CHAPTER 5.

Erangan halus terdengar dari bibir Luna yang perlahan mulai mendapati lagi kesadarannya sedikit demi sedikit, setelah beberapa jam tertidur sangat pulas di kasurnya. Luna mengangkat kepala sambil sedikit meringis, lalu menjatuhkan kepalanya lagi ke bantal saat dirasa matanya belum mau berkompromi untuk terbuka seutuhnya.

Tapi tiba-tiba sesuatu mengusik pikiran Luna.

Perlahan, Luna membalikkan badannya menghadap meja samping ranjang, tempat dia biasa menyimpan ponselnya sebelum tidur. Matanya menyipit saat mendapati mejanya kosong, dia tidak melihat ponselnya.

Sontak Luna menendang selimutnya, duduk di tepi ranjang sesaat sambil memandangi meja bulat kecilnya yang kosong. Ini aneh, kemana ponselnya?

Masih sambil duduk di tepi ranjang, Luna berusaha mengingat kejadian semalam sambil mengusap-usap pelipisnya. Dia ingat semalam Jaehyun membangunkannya setelah sampai di parkiran basement apartemennya, dan Jaehyun membantunya membawakan koper sampai ke depan pintu kamar. Setelah itu, Jaehyun pamit pulang.

Luna masih terus memutar memorinya soal semalam dan mencoba mengurutkan serangkaian kejadian demi menemukan ponselnya. Tidak lama, Luna bangun dan berjalan menuju meja kerja di sudut, tempat ia meletakkan tote bag-nya. Tangannya merogoh ke dalam tas dan semakin bingung saat tetap tidak menemukan ponselnya.

Seingatnya, semalam saking terlalu lelah, segera setelah sampai kamar Luna terburu-buru masuk kamar mandi dan membersihkan diri sampai tuntas. Dia ingat sebetulnya ingin mengecek ponselnya setelah selesai mandi tetapi rasa lelah yang amat sangat membuatnya meninggalkan hal itu dan langsung naik kasur untuk tidur. Dan kini Luna terbangun dan mendapati ponselnya tidak ada bersamanya.

Karena tidak punya ponsel cadangan, Luna bingung dan mulai panik. Masalahnya, beberapa catatan penting yang dibutuhkan untuk menyelesaikan laporan pekerjaan di Busan kemarin ada di ponselnya dan Luna butuh ponselnya segera.

Apa mungkin ketinggalan di mobil Jae? Luna bertanya-tanya dalam hati. Tapi, Luna bingung bagaimana cara menanyakannya pada Jaehyun?

Akhirnya Luna membuka laptopnya dan segera setelah aplikasi Kakao-nya tersambung, banyak chat berhamburan masuk tapi Luna tidak mengindahkannya. Dia membuka group chat dan langsung mengetik cepat.

GUYS EMERGENCY!!!

PLS HELP!

Tolongin gue.

Eric: Nunaaa kenapaaa? Lo kemana aja astaga, kita semua nggak ada yang bisa kontak lo. Handphone lo nggak aktif.

Nara: LUNA LO GILA? GUE SAMA HOON PANIK SEMALEMAN NUNGGU KABAR DARI LO.

Nara: LO DIMANA SEKARANG? EMERGENCY KENAPA?

Tolongin gue, minta kontak Jaehyun. Gue butuh ngehubungin dia sekarang juga.

Nara: Beneran emosi banget gue. Jawab kek pertanyaan gue malah minta kontak Jaehyun. Bukannya lo punya nomor dia?

>>Handphone gue nggak ada, nggak tau dimana. Gue butuh tanya ke Jae barangkali ketinggalan atau jatuh di mobilnya.

Eric: ???

Nara: ???

Younghoon: ???

WOY KALIAN KENAPA SIH? CEPET KASIH NOMOR JAE. ATAU U-NAME KTALKNYA JUGA BOLEH.

Eric: jaehyunlee

Eric: Itu Kak. Ktalk-nya Kak Jae. Lo utang cerita ke kita. Apaan maksudnya HP lo ketinggalan di mobil Kak Jae?

THANK YOU ERIC, LOVE YOU.

Gue tau gue utang cerita ke kalian, bentar ya. Doain HP gue ketemu baru nanti gue cerita.

Luna menutup group chat room dan menggantinya dengan chat room baru yang masih kosong. Jari-jarinya mengetik cepat dan berharap Jaehyun segera membalas pesannya.

Jaehyun, hi!

Maaf ganggu. Ini aku, Luna.

Jaehyun: Luna? Loh kok?

Luna bernafas lega karena Jaehyun membalas cepat.

Maaf ya, aku minta KTalk kamu ke Eric.

Jae, HP-ku ketinggalan di mobil kamu nggak ya?

Di tasku nggak ada, udah dicari. Dan HP-nya kayaknya mati habis baterai.

Jaehyun: Hah? Na, aku nggak lihat ada HP kamu di mobil. Terakhir kamu simpan dimana?

Justru itu, aku nggak inget. Eh tapi seingetku masih sempat balas chat pas di mobil kamu deh. Tapi udahnya nggak inget karena nggak lama dari situ aku tidur.

Jaehyun: Aku udah di kantor, sebentar ya aku turun dulu ke parkiran. Aku cek lagi barangkali jatuh HP-nya di karpet mobil.

