Chapter 8.

“Cie, foto siapa tuh?”

“Ih, Nuna! Bukan siapa-siapa.”

“Hahaha nggak usah kaget gitu, Ric. Nyantai kali ah. Foto siapa sih emangnya? Kelihatan sepintas sih cantik itu cewek.”

Eric dan Luna sedang duduk berdua di kafe hotel yang sedang mereka inapi sampai 2 hari ke depan. Sejak dua hari lalu, Luna, Eric, dan Yeonjun berada di provinsi Gwangju untuk perjalanan dinas. Mereka bertiga ini mewakili timnya masing-masing—Luna yang satu tim dengan Nara dan Sarah, Eric dengan Younghoon dan Juyeon, Yeonjun dengan Jake dan Hongseok—pergi mengurusi klien di Gwangju. Tadinya yang akan berangkat hanya timnya Eric lengkap dengan Younghoon dan Juyeon tapi karena satu dan lain hal akhirnya diputuskan yang dikirim ke Gwangju adalah perwakilan dari tiga tim berbeda.

“Siapa sih, Ric? Cerita dong,” Yeonjun yang baru bergabung dengan Luna dan Eric, menyahuti. Mereka bertiga baru pulang dari kantor klien dan sedang makan malam di kafe hotel.

“Anak magang di kantornya Sunwoo. Cantik banget katanya sih, si Sunwoo langsung gatel pengen ngegebet,” cerita Eric sambil menyeruput minuman ice chocolate-nya. Sama seperti Luna, Eric bukan tipe penyuka kopi seperti kebanyakan anak-anak muda seusianya. “Nuna emang nggak tau? Kak Jae pasti cerita, kan?”

“Iya, cerita dia katanya ada anak magang baru semingguan ya? Tapi nggak detail sih ceritanya, lo taulah Jae simpel banget. Mana pernah dia cerita detail yang gituan,” jawab Luna. “Ternyata itu ya anak magangnya. Cantik. Siapa namanya?”

“Jisoo. Kim Jisoo,” kata Eric. “Kak, lo nggak ngeri Kak Jae dikecengin si anak magang? Udah terkenal tuh kata Sunwoo, anak-anak magang atau anak baru cewek di kantornya udah pasti langsung oleng kalau nggak ke Kak Jae, ya ke Kak Sangyeon.”

“Nggak, ngapain ngeri. Jarang cewek kuat lama ngecengin Jae saking dinginnya dia hahaha,” kata Luna santai.

“Nah, lo kok tahan, Kak?”

“Orang dia duluan yang ngeceng gue, jadinya nggak dingin-dingin amat dia ke gue. Tapi ya emang sih dia bukan tipe romantis lembek gitu. Manggil gue sayang aja jarang, seringnya manggil nama.”

“Iya juga sih, Kak Jae itu dingin banget ke cewek. Tapi ke lo dia nggak sedingin itu ya, Kak. Beda banget dia ke Kak Sarah dulu sama ke lo, Kak.”

“Ya orang Jaehyunnya suka sama Luna, Ric. Nggak mungkin dia dingin ke cewek yang disuka. Gimana sih lo,” Yeonjun menyela sambil memotong daging steak wagyu-nya.

“Kalian berdua gimana nih, masih betah sendirian? Nggak masalah sih, daripada pacaran tapi nggak bener. Lo gimana sama Hyuna, Ric?”

“Nyanteilah gue sama Hyuna sih. Udah keenakan sahabatan, takutnya malah jadi rusak kalau dijadiin.”

“Tapi mendingan dijadiin aja nggak sih? Biar jelas gitu statusnya?”

“Belum siap gue hehehe. Nanti deh, nyantai.”

“Lo gimana, Yeon? Diem aja dari tadi nih.”

Yeonjun yang lagi asyik mengunyah steak-nya hanya tersenyum menanggapi Luna. “Kecolongan gue. Cewek yang gue suka keburu taken.”

“Hah, siapa? Sumpah lo selama ini punya kecengan? Gue kira lo adem aja sendirian, Yeon. Sumpah lo nggak kelihatan lagi deketin cewek soalnya. Siapa? Anak kantor bukan?”

“Ada lah, pokoknya. Salah gue juga sih, nggak nunjukkin kalau gue suka. Udah ah, nggak usah dibahas ya.”

