CHAPTER 6.

Sudah lebih dari dua minggu berlalu semenjak pertemuan Luna dan Jaehyun di stasiun kereta. Setelah hari itu hubungan mereka berdua semakin intens; saling memberi kabar dan menyemangati urusan pekerjaan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sesekali Jaehyun menjemput Luna di kantornya dan mereka makan malam bersama sebelum pulang, walaupun tidak sering karena terkadang Luna pun menyetir sendiri ke kantor kalau ada rencana lembur.

Seperti hari ini misalnya, sudah lewat dari jam tujuh malam tapi Luna masih bertahan di kantornya demi menyelesaikan dua laporan penting hasil tax auditing dua klien besarnya, untuk dapat secepatnya diserahkan pada atasannya. Sebetulnya hari ini Luna tidak dalam kondisi baik karena pagi hari setelah ia sampai kantor, Luna baru sadar ternyata ia sedang haid hari pertama. Dan seperti kebanyakan perempuan pada umumnya, situasi hormonal ini berimbas banyak pada tubuhnya.

Luna lemas hampir sepanjang hari karena menahan sakit pada punggung bawahnya dan juga kram di perutnya. Berikut sedikit rasa mual yang membuatnya kehilangan nafsu makan.

Jari-jari Luna yang sedang mengetik di atas keyboard-nya terhenti ketika rasa sakit yang tadi sempat hilang sesaat, kini kembali lagi menyerang perut dan pinggangnya. Tangan Luna terkepal, dahinya mengernyit. Ditariknya sebanyak mungkin oksigen yang bisa ia hirup dan dihembuskannya perlahan, terus begitu selama beberapa detik demi mengurangi rasa sakitnya.

“Na, you okay?”

Luna mendongak. Ternyata Younghoon dan Juyeon sudah berada di ambang pintu ruangannya—entah sejak kapan. Wajah mereka berdua menyiratkan rasa khawatir.

“Pulang gih, ya ampun. Kenapa masih maksa lembur? Dari pagi lo udah nggak enak badan gini, harusnya nggak usah lembur,” kata Juyeon sambil berjalan mendekati Luna.

“Laporan gue belum selesai.”

“Ya kan bisa kerjain di rumah kek gitu, atau besok lagi. Keras kepala banget lo tuh kalau udah soal kerjaan,” kali ini omelan datang dari Younghoon yang sedang memeriksa berkas yang lagi Luna kerjakan. “Udah, besok lagi bisa ini sih. Lo pulang sekarang ya. Beresin barang bawaan lo, ini meja lo biar gue yang rapiin.”

Luna menurut. Ia akhirnya menyerah, menerima sinyal yang dikirimkan oleh otaknya bahwa tubuhnya tidak bisa mentolerir lagi rasa sakit yang sedang menjalar. Tubuhnya perlu diistirahatkan secepatnya.

“Lo pulang sama siapa? Dijemput Jaehyun kan?” tanya Juyeon lagi.

Luna menggeleng. “Nyetir sendiri. Jaehyun udah pulang duluan dari tadi.”

“Aduh, emang lo kuat nyetir? Bahaya nggak sih, Na, lo nyetir dalam keadaan sakit gitu.”

“Kuat, Hoon. Udah jangan khawatir dong, gue cuma sakit haid aja ini bukan sakit keras. Yuk ah, gue duluan pulang ya. Makasih loh Hoon, Juy, udah merhatiin gue.”

“Gue anterin ke apartemen lo deh ya? Mobil lo simpen di kantor aja.”

“Nggak usah, Juyeon. Gue bisa nyetir sendiri, beneran deh, gue masih kuat.”

“Ya udah, gue anterin sampai parkiran deh kalau gitu. Dasar, kepala batu!” gerutu Juyeon yang menyerah karena Luna tetap bersikeras tidak ingin diantar pulang. Tipikal Luna, sesakit apapun dirinya kalau dirasa masih sanggup, ia tidak akan manja sekalipun itu ke sahabatnya sendiri. Luna paling anti merepotkan orang lain di kala ia merasa masih bisa menjalaninya sendiri.

“Gue nggak anter ke bawah ya? Beresin dulu meja lo soalnya. Get well soon, Na. Cepet-cepet kabarin kita kalau ada apa-apa, oke? Hati-hati nyetirnya,” ujar Younghoon dari balik komputer Luna. Tangannya masih sibuk membereskan segala macam berkas dan alat tulis yang berserakan di meja.

Thank you, Hoon.”

***

Luna memiringkan tubuhnya di kasur dengan gelisah. Sudah dari satu jam yang lalu ia berbaring, tubuhnya lelah, matanya sudah mengantuk namun rasa sakit yang terlalu tajam menghalanginya untuk tidur. Segala posisi sudah ia coba—telentang, tengkurap, meringkuk—tapi semuanya tidak berhasil membuatnya nyaman.

Ia masih menyesali keputusannya yang tidak mampir ke apotek untuk membeli obat ibuprofen atau parasetamol untuk meredakan nyerinya. Luna merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia salah ingat karena mengira ia masih punya cadangan obat berjenis pain killer tersebut di apartemennya. Tidak hanya itu, menstrual patch-nya pun ternyata habis dan Luna baru ingat ia memang menunda mengisi ulang persediaan menstrual patch-nya karena dirasa tanggal haidnya masih jauh dari yang seharusnya. Luna lupa memperhitungkan kemungkinan tanggal haid yang lebih cepat dari bulan sebelumnya.