Aduh maaf banget aku repotin kamu terus. Nanti lagi aja carinya kalau memang kamu lagi sibuk.

Satu menit.

Dua menit.

Hingga 5 menit tidak ada balasan lagi dari Jaehyun.

Luna menghela napas lemas. Dia stress sendiri membayangkan kalau ponselnya tidak ketemu. Ponsel bisa dibeli lagi tapi isinya itu yang begitu berharga dan tidak tergantikan.

Jaehyun: Na

Ya? Please ketemu…

Jaehyun: Ini ada HP kamu, beneran jatuh kayaknya pas kamu tidur. Nggak kamu simpen di tas ya HP-nya?

YA TUHAN SYUKURLAH.

Maaf caps lock. Aku lega banget.

Makasih, sekali lagi maaf ya.

Jaehyun: Kamu banyak banget ngomong maafnya pagi ini.

Jaehyun: Kamu di kantor? Aku anterin ya HP-nya.

Aku di rumah, nggak ngantor hari ini. Aku ke kantor kamu aja ya sekarang. Kalau kamu sibuk nggak papa nggak usah ketemu, tolong titip aja HP-nya di lobby ya.

Maaf ya agak maksa, aku butuh HP cepet, ada data penting yang perlu untuk bikin laporan.

Jaehyun: It’s OK. Ya udah kalau mau kesini, aku tunggu. Kabarin kalau udah mau nyampe.

Mohon maaf nih Pak, gimana ngabarinnya kan HP-nya nggak ada.

Jaehyun: HAHA iya lupa! Ya udah, hati-hati di jalan. 15 menit lagi aku tunggu di lobby.

***

Luna memarkirkan mobilnya dan turun dengan tergesa-gesa menuju pintu lobby kantor Jaehyun. Dia juga mengenakan pakaian seadanya, mengambil baju pertama yang terlihat di lemari bajunya tanpa pikir panjang. Jadilah setelan Luna pagi ini: rok jeans sedikit di atas lutut dan kaos t-shirt putih polos lengan pendek, dipadu flat shoes hitam dengan hiasan pita simpel di ujungnya. Rambutnya pun nggak ingat untuk disisir, hanya digelung seadanya membuat beberapa helai anak rambut berjuntaian di sisi kiri dan kanannya.

Jaehyun yang sudah menunggu di sofa lobby, langsung berdiri begitu melihat Luna berjalan masuk dan berbicara dengan security.

“Tamu saya, Pak. Nggak papa,” Jaehyun buru-buru menjelaskan pada security yang kemudian langsung mengangguk sambil mempersilakan Luna.

Luna mengikuti Jaehyun kembali ke arah sofa dan duduk sambil mengatur nafasnya. Tangannya terulur menyambut tangan Jaehyun yang menyerahkan ponsel kesayangannya.

“Makasih banyak, Jae. Maaf aku—”

“Duh, minta maaf lagi. Kenapa sih maaf mulu?”

Luna menggaruk tengkuknya kikuk. “Heee.. Maaf udah bikin rusuh kamu pagi-pagi. Maaf juga aku nggak sopan banget dandanannya begini ke kantor kamu, nggak rapi. Duh, malu banget.”

“Nggak papa. Udah ya, nggak ada maaf-maafan lagi.”

“Aku pamit pulang ya, mesti bikin laporan penting buat Senin soalnya.”

“Oke.”

“Oh ya, Jae. HP kamu dong siniin.”

Jaehyun menatap Luna yang tangannya terulur meminta ponselnya, dengan bingung. Nggak paham.

“Cepetan ih, HP kamu pinjem. Unlock dulu sekalian,” kata Luna lagi sambil mengadahkan telapak tangannya di depan muka Jaehyun.

Akhirnya Jaehyun menuruti. Tangannya merogoh saku samping celananya, mengeluarkan ponsel dan menempelkan sidik jarinya agar ponselnya dalam keadaan tidak terkunci seperti permintaan Luna, dan menyerahkannya ke Luna.

Luna mengambil ponsel Jaehyun. Sambil tersenyum dia mengetikkan sesuatu dengan cepat kemudian mengembalikan ponselnya lagi.

“Walaupun bukan kayak gini pertemuan ketiga kita yang aku bayangin, tapi nggak papa. Ini tetap pertemuan ketiga yang tanpa disengaja, dan nggak nyangka secepat ini kita ketemu lagi. Itu nomor aku, simpan ya.”

Setelah membiarkan kata-kata itu meluncur cepat dari mulutnya, Luna langsung berbalik meninggalkan Jaehyun yang belum sempat berkomentar apa-apa. Dirinya sudah kepalang malu banget hari ini dan nggak sanggup untuk menahan malu lebih lama lagi di depan Jaehyun.

***

“Nara, gimana laporan? Beres?”

Group chat bertiga yang dibuat dadakan menjelang proyek Busan kemarin ternyata masih berguna sampai hari ini, dan sepertinya akan tetap diadakan.

“Bentaran lagi beres, Na. Yang lo gimana? Sarah gimana?”

“Gue beres secara garis besar, tapi mungkin masih perlu revisi. Besok deh gue lanjut, nggak sanggup hari ini capek banget.”

Nggak lama, ponselnya bergetar lagi.

Mata Luna membulat melihat sender-nya yang ternyata bukan Nara atau Sarah.