“Ihh liat dong, mereka lagi di bar ternyata,” Eric tiba-tiba berseru sambil memperlihatkan ponselnya ke Luna dan Yeonjun. Tampilan Instagram Story dari akun Younghoon terpampang di layar ponsel Eric, memperlihatkan video pendek berisi selfie Younghoon dan Nara yang sedang toast dengan tangan masing-masing memegang sloki berisi alkohol—entah minuman jenis apa.

Eric menekan layar dengan jarinya, mempercepat tampilan IG Story yang di*-post* Younghoon—ternyata mereka sedang berada di bar bersama dengan Juyeon, Sarah dan anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya terpampang satu foto yang membuat Luna membulatkan matanya kaget.

“Loh, ada anak-anak kantor Sunwoo juga? Kak, ini ada Kak Jae—eh, Kak Jae bukan sih? Fotonya gelap. Loh ada si Jisoo juga. Buset ini anak, baru magang semingguan udah ngikut maen ke bar aja,” Eric berkomentar sambil memperbesar tampilan foto di layar ponselnya.

Luna tidak menanggapi. Tangannya meletakkan pisau dan garpu di piring dan merogoh ponsel dari dalam tasnya, mengecek kalau-kalau ada pesan masuk dari Hyunjae.

Nihil. Tidak ada pesan apa-apa.

Luna mencoba menelepon Hyunjae. Hingga dering ke delapan dan tidak ada jawaban dari Hyunjae, akhirnya Luna membuka aplikasi KTalk dan mengetikkan pesan untuk Hyunjae.

Jae, kamu lagi di bar sama anak-anak? Kok nggak bilang?

Aku lihat dari IG-nya Hoon.

Jangan kemalaman pulangnya ya. Kabarin aku.

Aku lagi dinner di kafe hotel. Nanti malam telpon ya.

Luna menyimpan ponselnya lagi di atas meja makan. Dirinya mendadak kenyang. Dia tidak suka Hyunjae berada di bar tanpa mengabarinya. Terakhir dia teleponan dengan Hyunjae siang tadi dan Hyunjae tidak menyebut apa-apa soal pergi ke bar.

Yeonjun yang makanannya sudah habis, menyadari perubahan raut wajah Luna. “Udah, jangan dipikirin. Mungkin acara dadakan.” Seolah bisa membaca pikiran Luna, Yeonjun berkata seperti itu.

“Nggak biasanya sih dia keluyuran pulang kantor nggak bilang gue.”

“Yang penting sama anak-anak kantor kan? Sama orang-orang yang lo kenal juga. Jadi, nggak usah khawatir ya, Na.”

Luna hanya mengedikkan bahunya. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi Yeonjun.


Esok harinya, Luna sedang berada di dalan lift menuju lobi hotel tempatnya janjian dengan Yeonjun dan Eric. Luna terlambat lima menit dari waktu janjian mereka yang seharusnya. Syukurlah ini hari terakhir kunjungan ke kantor klien karena Luna sedang tidak berada dalam mood yang bagus. Dia begitu ingin segera menyelesaikan urusannya di kantor klien.

You good?” tanya Yeonjun ketika mereka memasuki mobil yang disewa kantor untuk akomodasi selama di Gwangju. Yeonjun menyetir, Luna duduk di depan dan Eric di belakang. Eric tidak terlibat dalam pembicaraan karena masih asyik mendengarkan lagu dari Airpods-nya.

“Dia nggak nelepon gue. Chat gue dari kemarin sore juga nggak dibalas.”

“Sabar ya, kecapekan mungkin.”

“Secapek-capeknya sih, apa susahnya cek HP dan ngabarin gue?”

“Cewek kan gitu. Cowok lain lagi, kalau lagicapek ya capek, nyampe rumah bisa tuh nggak peduli sama HP dan langsung tidur. Udah ya, jangan negative thinking.”

Luna tidak menjawab. Yeonjun mulai menjalankan mobilnya keluar dari parkiran dan kemacetan kota Gwangju langsung menyapa ketika mereka sudah berada di jalanan utama.

Sesekali Yeonjun memperhatikan Luna yang tidak bisa menyembunyikan raut wajah *bad mood-*nya. Bibirnya mengerucut, keningnya berkerut hampir membuat alis hitamnya bertautan.