Akhirnya Luna memutuskan untuk mengecek ponselnya, mencari tontonan di Netflix yang bisa membuatnya lupa akan sakitnya. Lima belas menit berlalu, hasilnya nihil, Luna tetap kesakitan. Sampai terbesit satu nama di otaknya yang mungkin, mungkin, bisa membantunya mengalihkan rasa sakitnya.

Luna tahu ini jam sebelas malam, kecil kemungkinan pesannya akan dibalas. Tapi Luna tetap mencoba mengetikkan pesan untuknya.

Hyunjae

Masih bangun?

Luna sungguh berharap ponselnya segera menderingkan notifikasi pesan masuk secepatnya. Ia memejamkan matanya, menunggu—

Ting!

Mata Luna membuka lebar.

Masih, Na. Ada apa? Kenapa kamu belum tidur?

Ingin rasanya Luna bersorak.

Ia senang sekali harapannya terkabul. Jaehyun masih bangun dan membalas pesannya dengan cepat.

Aku nggak bisa tidur, boleh temenin ngobrol sebentar?

Are you okay? Mau aku telepon atau chat di KTalk aja?

Atau mau video call?

Mmh, sebetulnya aku lagi kesakitan. Menstrual thingy. Jadinya nggak bisa tidur.

Apanya yang kerasa sakit?

Sakit semuanya, perutku kram, punggung bawah juga sakit dan pegel.

Dua menit kemudian, balasan dari Jaehyun masuk.

Maaf ya, aku nggak paham kalau lagi sakit haid harus diapain.

Tapi barusan aku googling, dan menurut artikel yang kubaca, coba dikompres air hangat perutnya atau pakai bantal panas.

Lucu banget kamu googling tentang haid. By the way ini juga aku lagi kompresin perutnya kok, tapi ga terlalu mempan. Masih sakit.

>>Minum obat semacam pain killer katanya bisa juga, Na. Aspirin, parasetamol atau ibuprofen. Udah dicoba?

Iya biasanya aku minum parasetamol atau ibuprofen tapi obatku lagi habis. Aku nggak ngeh kukira masih ada cadangan.

>>Aku biasanya pakai menstrual patch tapi ini juga habis. Sengsara banget pokoknya. Salahku sih, nggak langsung beli pas tau habis.

Jae, I’m sorry malam-malam gini aku recokin kamu dengan hal yang nggak kamu ngerti.

It’s okay. No need to be sorry.

Na, tunggu sebentar ya.

Mau ngapain?

Tunggu sebentar pokoknya.

Kening Luna mengernyit ketika Jaehyun tidak lagi online.

Hingga lima menit lamanya, status chat Jaehyun masih juga tidak kembali online. Luna mengetik pesan lagi.

Hyunjae, kok hilang?

Jae… :(

Aaah, Hyunjae nyebelin! Luna meraung dalam hati.

Ia kesal, kini sudah lima belas menit berlalu dan Jaehyun masih tidak membalas pesannya sama sekali—apalagi meneleponnya. Padahal tadi Jaehyun hanya menyuruh Luna untuk menunggu sebentar, se-sebentar apa sebenarnya?

Akhirnya Luna memutuskan untuk tidak menunggu lagi balasan dari Jaehyun. Ia melempar ponselnya dengan asal di kasurnya, dan memilih untuk menaikkan selimut hingga menutupi kepala sambil memejamkan mata. Memaksa tubuhnya untuk bisa shutting down secepatnya.

Ting tong!

Masih dengan mata terpejam, Luna mencoba menajamkan lagi pendengarannya. Sepertinya itu bel apartemennya yang berbunyi—atau ia berhalusinasi?

Ting tong! Ting tong!

Kali ini ia yakin, memang betul bel apartemennya yang sedang berbunyi. Dengan tangan merapikan rambut seadanya, Luna bangkit dari kasurnya sambil memegangi perutnya yang masih terasa sakit. Agak tertatih, Luna keluar dari kamar, mendekati layar interkom untuk melihat siapa yang datang selarut ini ke apartemennya.

Luna mengatupkan tangan di mulutnya yang langsung menganga ketika melihat siapa yang datang dari layar interkomnya. Buru-buru Luna melepas selot pengaman pintu dan membuka pintu unitnya lebar-lebar.

“Hei, maaf lama ya? Tadi obatnya langsung dapat, tapi menstrual patch-nya baru dapat di apotek ketiga. Untung udah banyak apotek yang buka 24 jam sekarang.”

“Hyunjae… Aku kan tadi mintanya ditemenin ngobrol—”

“Ya makanya aku kesini, biar bisa ngobrol.”

“—Ngobrol di telepon maksudnya, Jae.”

“Kalau aku nggak kesini, terus obatnya gimana bisa nyampe sini coba aku tanya?”

Entah dapat dorongan dari mana, tiba-tiba Luna menubruk tubuh Jaehyun hingga lelaki itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Kalau saja tidak ada pintu yang menahannya, sudah pasti Jaehyun terjengkang ke belakang akibat tubrukan tubuh Luna.

“Makasih ya, Jae. Kamu tengah malam keliling apotek cariin obat dan menstrual patch buat aku. Terharu jadinya,” Luna berkata sambil mendekap tubuh Jaehyun erat-erat. “Aku kesakitan banget seharian ini, beneran nggak bisa tidur juga saking sakitnya.”

