: Hah? Nggak jadi dong kita besok kesana?

Eric: Sukurin. Itulah akibatnya nggak ngajak-ngajak kaum jomblo alias gue dan Kak Yeonjun. Pake acara triple date segala.

Younghoon: Yee, Ric. Kan udah dibilang, kalau lo berdua mau ikut ya ikut aja, ajakin Hyuna juga nggak papa. Lo-nya nggak mau.

Eric: Serba salah gue, ajakin Hyuna, gimana ya kita belum resmi pacaran nggak kayak lo pada. Nggak ajak Hyuna, masa gue sama Kak Yeon pasangannya disana?”

Yeonjun: Ogah gue juga sama lo, Ric. Dikira gue demen laki ntar.

Kini giliran Luna yang mengetikkan pesan.

Lah jadi gimana? Besok kita kemana? Ini Nara Sarah kemana sih oy.

Sarah: Hadir.

Nara: Abis video call gue sama Sarah. Kita ada ide, tapi agak gila sih. Tapi seru kayaknya. Yang dadakan emang suka seru, ya nggak?

Ngapain lo? Jangan aneh-aneh please.

Sarah: Kita ke Jepang, yuk? Main ke Disneyland aja gimana?

SARAH JANGAN GILA.

Juyeon: Nggak mau, Yang. Disneyland buat bocah, aku tidur nanti disana.

Younghoon: Nggak mau gue juga.

Nara: Ya udah, Disneysea?

Luna mengerutkan keningnya melihat pembicaraan di group chat-nya. Sudah semakin ngawur akibat ide gila Sarah dan Nara. Mentang-mentang Senin libur, mereka dadakan mau liburan singkat ke Jepang.

“Kenapa, Yang?” Hyunjae yang menyadari perubahan ekspresi wajah Luna, bertanya.

“Lotte World tutup kata Hoon, lagi maintenance tiga hari.”

“Besok nggak jadi dong? Atau diganti pergi ke tempat lain?”

“Sarah sama Nara masa kasih ide ke Jepang, coba? Ke Disneyland katanya. Tapi nggak tau sih, ini Hoon sama Juyeon pada nggak mau.”

“Hah ke Jepang? Ngapain jauh-jauh amat astaga. Lagian dadakan cari tiket pesawat emangnya dapet?”

Luna melirik group chat-nya lagi.

Younghoon: Ya udah oke kalau jadinya Universal Studios sih.

Juyeon: Iya, ayo. Pergi besok pagi, pulang Senin sore?

Eric: Ikuuut. Kalau jadinya ke Osaka gue ikut, please. Kak Yeon, ayo ikut ajalah yuk ke Osaka. Biarin aja mereka pada bawa pacar.

Yeonjun: Let’s go!

Nara: Eh, beneran lo berdua ikut? Ya udah, gue coba cek tiket pesawat ya, Sarah lo cek hotel coba. Atau apartemen deh biar nggak misah-misah. Luna, lo sama Jae tetep ikut kan?

Bentar, gue tanya Jae. Tapi kalau pagi-pagi banget gue nggak bisa ya, mau nganter Mama Ayah ke Incheon.

Nara: Kebeneran dong lo sekalian ke Incheon. Kita berangkat dari Incheon kok.

Oh, bukan dari Gimpo?

Nara: Nope, Incheon.

“Yang, mereka jadinya ke Osaka, mau ke Universal Studios katanya. Nara lagi coba cek tiket pesawat. Mau berangkat dari Incheon jadi bisa sekalian sih nganter Mama Ayah. Kita jadi mau ikut?”

“Terserah kamu, Yang. Kalau kamu mau ikut, aku temenin. Tapi kalau kamu nggak mau ya nggak usah berangkat.”

“Aku bingung. Pengen sih.”

“Tapi?”

“Takut kamunya nggak pengen. Takut kamu kecapekan soalnya mereka berencana mau pulang Senin sore.”

“Ya udah ayo berangkat kalau kamu mau. Deket ini ke Osaka, nggak nyampe dua jam terbangnya juga.”

“Beneran nggak papa?”

“Iya, lumayan juga kita liburan singkat.”

Cup. Luna mengecup pipi Hyunjae, senang. “Makasih sayang.”

Luna beralih pada layar ponselnya lagi yang ternyata sudah ramai karena menurut Nara, mereka masih bisa dapat tiket pesawat dari Incheon ke Kansai, Osaka besok jam 11 siang. Tinggal menunggu konfirmasi dari masing-masing yang mau ikut, Nara akan membeli tiketnya.

Gue sama Jae oke ya, jadi ikut.