Seandainya gue dulu lebih gesit…, ucap Yeonjun dalam hati.


“Na, maaf.”

“Semalam HP-ku mati habis baterai. Sambil charge HP aku ketiduran.”

“Pagi tadi telat bangun jadi rusuh ke kantor. Maaf baru ngabarin ya.”

Luna membaca serentetan pesan masuk dari Hyunjae yang baru diterimanya. Walaupun akhirnya lega karena Hyunjae sudah membalas *chat-*nya, tapi Luna masih belum puas dengan jawaban Hyunjae.

“Jaehyun?” tanya Yeonjun.

“Iya,”

“Tuh kan, ngabarin juga akhirnya.”

“Iya ngabarin, setelah 24 jam lebih.”

“Udahan dong ngambeknya, kan udah dikabarin. Nih, eomuk-nya.”

Sepulang dari kantor klien sore tadi, sebetulnya Luna, Yeonjun dan Eric langsung kembali ke hotel dengan niatan mau makan malam dari room service saja supaya mereka bisa segera istirahat dan membereskan barang untuk pulang besok.

Tapi pada akhirnya hanya Eric yang berdiam di kamar dan memesan makan malam dari room service, sementara Luna dan Yeonjun yang bosan dengan makanan hotel memutuskan untuk keluar hotel dan berjalan kaki menyusuri kedai-kedai makanan yang berhimpitan ramai nggak jauh dari lokasi hotel.

Suhu udara di pertengahan bulan Oktober yang sudah mulai menurun, membuat Luna menginginkan makan makanan hangat yang mengeyangkan. Beruntung tidak jauh dari hotel, mereka menemukan kedai makanan bersih dan sedang tidak terlalu ramai pengunjung yang menyediakan menu makanan yang dicari Luna.

Jadilah Luna dan Yeonjun menyantap tteokpokki, eomuk dan samgyetang sebagai makan malam di malam terakhir mereka di Gwangju ini.

Damn, this is so good. Eomuk-nya enak banget astaga,” Luna berseru setelah menyuapkan sepotong eomuk atau fish cake ke dalam mulutnya. “Thanks udah mau nemenin gue makan di luar, Yeon.”

No probs, gue juga bosen banget makan di hotel terus.”

Di saat Luna lagi menikmati makan malamnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Luna melihat ponselnya dan melihat nama Hyunjae tertera di layar.

“Ya?” Akhirnya Luna memutuskan untuk menjawab telepon Hyunjae.

“Hei, lagi apa? *Chat-*ku nggak dibalas?”

“Aku belum balas chat setengah jam doang kamu protes. Aku kemarin sore chat kamu dianggurin seharian.”

“Maaf, kan aku udah jelasin kenapa telat balasnya. Kamu lagi apa? Udah makan?”

“Ini lagi makan.”

“Makan dimana? Di hotel lagi?”

“Nggak, makan di luar. Eric yang makan di hotel, aku sama Yeonjun bosen sama makanan hotel.”

“Oh, ya udah. Kamu makan dulu gih, salam buat Yeonjun ya. Kabarin aku kalau udah di hotel, nanti aku telepon lagi. Bye, Na.”

“Iya, oke.”

Dan panggilan teleponnya dengan Hyunjae pun terputus.

“Salam dari Hyunjae.”

“Eh, buat aku?”

“Iya. Nyantai banget dia malah titip salam buat kamu. Mantanku dulu kalau tau aku makan berdua doang sama temen cowok pasti udah galak banget ngomongnya. Boro-boro titip salam.”

“Haha, bagus dong pacar kamu nggak cemburuan berarti.”

“Dia tuh aneh, padahal alesan kenapa dia buru-buru ngajak jadian karena takut guenya keburu diambil orang katanya. Tapi selama gue pacaran sama dia kayanya ga pernah sekalipun gue dicemburuin. Yang ada malah gue yang sering cemburu karena ada aja yang godain dia tiap kita lagi jalan bareng.”

“Buat gue ya, Na, nggak dicemburuin sama pacar itu adalah sebuah privilege tau nggak. Gue pernah ngalamin pacaran sama cewek yang cemburuannya ampun banget, pusing gue, Na. Cemburuan dan nggak percayaan ke gue.”

“Lo kapan sih terakhir pacaran, Yeon? Udah lama?”

“Lumayan, mau setaunan rasanya sih.”