Jaehyun yang masih kaget karena dipeluk Luna tiba-tiba, kini mengusapkan tangannya di punggung Luna. “Sama-sama, Na. Aku nggak tega tadi baca chat kamu kayaknya kesakitan banget. Ayo diminum dulu obatnya, biar kamu bisa istirahat.”

Luna mengangguk dan melepaskan pelukannya. Kemudian ia mengajak Jaehyun ke arah dapur, dan memintanya untuk duduk di kursi yang menghadap counter.

“Hyunjae mau minum apa?” tanya Luna sambil mengambil mug untuk ia isi dengan air putih hangat. “Teh mau? Chamomile? Atau peppermint tea?”

Sambil menunggu jawaban Jaehyun, Luna meraih kantung obat yang disimpan Jaehyun di atas konter. Setelah dikeluarkan satu tablet obat yang sudah sangat dikenalnya itu, Luna menelannya bersamaan dengan air putih hangat yang tadi ia siapkan.

“Nggak usah, Na, makasih. Aku nggak lama kok. Udah hampir tengah malam, nanti malah ganggu kamu kalau kelamaan.”

“Kata Mama, kalau ada tamu ke tempat kita itu jangan sampai tamunya pulang dengan perut kosong,” kata Luna. Tangannya sibuk mengambil cangkir baru dari lemari di atas konter, lalu diambilnya satu tea bag rasa peppermint. Setelah terisi air hangat, Luna menyuguhkan cangkirnya di hadapan Jaehyun. Wangi khas daun peppermint memanjakan hidung Jaehyun seketika.

“Ini, diminum ya. Sama ada biskuit juga. Biskuit jahe, cobain deh dicelup ke tehnya, enak. Aku cemilin ini kalau lapar tengah malam,” kata Luna lagi sambil menyodorkan setoples biskuit jahe kesukaannya pada Jaehyun.

“Na, jadi repot loh kamunya, padahal lagi sakit. Makasih ya, aku icip ya ini biskuit dan tehnya.”

“Sakitnya udah jauh berkurang sekarang.”

“Oh ya? Secepat itu obatnya bereaksi?”

“Obatnya sih belum. Tapi gara-gara ada kamu di sini kayaknya, sakitnya jadi berkurang.”

Jaehyun yang sedang menghirup tehnya nyaris terbatuk mendengar penuturan Luna barusan. Luna tertawa dalam hati. Di tengah remangnya lampu dapur sebagai satu-satunya sumber penerangan yang Luna nyalakan, ia bisa melihat wajah Jaehyun memerah sampai ke telinganya. Luna gemas sekali melihat gestur tubuh Jaehyun yang mendadak jadi canggung dan salah tingkah.

“Aku tinggal ke kamar dulu ya? Mau pakai patch-nya.”

“Iya, Na. Sekalian kamu rebahan aja di kasur ya, aku mau habisin dulu ini tehnya. Kamu bener, cocok banget biskuit jahenya dicelupin ke teh. Enak, aku suka.”

Luna tersenyum sekali lagi. Setelah menepuk bahu Jaehyun sekilas, Luna menghilang ke dalam kamarnya.

Tinggallah Jaehyun sendirian, dengan tangan masih memegangi sisa biskuit jahenya. Ia merenungi keberadaan dirinya malam ini. Sebetulnya ketika tadi ia menerima chat dari Luna, Jaehyun sudah dalam posisi siap tidur di kasurnya. Matanya sudah akan terpejam namun otomatis terbuka kembali ketika melihat nama Luna di layar ponselnya. Kalau chat tadi bukan dari Luna, Jaehyun tidak akan sudi menginterupsi keinginan tubuhnya untuk beristirahat hanya sekedar untuk membalas chat apalagi sampai mengorbankan waktu tidurnya seperti ini.

Tapi untuk Luna, ia rela.

Begitu ia tahu Luna sedang kesakitan, rasa kantuk dan lelahnya hilang berganti dengan rasa khawatir. Itulah sebabnya ia tadi bahkan tidak sempat untuk membalas chat terakhir Luna, karena ia sebegitu terburu-burunya menyambar kunci mobil dan pergi mencarikan obat untuk Luna.

Jaehyun menatap cangkir tehnya yang sudah kosong. Ia memutuskan untuk segera membersihkan konter dapur Luna sekaligus mencuci bersih cangkirnya.

Setelah selesai, Jaehyun mendekati pintu kamar Luna yang tertutup tapi tidak rapat, menyisakan sedikit celah.

Jaehyun mengetuk pelan pintunya. “Na?”

Luna yang kini sudah berbaring kembali di kasurnya, membalikkan tubuhnya ke arah pintu dan mengisyaratkan Jaehyun untuk masuk.

“Gimana sekarang? Tambah enakan?” tanya Jaehyun lembut, ketika ia sudah berada di tepi kasur Luna.

Luna mengangguk, dengan selimut menutupi tubuhnya sampai leher, hanya menyisakan wajahnya yang menyembul. “Makasih sekali lagi, Hyunjae. Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu tengah malam kesini. Padahal aku cuma pengen ditemenin ngobrol aja tadi, kamu nggak perlu sampai harus kesini.”

“Lihat kamu kesakitan masa aku mau diem aja? Teleponan doang nggak bikin sakit kamu hilang. Dan lagi, aku nggak ngerasa direpotin.”

“Hehe iya, makasih banyak.”