“Malam, Luna. Ganggu nggak?”

Pesan pendek dari Jaehyun—atau Hyunjae, nama yang Luna pakai untuk menyimpan nomornya—berhasil membuat Luna deg-degan seketika.

Malam juga. Hi. Nggak ganggu, kok.

Udah pulang kerja?

“Baru mau keluar kantor.”

“Besok hari Sabtu, kamu free? Masih capek nggak?”

Paling mau nge-review laporan yang aku buat hari ini. Sisanya free.

Udah nggak begitu capek juga. Kenapa?

“Kerja bareng yuk, mau nggak?”

“Kamu review laporan, aku ngedesain.”

“Di kafenya ahjusshi sekalian makan siang.”

MAU, YUK!

Caps lock-nya kepencet apa gimana?”

Hehehe. Terlalu semangat jadi pake caps lock.

Ketemuan jam berapa di kafe?

“Nggak usah ketemuan.”

Ih gimana? Tadi ngajak ketemu?

“Maksudnya nggak ketemuan di kafe, aku jemput kamu biar bareng kesananya. Boleh?”

Ooh, hehe. Nggak ngerepotin?

“Kalau nggak boleh atau nggak mau dijemput, nggak papa. Aku nggak maksa lho ya.”

Aku nggak bilang nggak boleh atau nggak mau :(

Cuma tanya, nggak ngerepotin?

“Kalau aku ngerasa direpotin, nggak akan nawarin jemput kamu.”

“Jadi, mau dijemput nggak?”

Luna berdecak gemas membaca baris demi baris chat dari Hyunjae. Sungguh berbeda sekali dengan tipe chat yang biasa Luna terima dari lelaki sebelum-sebelumnya yang pernah mendekati Luna.

“Oh ya, Na. Satu lagi. Aku rasa kamu mesti tau dari sekarang, daripada kamu nanti kecewa.”

“Aku bukan cowok romantis. Aku nggak pinter ngerayu atau ngegombal. Kalau kamu masih mau coba kenal aku lebih jauh, ayo kita terusin. Kalau kamu senengnya diromantisin, bilang ya jadi aku langsung mundur :D”

Wow, bener kata Younghoon. Kamu straight forward sekali ya, Hyunjae.

“Iyalah, ngapain banyak basa-basi. Nanti orang malah nggak paham maksud kita apa.”

“Siapa Hyunjae? Kenapa jadi Hyunjae?”

Aku panggil kamu Hyunjae, boleh nggak? Boleh ya, maksa nih aku.

Soalnya ada tiga nama Jaehyun di kontakku, takut sewaktu-waktu salah kirim chat.

Jadi kupikir, dibalik aja deh nama kamunya jadi Hyunjae. I’ll call you Hyunjae from now on, if you let me.”

I’ll let you. No probs.”

Hehe makasih. Dari awal nomor kamu udah aku save dengan nama Hyunjae.

By the way. Ayo kita terusin kenalannya. Aku mau mengenal kamu lebih jauh. Dan ya, besok juga aku mau dijemput kamu.

Jam berapa kesini kira-kira?

“Siap nggak kalau aku jemput jam 11? Atau kepagian?”

Oke, jam 11 ya aku tunggu.

Sebentar, ini kamu chat sambil nyetir? Bukannya tadi bilang baru mau keluar kantor?”

“Nggak, aku masih di parkiran.”

“Aku nyetir dulu, ya.”

Kabarin aku kalau udah sampai rumah, boleh?”

“Yaa, oke.”

Hati-hati di jalan, Hyunjae.

***

Suasana kafe masih belum terlalu ramai siang itu, hanya ada beberapa meja yang terisi pengunjung. Cuaca cerah di bulan September mengurungkan niat Luna dan Hyunjae untuk duduk di teras kafe seperti malam sebelumnya, karena sinar mataharinya terlalu menyengat. Akhirnya mereka memutuskan untuk naik ke lantai dua yang masih sepi, dan memilih meja di pojokan dekat AC.

Setelah memesan makanan, Luna dan Hyunjae mulai mengeluarkan laptop dari tasnya masing-masing. Siap bekerja ditemani musik yang mengalun pelan dari speaker kafe. Satu lagi yang disukai mereka dari tempat ini, musik yang disetel selalu nyaman didengar dan tidak pernah dalam volume tinggi sehingga tidak mengganggu percakapan.

“Eh, aku suka lagu ini,” kata Luna sembari menunggu laptopnya menyala. “Ini soundtrack drama, enak-enak semua lagunya.”

“Aku juga suka lagu ini, tapi nggak tau kalau ini soundtrack drama. Bukan penyuka drama soalnya,” Hyunjae menyahuti. Laptopnya sudah duluan menyala. Tangannya langsung bergerak memegang wireless mouse dan membuka satu-satu aplikasi penunjang kerjaannya.

“Aku boleh intip kerjaan kamu?” tanya Luna hati-hati. Sejak tadi memang dia berniat sekali ingin melihat perkerjaan seorang arsitek yang sesungguhnya, karena seumur hidupnya Luna belum punya kenalan seorang arsitek.

Hyunjae mengangguk. Luna yang duduk berhadapan dengan Hyunjae langsung berdiri dan memutari meja, berdiri di samping Hyunjae lalu merunduk mendekatkan wajahnya ke laptop Hyunjae.