“Gue juga sama, hampir setaunan putus dari mantan gue sebelum ketemu Jaehyun.”

Dan obrolan Luna dan Yeonjun pun terus berjalan sambil mereka menghabiskan makan malamnya. Baru kali ini Luna mengobrol banyak dengan Yeonjun, karena sebelumnya dia jarang ada kesempatan berdua dengan Yeonjun. Biasanya, antara Younghoon atau Juyeon yang memang sudah lama dekat dengannya yang menemani Luna mengobrol. Kali ini aneh rasanya Luna bertukar cerita dengan Yeonjun yang notabene tidak terlalu dekat dengannya sebenarnya.

Baru malam ini juga Luna menyadari, dia merasa klop dan nyaman bercerita banyak hal dengan Yeonjun. Luna itu tipe yang ingin didengar dan diberi feedback jika sedang bercerita, dan dia mendapatkan itu dari Yeonjun. Hal itu membuat Luna tidak perlu berlama-lama menyadari bahwa dirinya bisa berteman dekat dengan Yeonjun berkat perjalanan dinas kali ini.

Setelah mereka kembali ke hotel, Yeonjun mengantar Luna sampai ke depan kamarnya karena kebetulan kamar Luna berbeda satu lantai dengan kamar Yeonjun dan Eric. Yeonjun hanya ingin memastikan Luna aman sampai kamar, karena sudah larut malam saat mereka sampai di hotel. Sehabis dari kedai tadi, mereka tidak langsung pulang tapi melanjutkan jalan-jalan sebentar sekalian mampir ke toko grocery untuk membeli cemilan buat di jalan pulang menuju Seoul besok.

Aku udah di kamar ya.

Luna mengetikkan pesan untuk Hyunjae. Dalam hitungan detik, ponselnya langsung menderingkan telepon dari Hyunjae.

“Kok malam banget baru di kamar?” tanya Hyunjae begitu Luna menjawab teleponnya.

“Aku mandi dulu tadi baru ngabarin kamu.”

“Oh, oke. Kukira kamu baru banget nyampe kamar.”

“Jae.”

“Ya?”

“Kamu sayang nggak sih sama aku sebenernya?”

“Hah? Kok pertanyaannya ajaib gitu sih, Yang?”

“Jawab aja, cepet.”

“Aku nggak suka kamu nanya aneh begini. Kamu tau aku sayang sama kamu.”

“Tapi kamu kok nyantai aja reaksinya pas aku bilang malam ini aku jalan berdua doang sama Yeonjun? Rasanya kamu juga nggak pernah cemburu tiap-tiap aku cerita lagi jalan sama Juyeon atau Younghoon. Aku terus yang seringnya cemburuin kamu. Aku jadi insecure, apa yang bisa yakinin aku kalau kamu sayang sama aku.”

Hyunjae menghela nafas berat di ujung sana. Tidak menyangka dia akan mendapat serangan tiba-tiba begini dari Luna.

“Mereka teman-teman kamu jauh sebelum kamu kenal aku. Nggak ada alasan aku untuk cemburu. Sebelum kita jadian, iya aku insecure lihat kamu deket sama mereka dan teman cowok kamu yang lain. Tapi setelah kita jadian, aku nggak lihat alasan kenapa harus cemburu. Aku percaya kamu.”

“Hmm.. Gitu, ya?”

“Kamu lagi kenapa sih?”

“Nggak papa.”

Hening.

Luna dan Hyunjae hanya saling menempelkan ponsel di telinga masing-masing tanpa bersuara. Baru kali ini mereka seperti kehabisan topik, padahal sebetulnya masing-masing banyak yang ingin diceritakan mengingat mereka sudah satu minggu belum bertemu karena terhalang urusan pekerjaan. Keduanya yang lagi sibuk sudah beberapa hari lembur dan pulang kantor di atas jam 8 malam. Lalu dilanjut dengan Hyunjae yang sempat ada urusan menemui kontraktor di luar kota selama dua hari, dan ketika Hyunjae sedang dalam perjalanan pulang ke Seoul giliran Luna yang harus berangkat ke Gwangju.

Besok, hari Jumat, satu-satunya hari mereka bisa bertemu karena hari Sabtu paginya Hyunjae ada jadwal terbang ke Pulau Jeju untuk acara gathering kantor tahunan. Berbeda dengan kantor Luna yang rutin mengadakan acara gathering setiap akhir tahun, kantor Hyunjae selalu mengadakannya di bulan Oktober sekalian acara ulang tahun kantor.