“Kamu sering sakit kayak gini, Na? Setiap bulan?”

“Iya, setiap bulan, selalu.”

“Udah periksa ke dokter? Barangkali ada yang salah dan harus diobatin?”

“Udah pernah sampai di-USG, tapi nggak ada apa-apa. Memang hormonal aja ini kata dokternya.”

“Sabar ya, kamu hebat dan kuat. Aku belum tentu sanggup dikasih rasa sakit kayak gini, rutin setiap bulan pula.”

“Udah kodratnya perempuan begini. Makanya, sayangin Mama dan kakak perempuan kamu ya, Jae.”

“Iya dong, selalu. Derajat perempuan itu tinggi banget di mataku. Aku menghormati banget perempuan, dari mulai Mama, Kakak, teman-teman. Dan sekarang ketambahan lagi satu perempuan spesial buatku. Kamu.”

Luna menaikkan selimut yang menutupi lehernya, menjadi menutupi setengah dari mukanya, hanya menyisakan bagian matanya saja. Ia malu.

“Hahaha kenapa sih jadi ditutupin gitu mukanya? Gelap juga kok ini kamarnya, muka kamu merah juga nggak akan kelihatan.”

“Hyunjae ah, diem.”

Jaehyun tertawa lagi.

“Na, aku pamit ya? Tidur yang nyenyak ya malam ini. Jangan lupa besok pagi bangun jangan telat. Mau bareng aku nggak ke kantornya? Kalau mau, aku jemput.”

“Nggak usah, aku berangkat sendiri aja. Kayaknya mau lembur lagi deh besok. Thank you anyway tawarannya, Jae.”

“Ya udah kalau gitu, jangan dipaksa lembur kalau terlalu capek ya. Semoga cepet hilang sakitnya. Sweet dreams.”

Sambil berkata begitu, Jaehyun meletakkan telapak tangannya di kepala Luna dan memberikan usapan lembut di rambutnya. Sebetulnya Jaehyun ingin sekali mengecup pucuk kepala Luna sebelum ia meninggalkan kamarnya, tapi Jaehyun menahannya. Ia takut Luna merasa tidak nyaman kalau ia melakukan itu sekarang.

“Ngh, Jae,” panggil Luna lagi. Jaehyun yang sudah bersiap menutup pintu kamar Luna, berhenti. “Sebelum kamu keluar tolong matiin lampu dapur ya,” pinta Luna.

“Oh, oke. Aku pulang ya, good night.”

Good night, Hyunjae!”


Hari ini tanggal 13 September 2021, Jaehyun berulang tahun yang ke-28. Dari pagi Luna sudah berisik menyelamati Jaehyun di ponselnya.

Morning!

Happy birthday, Hyunjae.

Hei bangun dong yang lagi ultah, jangan kesiangan ngantor.

Aku udah siap, mau ke apartemen kamu ya sekarang.

Cepetan mandi, aku nyampe kamu harus udah wangi.

Di kamarnya, Jaehyun kebingungan membaca chat Luna.

Thank you ucapannya.

Kamu ngapain ke sini pagi-pagi? Aku mau ngantor.

Ya sama aku juga mau ngantor.

Kamu nggak usah bawa mobil ke kantor hari ini ya, bareng aku aja.

Nggak usah jajan sarapan juga, aku udah bawain sarapan ini.

Hah gimana?

Aku nggak usah bawa mobil gimana maksudnya?

Ih, udah diem aja tunggu aku sekarang udah di jalan.

Nggak sampai 20 menit kemudian, tepatnya jam 6.45 pagi Luna sudah sampai di apartemen Jaehyun. Dengan ice cream cake—rasa mint choco tentu saja!—di tangan kanan dan paper bag berisi sarapan dan makan siang untuk di tangan kiri.

Jaehyun yang sudah siap dengan setelan kerjanya membukakan pintu untuk Luna dan mempersilakannya masuk. Masih dengan tatapan bingung alih-alih senang melihat kedatangan Luna.

Luna menyimpan paper bag berisi kotak makanan di atas konter dapur. Membuka kotak kue dan menyalakan lilin di atasnya. Dia mengangkat kue dengan kedua tangan, menyodorkannya di hadapan muka Jaehyun.

“Na, aku nggak biasa tiup lilin—”

“Ya aku tau, tapi sekali-kali nggak papa dong? Ayo, make a wish dulu.”

“Ish. Kayak anak kecil deh.”

Hurry! Lilinnya keburu leleh.”

Jaehyun mengalah. Ia pun berjalan mendekati kue di hadapannya. Memejamkan mata dengan kedua telapak tangan terkatup di dada dan menyerukan doa-doanya dalam hati. Setelah selesai, dia meniup api di atas lilin yang langsung padam.

Luna tersenyum senang, rencananya untuk mendatangi Jaehyun pagi-pagi di hari ulang tahunnya berhasil. Tidak ada satupun temannya yang tahu soal ini, Luna merencanakan semuanya sendirian.

“Ini ice cream cake ya, jadi aku simpen di freezer. Jangan lupa nanti pulang kantor dimakan, buat dessert kalau kamu lagi pengen nyemil yang manis. Kamu pasti suka rasanya, mint choco buatan ahjusshi kok itu.”

“Serius itu buatan ahjusshi? Kok aku nggak pernah tau ahjusshi jualan ice cream cake?” tanya Jaehyun heran.