“Duduk dong, pegel nanti,” kata Hyunjae sambil menarik kursi di sebelahnya.

Luna mendudukkan tubuhnya perlahan dengan mata tidak terlepas dari layar laptop Hyunjae. Matanya membulat melihat dari beberapa aplikasi yang dibuka Hyunjae, tidak satupun yang dikenalinya atau dipahami cara kerjanya.

“Aku nggak ngerti aplikasi apa aja itu.”

“Mau dijelasin?”

“Iya mau.”

Tangan Hyunjae menggerakkan mouse-nya lagi, mengarahkannya ke aplikasi pertama. “Yang ini namanya SketchUp. Ini aku pakai untuk bikin desain mentah—desain kasarlah gitu. Aku coret-coret di sini sampai desain dasarnya jadi dan disetujui klien.”

“Nah yang kedua ini, AutoCad. Disini aku harus bikin versi mendetail dari desain dasar tadi sekalian komponen bangunannya juga. Proses ini penting banget nggak boleh salah, karena hasil dari AutoCad ini nantinya akan diserahkan ke kontraktor untuk realisasi desain bangunan tadi.”

“Dan untuk desain interiornya, aku pakai ini, Chief Arch namanya. Cara kerja tiga aplikasi ini beda-beda, tapi aku nggak akan jelasin ya, bingung kamu pasti hehehe.”

Tangan Luna mengambil mouse yang masih tertangkup tangan Hyunjae, membuat Hyunjae berjengit dalam hati saat jarinya bersentuhan dengan jari Luna. Akhirnya ia melepaskan tangkupan tangannya dan membiarkan mouse diambil alih Luna sepenuhnya.

Luna mengklik tab AutoCad dengan hati-hati dan memperhatikan gambaran rumit buatan Hyunjae. “Kamu keren banget bisa bikin ginian. Sumpah aku nggak ngerti sama sekali, Jae. Ini terlihat rumit banget buatku.”

“Ya wajarlah kamu nggak ngerti, ini bukan bidang kamu. Aku kan udah belajar arsitektur 7 tahun lebih, ditambah pengalaman-pengalaman selama kerja.”

Luna mengalihkan pandangan dari layar laptop, menatap wajah Hyunjae yang sedang menatapinya balik. Luna tersenyum hangat, “Beneran kamu keren. Aku suka profesi kamu, Hyunjae. Makasih udah jelasin ke aku.”

Hyunjae membalas senyum Luna. Tangannya bergerak mendekati wajah Luna dan sempat tergantung di udara karena Hyunjae meragu. Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk menyentuh rambut halus Luna, menyelipkan beberapa helainya di belakang telinga Luna. “Thank you. Seneng banget rasanya ada yang menghargai kerjaanku sampai segitunya.”

Luna menunduk menyembunyikan mukanya yang ia yakin pasti sudah memerah sekarang, malu. Cara Hyunjae tadi menyelipkan rambutnya sungguh lembut. Sudah lama rasanya Luna tidak merasakan sentuhan ringan seperti itu.

“Aku… boleh lanjut kerja lagi ya?” kata Hyunjae sambil menggeser laptop dan mouse-nya hati-hati.

Luna seperti tersadar akan tujuan utama mereka berada di kafe ini sekarang. Dia menggangguk dan berdiri untuk kembali ke kursinya dan mulai mempersiapkan otaknya untuk fokus me-review laporan buatannya kemarin.

“Na, maaf ya,” kata Hyunjae lagi.

“Hah maaf kenapa?” Luna bingung.

“Cowok lain mungkin bakal ngajak ceweknya seneng-seneng hari Sabtu gini. Kamu malah aku ajakin kerja.”

“Aku doyan kerja, dan kata Eric kamu juga gitu. Lagian memang kita sama-sama ada kerjaan yang harus diselesaikan. Dan aku juga seneng kok kerja bareng kamu gini. Kamu nggak perlu minta maaf, aku seneng hari ini.”

Hyunjae nggak membalas perkataan Luna. Dia sibuk membenamkan wajahnya ke arah laptop, berharap Luna tidak bisa melihat ekspresi wajahnya yang nyengir lebar karena senang mendengar ucapan Luna tadi.

“Nggak usah malu gitu. Merah amat kupingnya,” sahut Luna jahil.

Cengiran Hyunjae lenyap. Dia berdeham kelewat kencang karena salah tingkah sekaligus malu wajahnya yang memerah ketahuan Luna ternyata.

“Nggak, biasa aja. Udah yuk, kerja. Jangan kebanyakan ngobrol,” balas Hyunjae datar.

Luna terbahak dalam hati, dasar tsundere!

***

Hari Minggu pagi, Luna sedang menyantap teh chamomile hangat sambil menonton konten memasak di channel youtuber dengan lebih dari satu juta subscriber itu ketika ponselnya bergetar.

Luna membuka ponsel flip-nya.

[photo received]

Refleks, dirinya terkekeh pelan menanggapi foto yang baru saja didapatnya dari Jaehyun di chat room KTalk-nya.

Maksudnya gimana nih, tiba-tiba kirim foto bubur ikan?

Itu sarapan aku pagi ini.

Sarapan kamu mana?