“Jae,” akhirnya Luna angkat bicara. “Kamu belum cerita ngapain kemarin ke bar sama anak-anak? Padahal siangnya kita teleponan tapi kamu nggak bilang mau ke bar.”

“Aku tadinya nggak mau ikut, tapi dipaksa Sangyeon.”

“Dalam rangka apa? Kenapa mesti ke bar di hari kerja, sih?”

“Ada salah satu proyek kita yang akhirnya seratus persen kelar. Sangyeon pengen ngerayain itu.”

“Proyek kamu ada yang selesai aja kamu nggak cerita.”

“Bukan nggak mau cerita, belum sempat aja. Maafin aku juga ya karena nggak bilang ke kamu soal ke bar. Aku nggak banyak minum kok, kan aku nyetir. Mana harus nganterin Jisoo pulang—”

“Kamu nganter Jisoo? Pantesan malam banget kamu baru pulang sampe besoknya telat bangun segala, sampe chat aku dianggurin berjam-jam nggak dibalas.”

“Yang lain semuanya pada mabuk, Na. Mereka pada pulang naik taksi. Cuma aku satu-satunya yang sepenuhnya sadar, dan Jisoo anak magang di divisiku otomatis dia jadi tanggung jawab aku juga.”

“Lagian anak magang ngapain diajak—”

“Sekali lagi aku bilang, bukan aku yang ngajak. Semuanya Sangyeon yang ngajak dan ngatur acara dadakan itu di bar.”

Luna terdiam. Kepalanya mendadak terasa pening dan pusing. Bukan percakapan seperti ini yang ia harapkan setelah beberapa hari ini lelah dengan urusan klien. Biasanya mendengar suara Hyunjae saja sudah cukup mengembalikan energinya, tapi kali ini justru dia menyesal berbicara di telepon dengan Hyunjae. Energinya yang sudah nyaris habis malah dibuat tambah habis dengan perdebatan ini.

“Kamu kayanya udah capek banget malam ini, istirahat aja ya? Besok jadi naik kereta jam 10 pagi?” kata Hyunjae akhirnya, ketika Luna tidak melanjutkan bicaranya.

“Iya jam 10 pagi,” Luna menjawab pelan, benar-benar sudah kehilangan seluruh energinya.

“Aku jemput ya di stasiun, sekalian makan siang bareng. Aku udah diizinin manajerku pulang setengah hari.”

“Kamu lagi sibuk, nggak usah maksain jemput apalagi sampe izin setengah hari segala. Aku bisa pulang sendiri dari stasiun. Malam aja ketemunya.”

“Besok aku jemput kamu, end of discussion. Kabarin kalau udah berangkat ya.”

“Iya, oke.”

“Habis tutup telepon langsung tidur ya, nggak main HP.”

“Iyaaa sayangku yang bawel.”

Sweet dreams.”


Hyunjae menatapi jam di laptopnya dengan gelisah, sudah pukul 11.35 siang. Dia seharusnya sudah berada di perjalanan saat ini juga kalau tidak mau terlambat menjemput Luna. Sebetulnya Hyunjae sudah bersiap untuk pulang dari dua puluh menit yang lalu tapi telepon dari salah satu vendor proyeknya membuyarkan rencananya.

Hyunjae diminta mengirimkan segera revisi konstruksi bangunan via e-mail, dimana sebetulnya Hyunjae sudah meminta Jisoo untuk melakukan hal ini dari jam 11 siang. Tetapi menjelang jam 11.30 orang vendornya melaporkan bahwa data yang dikirim Jisoo salah, bukan data revisi melainkan data original yang sebelumnya pernah dikirimkan. Akhirnya Hyunjae terpaksa membuka laptopnya lagi dan memutuskan untuk mengirimkannya langsung dari e-mailnya.

“Maaf ya, Kak. Data yang aku kirim salah,” Jisoo yang merasa tidak enak menghampiri meja Hyunjae sambil menunduk.

“Iya nggak papa, lain kali lebih teliti ya.”

Jisoo mengangguk. “Kak Jaehyun ada meeting di luar?”