“Emang nggak jualan,” jawab Luna sambil menutup pintu kulkas setelah menyimpan kuenya di freezer. “Itu order khusus dari aku, spesial buat kamu. Biar kamu ada stok kalau lagi pengen nyemil mint choco dan nggak perlu jauh-jauh ke kafenya ahjusshi.”

Jaehyun terdiam. Sulit mencerna apa yang pagi ini dia dapatkan dari Luna. Rasanya dia belum memberikan apapun selama beberapa bulan ini kenal dengannya, tapi kok Luna bisa-bisanya memikirkan hal seperti ini untuk ulang tahunnya.

“Selamat ulang tahun sekali lagi ya,” kata Luna lagi, tangannya bergerak mengusapi punggung Jaehyun yang terbalut kemeja kerja dengan lembut. “Aku doakan semua hal baik untuk kamu.”

Jaehyun tidak tahan lagi.

Masih dengan tangan Luna mengusapi punggungnya, Jaehyun berjalan mendekati Luna. Refleks, tangan Luna langsung terhenti ketika Jaehyun menariknya pelan ke dalam pelukan sampai Luna bisa mencium aroma segar dari tubuh Jaehyun. Belum hilang rasa kagetnya karena tiba-tiba dipeluk, badan Luna menegang ketika Jaehyun mengeratkan dekapannya dan mengecup pucuk kepalanya.

“Makasih, Luna. I don’t know what did I do to deserve it.” Jaehyun berkata sambil melepaskan pelukannya perlahan. Ditatapnya mata Luna dalam-dalam. “I’m happy today. Thank you.

It’s the least I can do,” jawab Luna. “Terima kasih juga karena kamu udah baik sama aku. Tetap jadi Hyunjae yang baik, ya?”

Jaehyun mengangguk dan tersenyum malu-malu. Hatinya senang bukan main. “Yuk kita berangkat? Udah jam tujuh lewat.”

“Eh sebentar. Ini jangan lupa dibawa. Aku bikin potato omelette buat sarapan kamu, ada buah dan ada buat makan siang juga. Dihabisin ya, itu aku masak sendiri. Ditunggu review jujurnya soal masakanku.”

You have done so much already this morning,” kata Jaehyun sambil menerima paper bag dari tangan Luna. “Aku pasti habisin semuanya. Makasih sekali lagi.”

“Sama-sama. Yuk, berangkat.” Luna menggamit lengan Jaehyun dan mereka berjalan berdampingan keluar dari unit apartemen, menuju parkiran.

Di mobil, Jaehyun terlihat gelisah sambil memasang sabuk pengaman.

“Kenapa sih nggak nyaman banget kayaknya? Kamu takut disetirin aku?” tanya Luna agak kesal melihat Jaehyun yang terlihat gugup.

“Emang nggak nyaman,” jawab Jaehyun jujur. “Tapi bukan karena takut disetirin kamu. Aku nggak nyaman karena nggak terbiasa disetirin cewek. Berasa nggak gentle banget. Udah deh sini tukeran aku yang nyetir ya? Nggak enak banget rasanya, disetirin dan pake mobil kamu.”

“Nyantai aja sih. Nggak ada yang bilang kamu nggak gentle hanya karena disetirin cewek.”

“Na, please…

“Diem, Hyunjae.”

Jaehyun menghela napas pasrah. “Ya udah, hati-hati nyetirnya.”

***

Jam 3 sore, ponsel Luna yang disimpan di atas meja kerjanya bergetar.

Ada pesan masuk.

Luna yang sedang melakukan perkerjaan remote memeriksa berkas yang dikirim kliennya, berhenti sejenak untuk mengecek ponselnya.

[photo received]

[photo received]

Semuanya habis. Tempatnya udah aku cuci.

Baru sempet kirim fotonya sekarang, tadi habis lunch langsung dipanggil meeting.

Luna tersenyum melihat dua foto yang dikirim Hyunjae barusan, yang memperlihatkan tempat makan yang tadi Luna bawakan sudah bersih.

Bener dihabisin kan itu? Suka nggak?

Maaf ya kalau rasanya aneh.

Dihabisinlah.

Rasanya nggak aneh, enak kok. Aku cocok sama masakan kamu.

Hehe syukurlah kalau habis dan suka.

Mau dimasakin lagi kapan-kapan?

Iya mau.

Kalau kamu nggak repot.

Iya nanti dimasakin lagi ya.

Pulang jam berapa nanti? Nggak usah lembur yuk?

Aku memang nggak niat lembur. Mau traktir anak-anak birthday dinner.

Siapa aja? Aku ikut boleh? Kan kamu pulang sama aku nanti malem.

Biasa, berlima. Sangyeon, Sunwoo, Kevin, Jacob.

Nggak usah, aku pulang nebeng Sangyeon aja dia bawa mobil. Searah juga lagian.

Hati Luna mencelos kecewa. Padahal dia sudah membayangkan nanti sore pulang kantor sekalian jemput Jaehyun dan makan malam bersama. Tapi ternyata Jaehyun sudah ada acara lain. Mau maksa ikut, nggak enak.

Ya udah deh. Salam buat anak-anak ya?

Have fun, tapi jangan pulang kemalaman besok kerja.

Oke, thank you.

Setengah melempar ponselnya ke atas meja karena kesal, Luna nggak sengaja melihat Juyeon melintas dari balik pintu kaca ruangannya. Luna buru-buru berdiri dan memanggil Juyeon untuk masuk ke ruangan.