Bilang aja mau nanyain udah sarapan apa belum, susah amat. Luna terkekeh lagi. Lucu sekali tingkah seorang tsundere ini.

[photo sent]

Itu doang? Cuma teh?

Iya, lagi minum teh dulu habis itu mau nyemil buah.

Lagi diet apa gimana?

Nggak diet, emang aku kalau pagi harus diisi buah dulu. Siangan baru makan lagi.

Setelah Luna mengetikkan balasannya itu, Jaehyun tidak membalas chat-nya lagi. Luna tidak memusingkan, ia kembali menatap layar laptopnya, melanjutkan tontonan konten memasaknya. Luna memang hobi memasak apalagi membuat cemilan-cemilan ringan yang bisa tahan lama dijadikan stok di freezer-nya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, tiba-tiba bel pintu apartemennya berbunyi. Luna menekan tombol pause di laman YouTube-nya dan beranjak dari kursi makan. Dari layar interkom di samping pintu masuk, Luna bingung melihat pengantar makanan berdiri di depan pintunya.

“Dengan mbak Luna?” tanya pengantar makanan itu sopan, ketika Luna membukakan pintunya.

“Ya, betul. Tapi saya nggak pesan makanan ya? Salah kirim mungkin?”

Pemuda pengantar makanan tadi mengecek lagi alamat yang tertera di struknya, dan tetap menyerahkan sebungkus makanan tadi pada Luna. “Betul kok, Mbak. Dan ini sudah dibayar juga sama pemesannya. Saya pamit ya, Mbak, selamat menikmati.”

Setelah kembali masuk ke apartemennya, Luna membuka bungkusan makanan tadi dan ternyata—bubur ikan! Ya, bubur ikan yang persis sama dengan yang difoto Jaehyun tadi padanya.

Buru-buru Luna mengambil ponselnya dan mencari kontak Jaehyun, tapi ternyata notifikasi KTalk-nya sudah berbunyi duluan.

Udah sampe ya? Nanti habis makan buah, dimakan ya, buburnya.

Semoga suka.

Luna terduduk dalam diam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Yang baru saja dilakukan Jaehyun padanya… sungguh manis sekali. Luna terharu.

Nggak jadi makan buah. Aku mau langsung makan buburnya, wangi banget. Mumpung masih panas juga.

Makasih ya, Jae, udah repot-repot kirim sarapan.

Sama-sama, nggak repot kok. Tinggal pencet-pencet doang, abangnya yang repot nganterin ke kamu.

Hahaha dasar. Makasih sekali lagi. Aku suka banget bubur ikan!

Syukurlah kalau suka, dihabisin ya.

Oh ya, aku siangan mau ke mall sekalian ke toko buku.

Kalau kamu bosen di apartemen dan mau ikut, boleh.

Tangan Luna yang kini lagi mengaduk bubur ikan di mangkuknya, berhenti. Dirinya tertawa sendiri melihat cara Jaehyun mengajaknya pergi.

Bilang aja ngajak, atau pengen ditemenin.

Hehe. Mau nggak?

Boleh, dimana?

COEX ya. Aku jemput jam satu?

Naik subway aja yuk, jangan naik mobil.

Pengen jalan kaki. I need some fresh air.

Ya udah, oke. Ketemu di stasiun aja kalau gitu ya, jam satu.

Oke, Jae. See you!

See you!

***

Di stasiun, Jaehyun sudah sampai lima menit lebih dulu dari Luna. Ia terlihat tampan dan segar sekali dalam balutan T-shirt putih dengan aksen saku kecil di bagian depan sebelah kiri, celana jins warna Khaki dengan belt hitam melingkar di pinggangnya—menahan T-shirt yang disisipkan dalam celananya agar tetap rapi—dan terakhir, kardigan rajut lengan panjang dengan kancing dibiarkan terbuka, berwarna abu-abu tua.

“Hei, Jae!”

Jaehyun yang sedang berkonsentrasi pada layar ponselnya, menoleh ketika pundaknya ditepuk dari belakang, yang ternyata oleh Luna.

“Maaf nunggu. Udah lama?”

Damn.

She looks very pretty, ungkap Jaehyun dalam hati.

Luna yang siang itu mengenakan rok jins lipit di atas lutut dan atasan lengan panjang berwarna dusty rose, berikut dengan rambut panjang wavy-nya yang dibiarkan tergerai dihiasi bandana senada dengan atasannya, membuat hati Jaehyun berjengit.

Wajah Luna yang pada dasarnya sudah mulus dan cantik, dihiasi riasan minimalis siang itu. Hanya sapuan blush on tipis di pipinya dan lipstik pink mauve keluaran Bobbi Brown teroles di bibirnya.

“Jae?”

Telapak tangan Luna yang bergerak ke kanan dan kiri di depan wajahnya membuat Jaehyun kembali tersadar. “Eh—sorry. Nggak kok, nggak lama. Lima menitan doang paling.”

“Ah, oke.”

Setelah merespon Jaehyun, Luna memutuskan untuk mendekatkan dirinya pada Jaehyun hingga mereka berdiri berdampingan sekarang. Agak terlalu dekat, hingga lengan kanan Luna dan lengan kiri Jaehyun sedikit bersentuhan.

Ketika kereta yang ditunggu akhirnya tiba, Jaehyun membiarkan Luna melangkah masuk lebih dulu dan ia mengikutinya di belakang.