Sarah: YES! Nggak asik kalau pasangan fenomenal ini nggak ikutan. Akhirnyaaa.

Fenomenal apaan coba. Berlebihan lo, Sar.

Nara: Emailin ke gue sekarang ya data-data lengkap lo semua termasuk nomor paspor. Gue talangin dulu ini tiket pesawat, tiket masuk USJ sama apartemennya. Nanti kalau udah beres semua kalian transfer aja ke m-banking gue.

Younghoon: Apartemen nih jadinya? Nggak hotel aja sekamar berdua-berdua gitu?

Eric: Kak, tega lo gue sekamar sama Kak Yeon. Lo semua nanti sibuk pada enak-enakan di kamar sama pacar. Udah, apartemen aja paling bener.

Nara: Penthouse sih lebih tepatnya bukan apartemen, kita sewa satu penthouse buat kita sendiri, kok. Gue nemu nih ada 3 kamar, dapur, ruang TV, kamar mandi di masing-masing kamar.

Nara: Pembagian kamarnya, kita cewek-cewek bertiga sekamar. Kamar satu lagi Younghoon Juyeon, kamar terakhir Yeonjun, Eric, Jaehyun. Gimana?

Eric: Boleh, yang penting gue pengen sama Kak Jae.

Yeonjun: Duh, gue sekamar sama orang-orang ekstrovert. Keong nanti gue. Boleh bareng sama Younghoon Juyeon aja nggak?

Juyeon: Wkwk dasar. Yaudah lo bareng gue sama Younghoon aja. Biar si Eric sama abang kesayangannya tuh.

Setelah masing-masing mengumpulkan data diri untuk kepentingan book tiket pesawat dan apartemen, Nara menyembutkan nominal yang harus dibayarkan per orangnya sambil memberikan nomor rekeningnya.

“Bayar dari m-banking aku aja, Na,” kata Hyunjae setelah Luna menyebutkan angka yang harus ditransfer ke Nara. “Bacain nomor rekeningnya Nara.”

“Iya, yang kamu bayar dari m-banking kamu aja. Aku bayar punyaku sendiri,” kata Luna. Layar ponselnya sudah menampilkan aplikasi m-banking miliknya.

“Ih apaan. Udah, sekalian aja punya kamu juga bayar dari aku. Ngapain dipisah-pisah gitu bayarnya,” protes Hyunjae. Diambilnya ponsel Luna dari tangannya dan buru-buru diselipkan di bawah bantal sofa.

“Hei, HP-ku siniin. Nomor rekeningnya Nara kan ada di HP-ku, gimana sih kamu.”

Hyunjae terkekeh. Iya juga, batinnya.

Diambilnya lagi ponsel Luna dari bawah bantal sofa, dibukanya, dan Hyunjae mencari nomor rekening Nara yang disebutkan di group chat room barusan.

Setelah transfernya berhasil, Hyunjae mengirimkan bukti transfernya ke ponsel Luna supaya diteruskan ke Nara.

“Udah aku transfer ya, sekalian sama yang punya kamu juga,” kata Hyunjae lagi sambil mengembalikan ponsel Luna pada yang punya.

“Jae, kok gitu sih? Aku jadi nggak enak nih, kenapa kamu bayarin yang aku juga? Aku transfer balik ya ke kamu.”

“Kalau kamu transfer balik, aku marah nih. Udah sih, nggak apa-apa. Sekali-kalinya aku bayarin kita liburan, nggak pernah kan?”

“Ya tapi kan itu nominalnya gede, Sayang.”

I know, but I can afford it. Don’t worry.”

“Nyebelin ya kamu tuh.”

“Na, it’s the least I can do. Pengen aja sih aku bayarin pacarku liburan, kenapa nggak boleh? Nominal segitu nggak sebanding sama apa yang udah kamu kasih ke aku selama ini, paham?”

“Aku nggak pernah kasih kamu apa-apa deh perasaan.”

“Waktu, tenaga, dan cinta kamu buat aku. Kamu pikir itu bukan apa-apa?”

“Ya tapi kan aku nggak pamrih, aku tulus dan ikhlas ngasih itu semua buat kamu. Aku nggak ngarepin balasan apa-apa dari kamu.”

“Duh kesel deh. Ngeyel banget sih ini pacar satu. Iya aku tau kamu tulus dan nggak pamrih, aku bayarin kamu liburan memang aku yang pengen aja. Udah ya, jangan dibahas lagi? I love you, Sayang.”

“Geli dengernya.”

“Biarin, emang aku cinta kok sama kamu.”

I love you too, Cintaku.”