“Nggak, saya ada urusan pribadi jadi siang ini izin pulang cepet. Saya nggak balik lagi ke kantor jadi kamu kalau ada apa-apa minta tolong Kevin atau Jacob dulu ya.”

“Jae! Kok masih disini? bukannya udah beres-beres tadi?” Jacob yang baru selesai meeting kaget melihat Hyunjae yang masih ada di mejanya. “Ini udah mau jam 12 lo gimana sih? Kasian Luna lama nunggunya loh.”

Jisoo yang masih ada disitu terdiam mendengar nama perempuan yang disebut Jacob. Dia tahu ini bukan kapasitasnya untuk tahu siapa orang yang Jacob maksud, tapi Jisoo sungguh penasaran.

“Gue udah bilang kok bakal agak telat. Gapapa dia ngerti.”

“Lo ngapain sih? Urgent banget emang? Udah sini sama gue.”

“Kirim file, tapi karena large size jadi lama upload-nya. Nah, baru beres nih akhirnya. Jac, cabut ya gue. Titip Jisoo tolong dibantu dulu.”

“Iya siap. Hati-hati, salam buat Luna.”

Thanks. Jisoo, saya tinggal dulu ya.”

Jisoo mengangguk menanggapi seniornya. Hatinya berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang ketika Hyunjae berjalan melewatinya sambil menyampirkan tas laptop di bahu kanan dengan terburu-buru. Ternyata apa yang Jisoo dengar dari temannya yang sudah lebih dulu magang disini beberapa bulan sebelum dirinya, bahwa ada satu senior yang terkenal sangat tampan di divisi ini benar adanya.

***

Di stasiun, sudah hampir setengah jam Luna menunggu Hyunjae yang nggak kunjung sampai. Perutnya sudah berbunyi minta diisi, Luna lapar.

Yeonjun yang bersikeras mau menemani Luna sampai Hyunjae datang, berdiri di sampingnya sambil memegang sebungkus roti yang ia sempat beli di bakery hotel sebelum pulang tadi.

“Nih, ganjel roti dulu. Rame amat itu perut bunyinya,” kata Yeonjun sambil memegang roti dengan kedua tangan dan mendekatkannya ke wajah Luna.

Sebelah tangan Luna memegangi tangan Yeonjun. Luna mendekatkan wajahnya dan menggigit roti yang masih dipegangi Yeonjun. Masih dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Luna melihat Hyunjae yang berlari kecil mendekat ke arahnya.

Luna melepaskan tangannya dari tangan Yeonjun tepat ketika Hyunjae sudah benar-benar berada di dekatnya. “Kenapa mesti lari-lari gitu?”

“Maaf ya, aku telat. Mendadak ada urusan sebentar tadi,” setelah berhasil mengatur nafasnya, Hyunjae mengalihkan pandangan ke Yeonjun. “Yeon, makasih udah nemenin Luna. Sorry ya, jadi repotin.”

“Nggak papa. Yaudah, gue pulang duluan ya,” kata Yeonjun.

Thank you, Yeonjun. Hati-hati di jalan,” balas Luna.

Setelah Yeonjun berjalan meninggalkan mereka berdua, Hyunjae langsung menggamit lengan Luna dan menautkan jari-jari mereka. Tangan satunya meraih koper Luna. “Maafin aku ya, kamu jadi nunggu lama.”

“Nggak papa. Aku jadi nggak enak ngerepotin kamu.”

“Nggak repot. Aku yang mau jemput kamu.”

Setibanya di parkiran, Hyunjae membuka bagasi mobilnya dan menyimpan koper Luna.

Tangan Hyunjae menyalakan mesin mobil, tapi dia tidak langsung menjalankan mobilnya. Hyunjae menoleh ke arah kirinya, menatapi Luna yang ternyata sedang menatapnya dengan bingung. Dalam satu gerakan cepat, Hyunjae menyentuh punggung Luna dan menariknya ke dalam pelukan. Diusapinya punggung Luna sambil mengeratkan pelukannya.

“Aku kangen banget,” kata Hyunjae. “Seminggu lebih nggak ketemu kamu, nggak enak.” Hyunjae melepaskan pelukannya perlahan. Tangannya ganti menangkup wajah Luna, mengusapi pipi Luna lembut dengan buku-buku jarinya.