“Itu ada satu kursi kosong, kamu duduk situ,” kata Jaehyun, sambil menunjuk satu kursi dari tempat mereka berdiri, dengan dagunya.

“Nggak ah, aku berdiri aja—”

“Kamu pakai rok pendek, Na, mending duduk.”

Luna menurut, ia mendekati kursi yang Jaehyun maksud dan mendudukinya. Dari tempatnya berdiri, Jaehyun bisa melihat kaki jenjang Luna sampai dengan atas lutut yang terekspos akibat rok pendeknya dan Jaehyun merasa tidak nyaman—terlebih ketika serombongan pemuda memasuki kereta dengan tergesa tepat sebelum pintu kereta tertutup, dan posisi mereka berdiri tepat di hadapan Luna.

Jaehyun menyadari, beberapa pasang mata dari rombongan pemuda itu menatap serempak ke arah Luna dengan pandangan tidak sopan, terlebih ketika mereka sadar Luna tidak berdarah sama dengan mereka—Luna bukan orang Korea. Samar, Jaehyun mendengar mereka mulai berceloteh sambil sesekali tersenyum menyeringai ke arah Luna.

Kali ini Jaehyun tidak tinggal diam.

Ia melepaskan pegangannya dari handle grip berwarna kuning yang menggantung di atasnya, dan segera berjalan mendekati Luna. Ketika Luna sudah berada dalam jangkauannya, Jaehyun mengulurkan tangannya sambil berkata, “Na, ayo pindah gerbong.”

Luna langsung menyambut uluran tangan Jaehyun dan membiarkannya tetap berada dalam genggamannya ketika mereka berjalan menjauhi serombongan pemuda tadi. Dalam hati, Luna sungguh bersyukur Jaehyun paham situasi dengan membawanya pergi dari gerbong itu.

Setelah berjalan melewati dua gerbong, akhirnya mereka menemukan satu gerbong yang agak kosong dan segera menduduki dua kursi yang tersisa di pojok dekat pintu darurat.

“Makasih, Jae. You saved me,” ujar Luna setelah mereka berdua duduk berdampingan.

Jaehyun tidak langsung menanggapi, ia malah sibuk melepas kardigannya dan memberikannya pada Luna. “Stasiun tempat kita turun masih agak jauh. Use this to cover your thighs.”

Luna tertegun. Ia mengambil kardigan dari tangan Jaehyun dengan ragu-ragu. Samar, ia dapat menghirup aroma musk segar yang menguar dari kardigan Jaehyun yang masih ia genggam.

Hurry. Next stop is close. More people will hop in.”

Luna mengangguk paham. Ia segera membentangkan kardigan Jaehyun untuk menutupi bagian paha dan kakinya sehingga tidak lagi terekspos dan mengundang pandangan menjijikan dari manusia-manusia berotak kotor seperti rombongan pemuda tadi.

Luna bisa merasakan pipinya memerah, ia malu. “Sorry. I like this skirt—and this is summer. Biar adem tadinya, makanya aku pilih pakai rok siang ini.”

“Jangan lagi pakai rok sependek itu kalau mau pergi naik kendaraan umum. Promise me.”

Walau agak terkejut mendengar permintaan Jaehyun, tapi akhirnya Luna pun mengiyakan karena hal itu terdengar sangat rasional. “Promise.”

“Aku tau, cewek suka pakai rok—and you look good wearing that skirt anyway. Tapi hati-hati ya, Na? Make sure kamu aman naik mobil pribadi atau paling nggak, kamu nggak pergi sendirian ketika kamu lagi pengen pakai rok pendek.”

Aduh, apa ini?

Luna deg-degan sendiri mendengar kata demi kata yang baru saja dilontarkan Jaehyun padanya. Rasanya sudah lama ia tidak dikhawatirkan seperti ini oleh laki-laki—ya, selain Younghoon dan Juyeon tentunya.

“Jangan marah ya, aku ngomong gini. Aku cuma… care aja sama kamu. Maaf ya kalau terdengar bawel.”

“Aku nggak marah. Seneng sih malah, ada yang perhatian sampai segininya… Eh m-maksudnya, dibawelin kayak gini aku suka. Bukan suka juga sih, duh gimana ya.”

“Nggak usah salah tingkah gitu.”

Pipi Luna memerah lagi, malu untuk yang kedua kalinya.

Dalam hati ia sibuk merutuki dirinya yang ia tidak mengerti kenapa harus tiba-tiba jadi gugup begitu di depan Jaehyun.

Luna menundukkan kepalanya menatap lantai kereta karena menahan malu, sehingga ia tidak menyadari senyum yang tersungging di wajah Jaehyun—yang kini sedang menatapi dirinya.

“Na, lihat sini dong. Memangnya lantai kereta lebih menarik daripada mukaku ya? Dari tadi ngelihatin lantai terus perasaan.”

“Nggak gitu. Aku malu.”

“Nggak ada alasan untuk malu. Sini, lihat aku. Masa ngobrolnya sambil buang muka gitu sih, kayak orang musuhan aja.”

Luna menarik nafas panjang sebelum mengalihkan pandangannya, menatap wajah Jaehyun yang terlihat ceria dengan senyum lebar yang menampilkan deretan giginya yang rapi. Jantung Luna berdetak cepat lagi.