“Oy, kenapa?” tanya Juyeon setelah Luna menutup kembali pintu ruangannya. “Kusut amat itu muka? Padahal tadi pagi bahagia.”

Luna nggak menjawab. Diraihnya lagi ponselnya dan dia menunjukkan obrolan dengan Jaehyun tadi ke Juyeon. “Baca coba.”

Mata Juyeon bergerak seiring membaca baris demi baris chat antara Jaehyun dan Luna. Setelah selesai, dia mengembalikan lagi ponselnya ke yang punya.

“Gimana menurut lo?”

“Nggak gimana-gimana. Dia hanya mau having fun sama temen-temennya di hari ulang tahunnya. Nggak ada yang salah dengan itu,” kata Juyeon.

“Tapi gue nggak diajak. Padahal dia tau gue pengen banget pulang bareng malam ini makanya gue sengaja minta dia nggak bawa mobil. Pengen sekali-kali gue yang nyenengin dia.”

“Lo nggak diajak… emang lo siapanya dia, gue tanya?”

Luna nyaris tersedak mendengar pertanyaan Juyeon. “Kok gitu sih Juy. Dia kan lagi deketin gue ya masa gue nggak diajakin sih?”

“Nah tepat. Kalian masih proses pendekatan, belum ada status apa-apa. Kasihlah dia waktu untuk sama temen-temennya malam ini. Lagian akhir-akhir ini dia barengan lo terus kan? Ya walaupun nggak tiap hari, tapi kalian intens kan?”

“Ya sih…”

“Gue tau lo keliatannya mulai nyaman sama Jaehyun. Anak-anak di sini seneng banget tau nggak sekarang lo ceria terus. Coba lo inget-inget, kapan terakhir kali lo galau?”

“Nggak tau, nggak inget. Semenjak intens sama Jae gue seneng terus kayanya.”

“Nah itu maksud gue. Jangan merusak yang sudah kalian berdua bangun hanya karena perkara birthday dinner. Please sayang, itu nggak worth untuk diperdebatkan.”

Luna merenungi kata-kata Juyeon yang ada benarnya. Well, banyak benarnya. Beruntung sekali Luna punya sahabat lelaki yang bisa menyadarkannya bahwa bermain dengan logika itu terkadang penting. Semuanya harus seimbang antara logika dan perasaan walau kadang sulit untuk keduanya dijalankan bersamaaan.

“Udah jangan sedih lagi ya. Percaya sama gue, Jaehyun lo itu nggak akan kemana-mana. Lo tau, untuk ukuran cowok tsundere, segitu sih Jaehyun masih manis loh ke lo, Na. Dia mau repot-repot fotoin tempat makan yang udah kosong sekedar untuk ngasih tau lo bahwa dia suka dengan masakan lo. Gue aja nggak pernah inget untuk kaya gitu ke Sarah. Dikasih makanan ya udah aja gue terima dan habisin, boro-boro inget fotoin tempatnya deh.”

Luna terkekeh. Iya juga.

Thank you ya, Juyo. Gara-gara lo gue yang tadinya kesel sekarang malah jadi ngerasa bersalah karena bisa-bisanya gue kesel ke Jaehyun. Mau minta maaf ah, ganjel rasanya.”

“Tapi dia bakal bingung nggak sih lo tiba-tiba minta maaf?”

“Iya sih bingung kayanya hahaha.”

“Yee, dasar. Ya udah itu aja kan? Gue balik ke ruangan ya, udah sore gue nggak pengen lembur nih malem ini. Lo juga jangan mentang-mentang nggak jadi pulang bareng Jaehyun terus jadi ngelembur dadakan.”

“Iya, nggak lembur gue. Udah sana, makasih ya Juy!”

“Oke, anytime.”

Luna membuka ponselnya lagi dan mengetik cepat untuk Jaehyun.

Jangan lupa kamu punya ice cream cake di freezer.

Kabarin aku kalau nanti malam udah di rumah.

Iya, makasih diingetin.

Aku pasti kabarin.

[emoticon hug]

Luna menatap layar ponselnya sambil menahan tawa geli. Emoticon peluk? Sejak kapan? Tapi hal itu lebih dari cukup untuk menaikkan mood-nya lagi.

***

Luna baru selesai video call dengan mama dan ayahnya di meja makan ketika bel apartemennya berbunyi. Spontan diliriknya jam dinding di atas televisi, sudah jam 9 lewat 5 menit. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Keheranan Luna terjawab ketika dilihatnya wajah familiar di layar interkom. Luna langsung terburu-buru membukakan pintu untuk tamunya.

“Hai,”

Wajah tampan Jaehyun yang disertai senyum canggung menyapa Luna yang membukakan pintu. Demi Tuhan, saat itu Luna hanya bisa menatapnya bingung—sekaligus terpana—dengan penampilan Jaehyun saat itu.

Wajahnya terlihat segar dan bersih, dengan rambut hitam tebalnya yang agak basah. Jaehyun mengenakan celana jins biru muda dengan atasan kaos t-shirt hitam lengan pendek. Tangan kanannya memegang kotak makanan berukuran sedang, tangan kirinya tiba-tiba terangkat dan menyisirkan belahan rambutnya ke belakang, membuat keningnya sedikit terekspos untuk beberapa saat sebelum kembali tertutup helai rambut.

“Kamu… ngapain?” hanya itu yang mampu terucap dari mulut Luna. Dia bahkan belum mengizinkan Jaehyun masuk.