“Aku kangen banget juga, Yang. Nginep di aku ya malam ini? Besok aku anterin kamu ke bandara. Ya?”

“Tapi aku belum beres-beres baju buat besok.”

“Yaudah, sekarang ke apartemen kamu dulu aja, gimana? Sekalian aku ikut mandi dulu, masih ada sisa baju bersih kok di koperku. Nanti aku bantu siapin bawaan kamu buat besok.”

“Oke. Terus, sekarang kamu mau makan apa?”

“Nggak usah makan di luar, kita order delivery aja pas udah di apartemen kamu, ya?”

“Boleh, gimana kamu aja.”

***

Luna mematikan hairdryer setelah memastikan rambutnya telah benar-benar kering. Setelah mengoleskan vitamin rambut, Luna menyisiri rambut yang panjangnya sudah melebihi bahunya itu, lalu menguncirnya tinggi. Luna berdiri dan melihat sekali lagi pantulan dirinya di cermin—dia mengenakan celana pendek di atas lutut berwarna cokelat muda dan oversize tshirt putih dengan embroidery motif unicorn kecil di ujung bawah kiri. Ini adalah setelan terakhirnya yang masih bersih yang ia bawa di dalam kopernya.

Setelah selesai merapikan dirinya, Luna meninggalkan koridor kecil yang disulap dijadikan walk-in closet oleh Hyunjae, yang menghubungkan antara kamar mandi dengan kamar tidur Hyunjae.

“Nonton apa sayang?” Luna bertanya pada Hyunjae yang sedang selonjoran di sofa di ruang TV. Matanya menatap lurus ke arah TV. Melihat Luna yang sudah selesai mandi, Hyunjae menggeser duduknya mendekati kursi sofa dan meminta Luna duduk di sampingnya.

“Nggak ada yang rame sih, itu-itu aja filmnya. Mau nonton Netflix tapi bingung film apa.” Hyunjae merentangkan tangannya ketika Luna merebahkan dirinya di sisi Hyunjae, dan menjatuhkan kepalanya di dada Hyunjae. Wangi strawberry dari sampo Luna langsung memanjakan hidung Hyunjae. Diciumnya dalam-dalam pucuk kepala Luna.

“Yang, kangen. Baru ketemu hari ini, besok kamu udah pergi lagi. Lama pula lima hari.”

“Apa aku batal ikut gathering aja ya? Gitu-gitu juga sih acaranya dari tahun ke tahun. Aku belum pernah absen juga lagian.”

Luna mencubit perut Hyunjae sambil mengangkat kepalanya dan menatap pacarnya itu dengan judes, “Ya jangan gitu juga dong. Nggak enak lah sama orang kantor kalau tiba-tiba kamu batalin ikut. Suka aneh-aneh aja kamu tuh.”

“Sayang.”

“Apa? Tumben manggil sayang.”

“Duh, galak banget sih kamu.”

“Hehe, iya maaf. Apa sayang?”

“Kamu kelihatan akrab banget sama Yeonjun, sejak kapan? Perasaan dari dulu kamu nempelnya cuma sama Hoon dan Juy aja.”

“Baru mulai akrab sih lebih tepatnya, ya semenjak business trip kemarin ini.”

“Yeonjun ganteng. Nggak naksir dia kan kamu?”

“Sekarang nggak naksir, tapi kalau kamu nyebelin dan macem-macem, aku mau naksir Yeonjun aja.”

Tubuh Hyunjae menegang mendengarnya. “Hey! Don’t you ever—”

“Bercanda sayang, bercanda.” Luna menegakkan tubuhnya, mengalungkan sebelah tangannya di leher Hyunjae dan menarik wajah Hyunjae supaya mendekati wajahnya. Terlalu dekat, hingga Luna bisa merasakan deru nafas Hyunjae di wajahnya.

Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa detik. Saling mengagumi keindahan wajah yang dihadapinya. “Na, may I…?” Hyunjae bertanya ragu-ragu. Luna yang paham konteks subjek pertanyaan Hyunjae, memberi isyarat iya dengan anggukan kepala.

Karena sama-sama mancung, hidung Luna dan hidung Hyunjae saling bersentuhan ketika Hyunjae—atas seizin Luna—sedikit memiringkan wajahnya sebelum akhirnya bibirnya bertemu dengan bibir Luna dalam satu pagutan lembut. Ciuman pertama mereka.