Tuhan waktu ciptain Jaehyun moodnya lagi bagus banget ya. Semua yang bagus kayaknya dikasih ke Jaehyun. Ganteng banget dia, Tuhan!

Jaehyun tidak paham arti dari tatapan Luna padanya saat ini, tetapi ia melihat jari Luna yang sedang meremat ujung kardigannya. Detik ini, Jaehyun memutuskan untuk mencoba peruntungannya.

Ia menangkupkan tangannya di atas jemari Luna. Menunggu. Menunggu apakah Luna akan menarik jarinya atau—

Jaehyun mencelos ketika Luna menarik jarinya dalam hitungan detik setelah berada dalam tangkupan tangannya. Tidak apa-apa, Jaehyun menenangkan dirinya sendiri. Mungkin Luna merasa risih. Mungkin tidak seharusnya ia melakukan skinship secepat ini pada Luna.

“Jari aku lagi keringetan,” kata Luna, seolah paham yang dipikirkan Jaehyun. Lalu ia melingkarkan lengannya di lengan Jaehyun dan mendekapnya. “I like it this way.”

Sekali lagi, Luna melewatkan ekspresi sumringah di wajah Jaehyun ketika ia melingkarkan lengannya, karena Luna kembali mengalihkan pandangannya menatap lantai kereta.

Sepanjang sisa perjalanan kemudian dihabiskan Luna dan Jaehyun dalam diam. Keduanya sibuk menenangkan kupu-kupu yang lalu lalang berterbangan menggelitik perut masing-masing.

***

I didn’t know you’re a fan of Marvel’s superheroes!

A big fan, to be exact—and especially Iron Man.

“Kenapa suka Iron Man?”

Luna dan Jaehyun sudah keluar dari toko buku sekitar setengah jam yang lalu, dan kini keduanya sedang berjalan-jalan santai di taman terbuka di lantai paling atas mall ini. Tangan kanan Jaehyun menenteng satu eco-bag berisi beberapa komik Marvel edisi terbaru dan satu literatur tentang arsitektur. Tangan kirinya memegangi es krim cone yang didapat dari mesin es krim koin di area food court sebelum ia dan Luna memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu di taman ini.

Well, karena sayangnya tidak ada es krim rasa mint chocolate di mesin es krim tadi, jadilah mereka berdua memilih rasa favorit kedua setelah mint choc—vanila untuk Luna, dan cokelat untuk Jaehyun.

“Aku suka karakter yang dibangun creator Stan Lee untuk Iron Man,” jawab Jaehyun setelah menggigit pinggiran cone-nya. “Bentar deh, kamu ngikutin film-filmnya Marvel Cinematic Universe nggak?”

“Ngikutin, some of, nggak semuanya sih.”

“Setuju nggak, kalau aku bilang aku suka karakter Iron Man yang cenderung sarkastik dan arogan—karena dia terlalu jujur dan percaya diri banget dengan capability-nya. Well, dia itu successful dan super rich karena dia pinter banget, intelligent—dan walaupun dia superhero tapi basic human instinct-nya kuat. Dia setia dan pedulian banget. Not to mention he is also very humorousjokes-nya dia tuh asik. Dia bisa nyelipin sarkastiknya dibalik candaannya.”

Luna gagal menyembunyikan tawanya mendengar Jaehyun yang menjelaskan secara detail dan rinci soal kekagumannya pada karakter Iron Man. “If Iron Man was real—and a girl—I bet you’d die to date her!

Gantian kini Jaehyun yang tertawa. “Nggaklah, nggak segitunya kok. Tapi kalau Iron Man nyata, mad respect for him. Angkat topi deh kalau ketemu. Well, enough about me and Iron Man. Gantian, kamu sukanya apa?”

“Duh, malu jawabnya. Nggak keren kayak idola kamu Iron Man soalnya.”

“Nggak ada yang menuntut jawaban keren disini. Lagian keren atau nggak itu kan relatif. Jadi, suka apa?”

“Disney. Hampir semua karakter buatan Walt Disney aku suka banget. Di umur segini, salah satu bucket list aku yang belum kesampaian adalah ngunjungin semua Disneyland di dunia.”

“Dan menurut kamu hal itu nggak keren karena?”

It sounds too childish.”

Liking Iron Man is not a mature thing either.”

“Tapi banyak orang dewasa yang suka Marvel thingy. Meanwhile karakter Disney penyukanya kebanyakan anak-anak.”

“Nggak usah malu untuk ungkapin hal yang kamu suka dan yang kamu nggak suka. Like I said, nggak ada yang berhak menghakimi kamu soal apapun itu yang jadi kesukaan kamu, selama nggak merugikan orang lain. Kamu suka Disney, I think it’s awesome.”

Luna dan Jaehyun kini sudah sampai di bagian ujung taman yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung sky scraper yang menjulang tinggi. Angin sesekali berhembus menerpa, menimbulkan sedikit efek segar dan sejuk di tengah udara musim panas.