“Aku boleh masuk nggak?”

Luna tersadar, tangannya langsung melebarkan pintu dan meminta Hyunjae masuk. Aroma musk sangat segar khas Jaehyun kembali tercium saat dia melewati Luna memasuki apartemen.

Jaehyun langsung menuju dapur, mengambil dua sendok kecil dan membawanya ke meja makan tempat dia meletakkan kotak yang dibawanya tadi.

“Sini, ayo kita cobain ice cream cake-nya barengan,” kata Jaehyun sambil menepuk kursi kosong di sampingnya, meminta Luna untuk duduk di situ.

“Hyunjae…” sahut Luna sambil mendudukkan tubuhnya di kursi samping Jaehyun. “Kalau mau kesini bilang-bilang. Tau nggak, tadi aku habis mandi hampir aja mau pakai baju tidurku yang udah jelek, gambar Hello Kitty. Untung nggak jadi, tiba-tiba nggak ketemu padahal itu baju tidur paling enak karena udah jelek.”

“Kalau pun kamu jadi pake baju tidur Hello Kitty, memang kenapa?”

“Ya kenapa-kenapa lah! Curang, kamu kesini dengan penampilan ganteng begitu sementara akunya seadanya gini.”

Jaehyun tertawa gemas melihat Luna masih manyun karena kedatangannya yang tiba-tiba. “Iya, maaf ya nggak bilang-bilang. Aku buru-buru soalnya takut lebih malam lagi nyampe sini.”

“Kamu nggak jadi dinner apa gimana sih? Aku chat nggak kamu balas, katanya mau ngabarin kalau nyampe rumah tapi nggak ngabarin, tiba-tiba nongol di sini. Ngeselin.”

“Hehe maaf. Aku tadi jadi dinner tapi nggak lama-lama. Jam setengah 8 udah pulang dan sampe rumah langsung mandi ganti baju. Terus kesini.”

“Kenapa sih rusuh gitu? Kan di jalan pulang pas sama Sangyeon bisa kamu sambil ngabarin aku.”

“Iya harusnya bisa, aku nggak kepikiran. Maaf ya? Yang ada di pikiranku cuma pengen cepet sampai rumah supaya bisa cepet kesini.”

“Iya dimaafin. Terus kenapa harus banget kesini sekarang?”

“Kangen.”

Luna terbatuk, kaget. Sejak kapan manusia tsundere satu ini tiba-tiba ngomong kangen segampang itu?

“Lagian aku pengen cobain kue ini barengan sama kamu. Yuk, nanti keburu leleh.”

Luna terbatuk lagi yang kedua kalinya. Astaga anak ini, katanya nggak bisa ngerayu? Nggak bisa ngegombal? Lah ini apa namanya…

“Nih, sendoknya.”

Luna menatapi sendok kecil yang disodorkan Jaehyun. Terbesit pikiran untuk mengisengi Jaehyun sebagai balasan dia yang datang ke apartemen nggak bilang-bilang. “Suapin kek.”

Giliran Jaehyun yang mematung.

Haha, salting kan lo? Sukurin! sorak Luna dalam hati.

“Udah gede, makan sendiri,” jawab Jaehyun datar, sambil masih menyodorkan sendoknya ke Luna dengan tangan kanan. Tangan kirinya mulai menyendokkan kue dan menyuapkan ke mulutnya sendiri.

“Duh enaaak banget,” kata Jaehyun lagi. “Kamu mau nggak sih sebenernya? Pegel nih tangan.”

“Suapin.”

“Nggak.”

“Suapin ih. Sekali aja, abis itu aku makan sendiri.”

“Nggak.”

“Suapin sekarang sebelum kamu nyesel lihat aku disuapin sama cowok lain.”

Jaehyun memejamkan mata sambil menghela napas berat. Tangan kanannya mulai bergerak menyendokkan cake dan mengarahkan ke mulut Luna. “Buka mulutnya.”

“Dih, galak amat. Yang lembut dong.”

“Naaa, ayolah.”

“Yang lembut, jangan galak-galak.”

Jaehyun berdeham dan berkata, “Buka mulutnya, Sayang,” dengan suara paling lembut yang belum pernah Luna dengar terucap dari mulut Jaehyun sebelumnya.

Luna menahan sensasi menggelitik di perutnya mendengar ucapan Jaehyun barusan. Dia tahu wajahnya kini pasti merah padam tapi Luna nggak peduli, dia senang mendengar kalimat tadi terlontar dari mulut Jaehyun. Perlahan, Luna membuka mulutnya dan menerima suapan Jaehyun.

Segera setelah Luna menutup mulutnya, Jaehyun langsung melepaskan tangannya dari sendok dan membiarkan sendoknya berada di mulut Luna sambil ia tertawa terbahak-bahak.

Luna cemberut. Tangan kirinya mencabut sendok dari mulutnya, tangan kanannya sibuk memukuli paha Jaehyun. “Jahat iiih,” erangnya.

“Naa, sakit. Iya ampun, maaf maaf,” kata Jaehyun kewalahan karena pukulan tangan Luna di pahanya tidak berhenti. “Maaf yaa. Kamu sih lagian, minta disuapin segala.”

Luna masih manyun.

“Cantiknya hilang kalau manyun.”

“Biarin.”

“Aku lagi ulang tahun lho, masa diambekin?”

“Kamu nyebelin.”