Hyunjae lebih dulu melepaskan pagutannya. Matanya yang tadinya terpejam perlahan terbuka kembali dan langsung disuguhi tatapan mengerling dari mata Luna yang berjarak begitu dekat dengan wajahnya. Luna mendekatkan wajahnya, kali ini ia memberanikan diri untuk memagut bibir Hyunjae lebih dulu. Luna menyukai sensasi menggelitik yang ia rasakan di perutnya ketika Hyunjae menggerakkan bibirnya, memagutnya lebih dalam.

“Nggh, Yang,” Luna berusaha berbicara di tengah ciumannya.

Hyunjae melepaskan bibirnya pelan, “Kenapa?”

“Bentar, mau nafas dulu.”

Hyunjae tertawa. “Kenapa juga kamu nahan nafas? Ada-ada aja.”

“Ih, aku nggak nahan nafas. Tapi nafasnya susah karena hidungku kehalang hidung kamu. Tinggi banget sih hidungnya.”

Hyunjae tertawa sekali lagi. Diciumnya bibir Luna untuk yang terakhir kalinya dan diakhiri dengan ciuman lama di kening.

“Udahan?” tanya Luna polos.

“Masih mau emangnya?” Hyunjae bertanya balik. Wajah Luna memerah, malu.

“Nggak deh, nanti lagi,” jawab Luna sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar Hyunjae. “Aku mau siapin baju kamu dulu buat besok. Mau bawa apa aja?”

“Tolong pilihin aja deh sama kamu bajunya ya? Buat 5 hari 4 malam. Baju pergi, baju santai sama baju tidur.”

“Ayo temenin dong, Sayang. Nanti aku salah pilihin baju kamunya protes lagi. Mending kamu yang pilih bajunya, nanti aku yang rapiin.”

“Nggak, aku percaya pilihan kamu.”

Luna yang tadinya sudah berada di kamar Hyunjae, beranjak keluar lagi saat menyadari Hyunjae tidak mengikuti langkahnya ke kamar. Pacarnya itu malah melanjutkan selonjoran di sofa sambil memilih-milih tontonan dari Netflix.

“Ayo ih, beresin baju. Udah sore ini.”

“Nggak mau.”

“Kenapa sih, nggak semangat gitu?”

Mata Hyunjae terpejam nyaman saat dia merasakan jari-jari Luna menyisiri rambutnya dengan lembut. “Aku nggak mau pergi.”

“Nggak boleh gitu, ya? Nggak enak sama orang kantor apalagi atasan-atasan kamu. Yuk, beresin baju.” Luna berdiri dan menarik tangan Hyunjae supaya bangun dari selonjorannya. Yang ditarik tidak bergeming.

“Aku iri sama Yeonjun,” keluh Hyunjae tiba-tiba.

“Hah? Apaan tiba-tiba jadi Yeonjun?” tanya Luna kebingungan.

“Dia kenyang dari kemarin business trip bareng kamu, ketemu kamu tiap hari.”

“Ya namanya juga sekantor. Kamu pindah ke kantorku kalau mau ketemu aku tiap hari,” kata Luna sambil tertawa.

“Bukan itu solusinya.”

“Terus apa?”

“Kita harus cepet nikah biar tinggal serumah, ketemu tiap hari. Bareng-bareng terus.”

Glek.

Luna menelan ludah susah payah. Apa-apaan ini kenapa jadi bahas nikah?

“Yang udah ah, jangan bercanda terus. Ayo bangun, beresin baju biar cepet selesai. Udah mau sore banget ini.”

“Kan, ngehindar terus kan tiap bahas nikah.”

“Bukan gitu, harus banget bahas nikah sekarang? Nanti lagi kan bisa, Yang. Ayo ah, aku ngambek nih kalau kamu nggak mau beresin baju.”

Hyunjae akhirnya mengalah. Dia akhirnya mengangkat tubuhnya dari sofa dengan malas dan berat hati. Sungguh dia jadi tidak berselera ikut acara gathering kantor selama 5 hari ke depan.

“Nah, gitu dong gantengku. Kamu pilih baju apa aja yang mau dibawa, ya? Nanti aku rapiin.”

Hyunjae hanya tersimpul simpul dan mengangguk. Mengikuti langkah kecil Luna memasuki kamar tidurnya.