Thank you for not judging bad about me liking Disney,” kata Luna sambil melipat kedua tangannya di dada. Es krimnya sudah habis sejak beberapa menit lalu. “Aku suka Disney dari dulu banget, dari kecil. Dan ternyata nggak hilang sampai sekarang. Sayangnya beberapa mantanku dulu banyak yang nggak suka karena menurut mereka terlalu kekanakan. Bahkan aku pernah lagi masa pendekatan sama satu cowok waktu kuliah, begitu dia tau aku suka Disney, dia langsung hilang gitu aja. Aku di-ghosting gara-gara suka karakter Disney.”

“Hah beneran? Dia tinggalin kamu karena kamu suka karakter Disney? It’s his loss anyway, not yours. Cowok aneh.”

“Hehe iya. Makanya tadi aku ragu mau jawab pas kamu tanya aku sukanya apa.”

Jaehyun menangkap dengan jelas ekspresi sendu yang kini teraut di wajah Luna, dan juga sorot matanya yang meredup. “Luna, I promise you can be honest with me about anythingyour likes, your dislikes, your dreams, your fearsI won’t judge you. Jangan takut untuk berbagi hal itu sama aku ya?”

Perlahan, senyum mulai merekah lagi di wajahnya. Seiring dengan helaian rambutnya yang berkibar akibat terpaan angin, Luna menganggukan kepalanya sebagai respon atas kalimat Jaehyun barusan.

“Jadi, Disneyland mana yang belum kesampaian kamu kunjungin?” tanya Jaehyun lagi.

“Paris,” jawab Luna. “Disneyland Paris. One of my biggest dreams.”

“Wow, sisanya udah kamu kunjungin semua? What a true fan of Disney!

“Cuma ada enam kok, Jae, total Disneyland di dunia. Dua yang di US, aku kesana waktu SD dan SMP kalau nggak salah. Kalau yang di Shanghai, Tokyo dan Hongkong, itu pas aku lulus SMA. Dikasih hadiah keliling Disney Asia sama Mama dan Ayah karena aku berhasil masuk kampus SNU. Yang Paris nih, masih belum kesampaian juga.”

“Kamu bahkan pernah ke Disneyland US… Kenapa belum kesampaian yang di Paris?”

“Waktunya belum tepat… I guess? Ayah susah dapat cuti panjang dari kantornya soalnya. Nggak mungkin juga aku kesana sendirian kan? Dan temen-temenku juga nggak ada yang mau nemenin kesana.”

“Ya udah, nanti aku temenin kesana ya? Biar salah satu bucket list kamu itu akhirnya bisa dicoret.”

Luna menaikkan alisnya sebelah sambil menatap Jaehyun. Tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kamu mau main ke Disneyland?”

Why not? Lagian sekarang Marvel udah diakuisisi Disney, kan? More reasons for me to visit Disneyland with you.”

“Kalau Marvel nggak ada hubungannya sama Disney, masih mau temenin aku—”

“—Mau.”

Luna meneliti wajah Jaehyun. Ia mencari kejujuran dan kesungguhan disana, dan sepertinya Luna menemukannya. Ia tahu Jaehyun tidak main-main dengan ucapannya. “Thanks, Jae. You made me happy today. Very happy.”

“Aku nggak ngapa-ngapain deh perasaan?”

“Makasih udah ngajak aku jalan hari ini.”

“Aku nggak ngajak, kamu yang mau ikut, kan?”

Luna tertawa sambil melayangkan tinju pelan di bahu Jaehyun. “Iya deh ralat, makasih ya udah bolehin aku ikut kamu jalan-jalan hari ini.”

I’m happy if you’re happy. Lain kali kalau mau ikut aku jalan-jalan lagi, bilang aja, pasti aku bolehin.”

Nope, lain kali aku maunya kamu yang ajak.”

“Oke oke, tapi harus mau ya. Aku nggak terima penolakan.”

“Yaa tergantung, kalau kebetulan pas kamu ajak ternyata aku udah diajak duluan sama yang lain, berarti aku nggak bisa.”

Sebetulnya Luna melontarkan kalimat tersebut dengan nada bercanda, dan ia pun memang tidak bermaksud serius dengan ucapannya. Jaehyun tidak tahu, walaupun hari ini belum berakhir tetapi dalam hatinya Luna sudah menantikan acara jalan bareng selanjutnya.

“Na, maaf aku tanya begini. Tapi boleh aku tau, kamu lagi dekat sama seseorang nggak sekarang ini? Ada orang yang bisa bikin kamu nolak ajakan pergi dari aku nggak?”

Luna menyadari perubahan nada bicara Jaehyun yang berubah dari santai menjadi serius saat menanyakan hal tadi padanya. “Hmm… memangnya kenapa kalau aku lagi dekat sama seseorang?”

“Ada atau nggak?”

Does that matter?”

Matters to me. Buat apa aku ngelanjutin pendekatan sama kamu kalau kamunya udah ada yang duluan deketin?”

“Kok segitu aja perjuangannya? Langsung nyerah?”

“Bukan gitu, aku hanya nggak terbiasa ngerebut hak orang lain. I’ll fight to achieve my desire, tapi nggak kalau harus mengambil milik orang lain.”

“Kalau begitu, selamat berjuang. Aku nggak lagi dimiliki siapa-siapa, juga nggak lagi dekat sama cowok lain. Jadi…,” Luna berhenti sebentar. Ia menggigiti bibirnya untuk meredam perasaan bersemangatnya agar tidak terlalu kentara di mata Jaehyun. “…jangan cepat menyerah ya?”