Jaehyun paham Luna lagi merajuk. Diambilnya sendok di tangan kiri Luna dengan lembut, menyendokkan kue dan menyuapkannya lagi ke mulut Luna. “Buka lagi mulutnya, Sayang. Ice cream cake-nya enak banget. Makasih yaa.”

Hati Luna luluh lantak rasanya. Dua kali Jaehyun menyebutnya “Sayang” tanpa Luna tahu bagaimana bisa kata itu terlontar ringan dari mulut Jaehyun? Benarkah karena memang Hyunjae sayang padanya? Atau hanya supaya Luna nggak ngambek lagi?

“Hyunjae,” panggil Luna lirih. Disimpannya sendok miliknya di sisi kotak. Sudah tidak bernafsu untuk memakannya.

“Ya?”

What are we?” tanya Luna hati-hati sambil menatap Jaehyun. “Kok kamu barusan kayak yang nggak ada beban gitu nyebut sayang ke aku? Jangan salah paham, aku… seneng kamu nyebut sayang, tapi aku perlu tau maksudnya apa—”

“Nggak ada maksud apa-apa,” sela Jaehyun. “Hanya mengutarakan yang aku rasakan ke kamu.”

Luna terdiam, nggak tahu mesti membalas apa.

“Na, jadian yuk. Let’s make it official tonight.”

“Kamu…”

“Aku serius. Aku nyaman sama kamu. Ayo kita terusin sama-sama saling mengenal dan memantaskan diri untuk satu sama lain.”

Tenggorokan Luna tercekat.

“Kalau kamu setuju jadian, semuanya nggak akan ada yang berubah aku janji. Cuma status aja supaya lebih jelas kamu itu punyaku, aku punya kamu. Kalau kelamaan didiemin nggak ada status aku takut kamunya keburu diambil orang lain.”

“Kamu curang,”

“Curang kenapa?”

“Sengaja banget ya milih jadiannya di tanggal ulang tahun kamu. Biasanya cowok kalau ngajak jadian tuh ya di tanggal ulang tahun ceweknya. Ini malah pas kamunya ulang tahun, gimana sih.”

“Ya udah, jadiannya mau nanti aja pas kamu ulang tahun? Nunggu dua bulan nggak papa?”

Luna menundukkan kepalanya dalam-dalam, nggak mau memandang wajah Jaehyun karena malu, kemudian berujar dengan suara sangat pelan, “Ya udah iya sekarang aja.”

“Hah apa? Nggak denger.”

“Iya sekarang aja,” Luna mengencangkan suaranya, masih dengan kepala tertunduk.

Jaehyun menahan tawa gemas. “Sekarang apanya?”

Akhirnya Luna mengangkat wajahnya yang sudah merah padam nggak karuan, sambil berseru kesal, “Iyaaa sekarang jadiannya.”

Jaehyun bersorak dalam hati. Sungguh bahagia sekali dia rasanya malam ini. Diraihnya wajah Luna dengan dua tangannya sambil mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya di kening mulus Luna. Lama.

“Makasih udah percaya sama aku,” Jaehyun berujar lembut sambil mengelus punggung Luna. “Maaf kalau cara jadiannya sederhana gini. Barangkali kamu udah berangan-angan pengen diajak jadian pas lagi dinner romantis di rooftop sambil lihat pemandangan malam, plus dikasih buket bunga mawar. I’m sorry I’m not that kind of guy.”

“Ih apaan, aku juga bukan tipe cewek yang kayak gitu. Aku nggak butuh diajak dinner romantis. Kamu yang lagi capek habis lembur tapi tetap jemput aku di kantor, ngajak makan malam dan nganterin aku pulang, itu yang menurutku romantis. Inget waktu kita lagi main di Lotte World? Pas masih pagi sih nggak kerasa panas, tapi udah siangan tiba-tiba matahari nyengat banget. Kamu langsung lepasin ball cap yang lagi kamu pake dan kamu pakein itu ke aku. Itu romantis banget tau nggak.”

“Hah itu romantis? Bukannya pas aku pakein topi itu kamu protes, ya? Seingetku kamu bilang nggak mau pake topinya, kegedean.”

“Iya aku protes, tapi kamu saat itu langsung bilang ‘Pake, daripada kamu pusing kepanasan’. Inget ga kamu bilang gitu? Disitu aku paham, itu cara kamu untuk peduli sama aku.”

“Hehe iya aku inget. Maaf ya, nggak manis banget aku waktu itu cara ngomongnya. Aku emang nggak terbiasa bermanis-manis ke cewek, ke pacar sekalipun. Caraku ngomong ke temen sama ke pacar itu sama. Makanya mantan-mantanku banyak yang nggak tahan pacaran lama sama aku. Mereka bilang aku terlalu dingin.”

That’s totally okay for me, Jae. Kamu dingin ya memang begitu karakter kamu. Lagian sebenernya kamu itu bukan dingin yang judes atau nggak ramah gitu, kok. Kamu itu orangnya straight forward, apa adanya nggak banyak basa-basi. Kamu suka ya kamu bilang suka, kamu nggak suka ya kamu akan bilang kamu nggak suka.”

“Iya, aku nggak suka basa-basi buat apa, buang waktu. Bisa bikin salah paham juga. Makasih ya, Na, kamu mau mengerti aku yang kayak gini.”

No problem, Jae. Makasih juga buat semuanya ya, Hyunjae. Ayo kita sama-sama jadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.”